Bab 1

184 12 6
                                    

"Masya Allah Bunda, masakannya bikin lapar level akut," kagum Fitri saat mencium aroma masakan dan menghampiri Hana di ruang makan. Hana sekilas tampak terkejut dan melayangkan senyuman hangat kepada Fitri.

"Waaahhh ... Bunda masak ketupat gulai pakis? Tumben. Ada gorengan sala lauaknya juga," ucap Fitri saat mendekati Hana yang berada di dekat kompor tengah mengangkat beberapa sala yang telah matang.

"Iya," jawab Hana sambil memindahkan gulai ke dalam mangkok dengan hati-hati. "Kebetulan kemarin mamanya Fajri, tetangga ujung komplek, ngasih sayur pakis jadi Bunda bikin gulai aja" jelas Hana.

Fitri mengangguk mendengarkan penuturan Hana. Tangannya mengambil sala yang tidak terlalu panas dan melahapnya dengan nikmat dalam sekali suap. Mungkin inilah yang dinamakan rindu kampung halaman. Mencicipi masakan Hana dapat melepas rasa rindu Fitri yang telah lama meninggalkan kota kelahirannya.

Kampung yang jauh di seberang pulau jawa. Kampung yang menjadi tanah leluhurnya dan bahkan sanak saudara pun masih berkumpul disana.

"Abang dan kakak kamu sudah bangun? Adikmu gak dibangunin? Dia harus bangun pagi, kan? Katanya, ada ulangan pagi ini," tanya Hana yang menyadarkan Fitri dari kenikmatan sala yang disantapnya.

Fitri mengangguk, "Kayaknya udah, deh. Mungkin lagi di kamar mandi"

"Kalau gitu, kamu bantu Bunda, ya. Tolong siapkan makanannya di atas meja. Bunda mau mandi dulu," titah Hana.

"Siap Bunda!" ucap Fitri sembari mengayunkan tangan keatas dan menempelkannya kepala, persis seperti orang yang sedang melakukan hormat.

Hana berlalu ke kamarnya hendak mandi dan mempersiapkan diri untuk sarapan bersama keempat anaknya yang mungkin sebentar lagi akan berkumpul di ruang makan.

Tak butuh waktu lama bagi Fitri untuk menyiapkan sarapan pagi ini. Sudah menjadi tugas Fitri ketika turun dari kamarnya, merapikan semua peralatan dapur dan menyiapkan makanan. Ya, di keluarga Hana, semua tugas sudah dibagikan kepada keempat anaknya. Mengingat mereka semua sudah dewasa dan mengerti akan tanggungjawabnya masing-masing.

Hana hanyalah seorang single parent yang membesarkan keempat anaknya sejak sang suami meninggal dunia lima belas tahun lalu.

Kepergian suaminya menjadikan Hana berperan ganda dan harus siap memanggul tanggungjawab besar dalam menghidupi keluarganya. Beruntung anak-anaknya mengerti dengan keadaannya kala itu.

"Wah, makan enak kita pagi ini," ucap Gieta yang baru memasuki ruang makan. Ia menghirup aroma sedap dari gulai pakis yang menggugah selera.

"Masakan Bunda memang juara ya, kak," puji Fitri.

"Iya, masakan Bunda juara tak tertandingi," ujar Gieta.

"Kalian bisanya komentar aja. Coba sekali-kali masak! Abang yakin masakan kalian gak akan seenak masakan Bunda," Rafa yang baru saja bergabung memberikan komentar pedas untuk kedua adik perempuannya.

Fitri cemberut menanggapi Rafa yang meledeknya, sementara Gieta melirik Rafa dengan tajam.

"Lihatin aja, suatu saat Bang Rafa bakalan nikah sama perempuan yang gak bisa masak," kutuk Gieta.

"Gak akan," sanggah Rafa. "Istri abang pasti akan masak untuk anak-anak Abang"

"Yakin bener, Bang?" Fitri tak kalah dengan Gieta, ikut menyerang Rafa.

Jangan Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang