Persiapan (1)

21 4 0
                                    

"Bang, mau yang mana? Di chat gak dibuka. Mumpung aku masih disini, nih," Gieta setengah berteriak begitu telponnya diangkat oleh Rafa. Ia kini tengah membantu Rafa untuk membeli beberapa persiapan hantaran nanti. Gieta dan Fitri ditugaskan bunda untuk berbelanja beberapa barang yang diperlukan.

Khalid yang masih sibuk dengan persiapan kelulusannya hanya ditugaskan mendata sanak saudara beserta seluruh teman bunda, abang dan kakaknya.

"Kamu tanya Shasa aja, deh, biar gampang. Abang gak paham sama hal yang kayak begituan," jawab Rafa yang sedang duduk disalah satu meja disudut rukonya. Pandangannya sibuk memerhatikan beberapa stok barang yang kosong.

"Aku gak punya nomor kak Shasa," ungkap Gieta. "Abang coba tanyain, dong," pintanya.

"Abang gak punya nomornya"

"Ya salaaaaam... Abang tu gimana sih? Parah banget. Nomor hp calon istri sendiri gak punya," geram Gieta.

"Tanya Bunda aja. Abang sibuk. Nanti aja telpon lagi," Rafa memutuskan telponnya secara sepihak dan mengundang rasa jengkel dihati Gieta.

"Heran, deh, dia yang nikah, kita yang dibikin pusing tujuh keliling," curhat Gieta pada Fitri. "Kalau tau gini, aku gak bakalan tutup klinik, deh. Nyebelin," ketus Gieta.

Fitri tampak menahan tawanya, "Ya mau gimana lagi kak, kita kan yang terus-terusan ngedorong dia untuk nikah. Jadinya ya begini," ujarnya sambil mengedikkan bahu.

"Tapi 'kan gak kayak gini juga, Fit. Masa nomor hp calon istri sendiri gak punya? Buat apa dong dia bulan lalu ketemuan berdua sama Kak Shasa kalo gak dapat nomornya?" kesal Gieta.

Fitri tersenyum sebelum mengangguk, "Ya udahlah, kita beli sesuai sama selera kita aja. Ribet kalo harus telpon sana sini." tawar Fitri.

Gieta berpikir sejenak sebelum mengambil keputusan. Menimbang apa yang disarankan oleh Fitri. Betul juga ya, kalo tanya ke kak Shasa pasti dia lagi sibuk perawatan. Kalo tanya ke Bang Rafa pasti dicuekin. Ya udah deh, ikutin saran Fitri aja. Gumam Gieta dalam hati.

"Gimana?" tanya Fitri yang menarik Gieta dari pikirannya.

"Oke, deh," jawab Gieta. "Lagian capek kalo bolak balik dan gue gak mau klinik sering tutup. Kasian pasien dan karyawan gue nantinya," jelas Gieta.

Merekapun mulai sibuk memilih beberapa keperluan sesuai dengan selera mereka. Menurutnya, selera kakak ipar mereka tersebut gak akan jauh berbeda dengan mereka. Dan postur tubuh Gieta mirip dengan Shasa jadi tidak sulit untuk mencari pakaian untuknya.

*****

"Kalian dimana? Kok jam segini belum pulang," tanya bunda pada Fitri melalui sambungan telepon.

"Kita lagi makan baso, Bun" ucap Fitri. "Bunda mau gak?" sambungnya.

"Bunda udah kenyang," ujar Bunda. "Udah dibelanjain barang buat hantarannya?"  tanya Bunda lagi.

"Udah, Bunda. Tinggal sepatu sama sendal dan perhiasannya," terang Fitri.

"Kalau cuma itu aja, gampang. Tinggal ambil di ruko Abangmu," saran bunda. "Sisanya biar Bunda yang cari."

"Siap, nyonya." ucap Fitri seraya menggerakkan tangannya keatas kepala layaknya orang yang melakukan hormat sambil tertawa cekikikan.

"Ya udah, sekarang cepetan pulang. Jangan lama-lama. Nanti gak Bunda bukain pintunya," titah bunda sambil menutup telponnya.

Khalid dimana ya? Kok gak kelihatan di ruang tamu. Di kamar ada gak ya? Pikir Bunda.

Ketika Bunda baru menginjakkan kaki di tangga pertama hendak melangkah menuju kamar Khalid, suara mobil masuk di garasi menghentikan langkah Bunda. Berbalik menuju ruang tamu dan membukakan pintu untuk putra sulungnya yang baru pulang.

"Assalamualaikum, Bunda," sapa Rafa seraya meraih tangan bunda dan menciumnya.

"Wa'alaikumsalam," balas Bunda. "kamu udah makan?" tanyanya.

"Udah. Tadi bareng anak-anak di ruko, Bunda." jelas Rafa sembari melangkah menuju ruang keluarga dan duduk selonjoran melepaskan rasa penat sejenak.

"Yang lain kemana, Bun? Tumben sepi."

"Gieta sama Fitri masih dijalan, mau pulang. Khalid kayaknya ada di kamar tapi belum Bunda cek," terang bunda. "Kamu kenapa baru pulang?"

"Tadi ada Gilang mampir ke ruko. Jadi, ngobrol-ngobrol lumayan lama."

Rafa pun beranjak ke dapur setelah melepas lelah sejak di ruang keluarga. Tangannya bergerak membuka kulkas dan mengambil minuman dingin kemudian menenggaknya. Meminum air dingin merupakan rutinitas yang wajib ia lakukan begitu tiba di rumah. Merasa lelah seharian di luar dan terpuaskan rasa dahaga yang kering selama perjalanan pulang.

Rasanya lelah seharian diluar terhempaskan oleh dinginnya air yang diteguk. Rafa pun mulai melangkahkan kaki ke atas, naik ke kamar tidurnya.

Begitu tiba di kamar, tak perlu menunggu waktu lama, Rafa pun masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Setelah selesai dengan kegiatan di kamar mandi, ia langsung mengambil pakaian untuk dikenakannya saat tidur.

Rafa perlahan menghempaskan badannya diatas ranjang, meraih guling dan memeluknya. Seketika pandangannya tertuju pada langit-langit kamar, mengingat obrolannya sore tadi bersama Gilang.

'Nikah itu gak seseram masa lalu yang lo jalani dulu. Lo mesti membuka hati buat istri lo. Jangan sampai lo samain kasus lo sama keluarga lo yang lain.'

Kata-kata Gilang berhasil mengusik hatinya. Bagaimana ia harus menyingkirkan rasa kecewa ini, sedangkan rasa kecewa itu adalah hasil dari rasa sayang yang terlalu dalam?

Shasa memang bukan keluarganya, namun nikah pasti menumbuhkan rasa sayang dan cinta. Sementara Rafa selalu menyingkirkan semua rasa itu dalam hatinya.

Ini tak bisa dibiarkan berlanjut begitu lama. Karena bagi Rafa, menikah itu hanya sekali dalam hidupnya. Apapun itu, ia akan tetap mempertahankannya. Walau pernikahan yang akan dijalaninya tanpa rasa cinta.

Ya, pernikahan tanpa cinta yang akan Rafa jalani nantinya.

Jangan Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang