Pertemuan Kembali

21 4 0
                                    

"Kenapa kamu mau menikah denganku?" Rafa tak dapat menahan rasa penasarannya begitu ia duduk di sebuah kafe langganannya.

Kini ia tengah duduk berdua dengan Shasa di kafe tersebut. Setelah sebulan penuh ia menghadapi berbagai macam rayuan maut bunda dan adik-adiknya untuk menerima perjodohan yang diajukan tante Hilwa padanya.

Sama halnya dengan Shasa yang terus-menerus menahan rasa kesal karena papanya selalu berhasil membuatnya kalah dalam tiap perdebatan tentang pernikahan. Tepuk tangan untuk papa Adam.

Setelah selama sebulan penuh Shasa berusaha keras untuk membuat image buruk agar calon suaminya mundur yang berujung pada kesia-siaan.

Dan disinilah mereka sekarang, setelah menyetujui saran kedua orangtua untuk bertemu dan berbicara secara terang-terangan tentang kemauan mereka.

Shasa menarik nafas perlahan, "Papa sama Mama yang maksa aku untuk segera nikah. Jadi, aku cuma bisa ngikutin keinginan mereka."

Rafa mengangguk menanggapi jawaban Shasa. Sementara Shasa berusaha santai menyikapi Rafa yang begitu cuek.

"Kamu?" Shasa menarik nafas perlahan sembaru membenarkan posisi duduknya. "Kenapa mau nikah sama aku?" tanya Shasa yang juga sama penasarannya dengan Rafa.

"Aku gak punya pilihan lain selain nerima pernikahan ini," jelas ini paksaan yang harus diterima Rafa. "Bunda dan adik-adikku selalu neror tanpa tahu tempat. Well, biar aku tenang dan gak diganggu lagi, ya aku terima perjodohan ini," terang Rafa.

Shasa menjentikkan jarinya, "Aku setuju denganmu," sanggahnya.

"Jadi, apa maksudmu ngajak aku ketemu disini?"

"Aku mau bikin kesepakatan." ucap Shasa.

Rafa mengedik, "Akupun punya kesepakatan yang harus diomongin sama kamu."

"Kamu mau apa?"

"Ladies first," Rafa mempersilahkan Shasa untuk berbicara terlebih dahulu.

"Setelah menikah nanti, aku ingin bebas," pinta Shasa. "Aku gak mau dikekang, aku pengen ngelakuin apapun yang aku mau tanpa harus ijin dulu sama kamu. Kamu bisa kasi kebebasan itu untuk aku?" sambungnya.

"Aku bisa kasi kebebasan buat kamu. Sesuai dengan yang kamu inginkan" dengan mantap Rafa menyetujui permintaan Shasa.

Apa dia gak berpikir dulu sebelum menyetujui? Apa mau nya? Tanya Shasa dalam hati.

"Makasih. Cuma itu aja permintaan aku," Shasa dengan santai tanpa menambahkan list keinginannya. Baginya itu sudah lebih dari cukup. "Dan kamu? Apa yang mau kamu omongin?" tanya Shasa.

"Aku rasa permintaan kita sama. Aku pun ingin bebas melakukan apa pun tanpa harus diatur oleh siapa pun. Tapi kamu tenang aja, kamu tetap aku nafkahin."

"Nafkahin?" tanya Shasa dengan kening berkerut dan mata yang menatap curiga.

"iya. Aku bakalan nafkahin kamu. Ngasih uang buat kamu. Harian dan bulanan. Itu kan udah termasuk tanggungjawab aku sebagai suami," jelas Rafa dengan tenang.

"Termasuk untuk urusan ranjang?" Shasa benar-benar tak bisa menahan rasa keingintahuannya. Jujur ia tak memikirkan sampai sejauh itu. Namun, ucapan Rafa mengganggu pikiran Shasa.

"Soal itu... " Rafa menjeda ucapnya berdehem dan meraup nafas sebanyak mungkin. "Aku gak minta. Aku belum siap."

"Syukur, deh. Aku juga belum siap." tampak kelegaan dalam hati Shasa.

Bagaimana bisa Rafa menolak semua keinginan Shasa, ia merasa beruntung bisa menikahi Shasa, seorang anak tunggal dari tante Hilwa dan om Adam. Memiliki beberapa usaha dibidang kuliner yang cukup sukses. Dengan menikahi Shasa, mungkin ia juga akan bisa mewarisi semua kerajaan bisnis yang dibangun oleh Om Adam.

Namun Rafa tak sepicik itu. Ia mendapatkan info dari Lucky yang merupakan sepupu Shasa bahwa ia gadis yang penurut, tak pernah neko-neko.

Itulah yang Rafa inginkan. Karena cukup melelahkan jika ia harus menghadapi gadis yang banyak maunya.

"Jadi, kamu udah siap nikah sama aku?" Shasa mengesampingkan egonya untuk meminta kejelasan dalam kesepakatan mereka demi menyelamatkan ketenangannya hati dan pikirannya dikemudian hari.

"Mau gak mau harus siap. Kamu sendiri?"

"Aku juga," singkat Shasa.

"Bahkan aku gak punya pilihan lain. Dan aku ingin semua kembali normal seperti tanpa beban" jelas Shasa.

Rafa mengangguk menyetujui, "Kamu minta mahar apa?"

Shasa mengedik, "Terserah kamu. Toh, aku gak minta macam-macam. Yang penting sah." ujar Shasa dengan cuek.

"Aku gak tahu apa-apa tentang urusan cewek. Jadi aku serahin semuanya ke Bunda dan adik-adikku," bahkan Rafa sempat menawarkan bantuan. "kamu bisa hubungi Bunda ku kalo butuh apapun."

Shasa mengangguk,"oke."

"Udah boleh pesan makanan? Aku udah lapar dan paling gak bisa nahan lapar" tanya Shasa.

Terlihat lengkungan senyum di bibirnya namun dengan cepat berubah saat Rafa beradu tatap dengan Shasa.

Gadis ini sungguh polos, gak ada jaim-jaimnya. Dan matanya...

"Dan kamu kenapa ngeliatin aku kayak gitu? Keberatan kalo aku pesan makanan?" Shasa berhasil menarik Rafa dari rasa penasarannya saat menatap mata Shasa.

Rafa berdehem saat dirinya tertangkap basah menatap Shasa, "Silahkan pesan. Aku gak keberatan. Pesan semua yang kamu suka, nanti aku yang bayar."

"Kamu pikir aku rakus?" sinis Shasa. "Dan aku masih punya cukup banyak uang untuk beli makanan apapun yang aku mau."

"Sori aku gak ada maksud apa," sanggah Rafa.

Tak lama pelayan kafe datang menghampiri dan menyerahkan daftar menu makanan.

Rafa membeku melihat tingkah Shasa selama memilih-milih menu yang ada di daftar menu.

Kenapa rasanya aneh? Apa ada yang salah? Ada gelenyar aneh yang gak biasa. Apa ini? Rafa hanyut dalam lamunannya.

Sejak makan malam pertama dirumahnya, Rafa merasakan hal-hal aneh yang terjadi dalam dirinya. Tiap kali bunda dan adik-adiknya menyebut nama Shasa dengan otomatis ia merasakan sakit di dadanya.

"Kamu ngapain sih, liatin aku terus?" Shasa berusaha mengagetkan Rafa yang masih memperhatikannya. "Hellooooowww,"  Shasa pun mengibaskan tangannya dihadapan Rafa yang masih terdiam.

Rafa mengerjap kaget, "Aku gak apa-apa. Cuma sedikit kaget aja."

Shasa melirik kanan dan kiri memerhatikan sekelilingnya dan mencari tahu sumber yang membuat Rafa terdiam.

"Kamu ada yang kenal disini? Kok ngelihatinnya sampe bengong gitu?"

"Gak penting" Rafa mendekatkan makanan yang telah datang kearah Shasa. "Dan cepetan makan, aku masih ada urusan. Biar nanti langsung aku antar pulang"

"Santai dong, masa bos buru-buru. Dan aku gak bisa makan dengan cepat." ketus Shasa.

Rafa tetap diam dan menikmati makanannya.

Begini lebih baik dari pada bicara. Mungkin sakit di dada cuma sakit biasa. Bukan macam-macam. Bisik Rafa.

Kenapa sih ni orang banyak ngelamunnya? Dan apa tadi? Dia merhatiin aku tanpa berkedip? Memangnya aku hantu? Awas saja kalau dia macam-macam. Gumam Shasa dalam hati.

Jangan Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang