Persiapan (4)

15 4 0
                                    

Rafa tak dapat mengelak, sepanjang perjalanan pulang dari butik pikirannya masih tertuju pada Shasa. Mempertanyakan sikap Shasa yang banyak diam tak seperti biasanya yang selalu berontak.

Apa ada yang salah dengan dirinya hari ini? Setahu Rafa ia hanya diam saja tak mengganggunya.

Namun semua itu masih saja mengusik hati dan pikirannya.

Rafa menghembuskan nafasnya perlahan sembari mengusap muka dengan kedua tangannya. Melepaskan pikiran yang akan merusak konsentrasinya.

"Bang, gak ikut makan?" tanya Bagus yang datang menghampiri Rafa di tempat duduknya.

"Duluan aja, mau istirahat dulu," jawab Rafa.

Bagus mengangguk namun enggan beranjak dari tempatnya. Ia memilih untuk duduk sambil makan di dekat Rafa.

"Kenapa Bang? Ada masalah?" tanya Bagus lagi seraya menyantap makan siangnya yang dibelikan oleh Rafa sepulangnya dari butik tadi.

Rafa hanya memejamkan mata sambil menyandarkan punggungnya di bangku yang lumayan empuk untuk beristirahat. Tak mengubris pertanyaan Bagus.

"Aku udah lama ikut Abang kerja. Dan udah anggap Abang sebagai keluargaku..." kalimat Bagus terhenti ketika Rafa menegakkan tubuhnya sambil menatap Bagus.

"Kalau mau ngobrol itu jangan sambil makan. Nanti bisa nyembur kemana-mana tu makanan. Mubazir!" ucap Rafa.

"Kan lagi gak ngunyah, Bang," Bagus membuka mulutnya memamerkan makanan yang sudah di telannya.

Rafa menggelengkan kepala, "Kamu tuh selalu aja ngeles kalau dikasi tahu."

"Sebelas dua belaslah aku sama Abang"

"Aku gak mau disamain sama kamu" potong Rafa. "Karena aku lebih ganteng dari kamu," jawab Rafa dengan bangganya.

"Kalau soal ganteng itu relatif, Bang," bela Bagus.

Rafa tak menanggapi Bagus. Tangannya beralih naik keatas dan meletakkannya di belakang kepala sambil menempelkannya disandaran bangku. Tatapannya tertuju pada langit-langit ruko, sementara pikirannya masih mengingat hal yang mengusik hatinya.

"Gus, menurutmu nikah itu bahagia gak?" tanya Rafa.

Bagus dengan tergesa mengunyah makanan dan menelannya sebelum menjawab, "Semua orang yang mau nikah pasti bahagia, Bang. Gak mungkin gak bahagia"

"Ada kok"

"Siapa, Bang?"

"Aku" jawab Rafa.

Bagus menghentikan makannya dan mengambil minum. Meletakkannya disamping duduknya.

"Kenapa Abang gak bahagia? Mba Shasa kan cantik, gak neko- neko lagi."

"Aku takut nikah, Gus."

Bagus melihat wajah Rafa yang memperlihatkan rasa khawatirnya.

"Kenapa Abang takut?"

Rafa mulai muram dan menyugar rambutnya hingga kebelakang. Mengontrol rasa yang bergejolak. Ia tahu ini tak mudah tapi dengan berbagi cerita seperti ini, ia rasa akan mudah untuknya menghilangkan rasa kecewa.

"Aku gak mau nikah, karena di dalamnya ada rasa cinta dan kasih sayang. Aku gak bisa nerima kedua rasa itu, Gus. Terlalu banyak luka yang ditinggalkan oleh rasa itu."

Bagus mengernyit mendengar ucapan Rafa. Apa ada yang salah dengan itu?

"Kamu pasti heran 'kan kenapa aku ngomong kayak gini?" Rafa tersenyum miris menertawakan dirinya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jangan Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang