Eight: Camp-Wrecked

221 67 62
                                    

"Kita sudah sampai." Hayden mengangkat sebalah alisnya sambil mengetukkan jari di atap mobil, "mau berapa jam lagi kau duduk disitu?"

Oh, God. Aku gak bisa tinggal disini. Gak bisa.

Sebuah bangunan dari kayu bertingkat dua menjulang di hadapanku. Papan bertuliskan 'Kensington Camp' ditempel besar-besar di depan pintu utama. Kayu-kayu yang melapisi bangunan itu terlihat lapuk dan reyot. Aku jamin setidaknya kayu-kayu itu pasti sudah empat kali digigit rayap. Atapnya yang dilapisi jerami kering terlihat menghawatirkan. Kayaknya hanya butuh satu tiupan angin untuk menerbangkan jerami-jerami itu.

Tapi itu bukan yang terparah. Aku tidak lagi melihat Walmart sejak belasan menit lalu. Kemana pun mata memandang hanya ada barisan pepohonan dan hutan belantara. Bahkan aku gak yakin kami masih ada di New York. Apa mungkin kami sudah kebablasan ke Meksiko?

"Kalau dalam hitungan ketiga kau gak keluar," Hayden mencondongkan tubuhnya ke dalam mobil, "aku sendiri yang akan mengeluarkanmu."

Aku mencengkeram sabuk erat-erat, sekuat tenaga menancapkan kuku-ku disana. "Terserah apa katamu! Pokoknya aku gak mau masuk ke tempat itu!"

Hayden menegakkan tubuh dan membuang napas dramatis, seakan bicara padaku menguras tenaganya.

"Oke, pakai caraku kalau begitu."

Aku mengabaikan ocehannya. Mataku jelalatan ke segala arah,"Ya ampun, pantas saja tempat ini terasa familiar. Tempat ini mirip setting film The Ring!"

Hayden memutar matanya, "Satu."

Aku bergidik sambil mengusap-usap kedua bahuku ngeri, "Dad pasti gila mengirimku kesini!"

"Dua"

Aku menutup kedua kupingku dengan tangan.

"Dua setengah..." ia mengetukkan jari-jarinya lagi di atap mobil, "kesempatan terakhirmu untuk masuk ke dalam sana dengan penuh harga diri."

"Enggak! Pokoknya aku mau pulang ke Brooklyn sekarang jug--AAAAH!! Kau pikir kau sedang apa?! TURUNKAN AKU!!"

Hayden, that jerk, melemparku ke bahunya seakan aku hanya seberat kapas. Tak peduli sekeras apa aku menendang-nendang dan memukuli punggungnya, langkahnya tidak melambat. Malah bisa dibilang ia menggendongku memasuki bangunan itu tanpa meneteskan sebutir keringat pun!

"Hey, aku pakai rok!" Protesku, seratus persen menyadari tangannya yang hanya beberapa senti dari bokongku.

"So?"

Aku meninju bahunya, "Kau melakukan ini supaya bisa mengintipku, kan?!"

Hayden mendengus, "Jangan mimpi."

Aku menggertakkan gigi, "Aku serius! Turunkan aku! Kau membuatku mual!"

"Dan membiarkanmu melarikan diri? No way."

"Melarikan diri?" Entah kenapa aku ingin tertawa histeris. Melarikan diri? Apa dia sinting? Walaupun mau, kemana aku bisa pergi?

Kalau beruntung, aku mungkin harus menghabiskan berhari-hari berjalan kaki untuk mencapai peradaban, itu pun dengan asumsi aku tidak tersesat.

Kalau apes, aku bakal tersesat dan mati kelaparan di bawah salah satu pohon rindang di luar sana. Jasadku mungkin baru akan ditemukan seminggu kemudian. Bahkan polisi pun akan tersesat duluan sebelum berhasil menemukan tulang belulangku. Tempat ini memang seantah berantah itu.

"Kau udah gila, ya? Gimana caranya aku bisa kabur?"

"Oh my--kupikir ada apa ribut-ribut! Ternyata hanya kau, Hayden!" Suara seorang wanita membuatku mengangkat kepala. Tapi karena posisiku yang jungkir balik seperti ini, leherku berbunyi 'krek' saat aku memutar kepalaku.

Wanna Be Where You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang