Masih Belum Menyerah (2)

25 6 0
                                    

Sudah seminggu Rafa pulang ke rumah hingga larut malam. Saat pulang, ia tak menemukan bunda dan adik-adiknya karna mereka telah tidur dengan lelap. Begitupun di pagi hari, Rafa selalu tergesa-gesa pergi dengan alasan harus membeli beberapa barang yang sudah kosong di ruko.

Gieta dan Fitri masih sama dengan hari sebelumnya, selalu mengirimkan gambar wanita yang harus dipilih olehnya. Dari sekian banyak pesan, tak satupun digubris Rafa. Tak ingin mengambil pusing dengan semua tingkah adiknya, Rafa lebih memilih menyibukkan diri di ruko. Mengecek ketiga ruko yang ia kelola secara langsung.

Namun, sejauh apapun ia menghindar dari teror sang adik, pada akhirnya ia terjebak di acara makan malam yang telah disediakan oleh bunda. Alih-alih memberikan surprise atas kesibukannya namun ternyata salah satu usaha bunda adalah untuk menjodohkan Rafa. Terima kasih untuk bunda karena sudah mengelabuinya.

"Kamu masih ingat gak sama anaknya Tante Hilwa? Yang sepupunya Lucky, itu, lo," tanya Bunda pada Rafa saat ia baru saja duduk diruang keluarga, sekilas matanya mencari remote untuk menyalakan tv.

"Gak tahu, lupa lagi." buat apa ingetin orang gak penting, menuh-menuhin memori kepala aja, gumam Rafa dalam hati.

"Kamu tuh, lupa atau emang gak mau nanggepin Bunda?" tangan Bunda terayun menepuk keras lengan Rafa.

Tak ada tanggapan yang ia perlihatkan, matanya masih saja fokus menatap televisi berlayar datar. Sadar akan sikap anaknya yang mulai tak memperdulikannya, Bunda pun mulai mengeluarkan senjata terakhir untuk Rafa.

"Kamu udah dewasa, udah waktunya berkeluarga. Salah satu kebahagiaan Bunda yang belum tercapai yaitu melihat anak-anak bunda menikah" sedikit merunduk dan mengerjapkan mata, bunda mencoba menahan keluarnya air mata, "Mau sampai kapan kamu seperti ini? Apa tunggu bunda mati dulu?"

Rafa melotot mendengar ucapan Bunda. Seumur hidupnya, ia tak suka jika Bundanya membicarakan itu, terlebih itu masalah kematian. Apapun alasannya ia sangat benci dengan ancaman itu.

"Bunda gak boleh ngomong kayak gitu. Aku gak suka!" ungkap Rafa sembari menarik nafas, mengontrol emosinya agar tak berlebihan, "Apapun maunya Bunda, aku turutin. Asal Bunda gak bicara yang aneh-aneh lagi," pinta Rafa.

Pandangannya kini beralih ke bawah, merenung. Bagaimana ia bisa menata hatinya untuk mengikuti keinginan keluarganya. Sementara luka dimasa lalu tergores cukup dalam hingga tak ada celah untuk rasa cinta.

Perlahan Rafa menatap Bunda yang masih duduk terdiam disampingnya. Sejenak ia berpikir sebelum memulai berbicara.

"Jam berapa keluarga Tante Hilwa kesini, Bunda?" tanya Rafa yang mulai bisa mengendalikan dirinya. Ini demi Bunda. Tak lebih. Hanya Bunda. Bisik Rafa dalam hati.

"Nanti, jam tujuh habis sholat isya dia kesini. Kamu gak marah 'kan?" Bunda takut Rafa akan pergi lagi jika ia begitu keras memaksa Rafa.

"Menyambung silaturahmi itu ibadah, Bunda. Buat apa aku marah. Buang-buang tenaga aja," masih dengan santai Rafa menanggapi Bunda.

"Alhamdulillah, syukurlah." ucap Bunda dengan ujung bibir yang naik keatas. "Kamu mandi, gih. Bau keringatmu bikin hidung Bunda mampet," Rafa tersenyum mendengar kata bunda.

Ia beranjak dari duduk dan pergi ke atas, kamarnya. Bersiap mandi untuk makan malam. Semoga makan malam kali ini tidak merusak suasana hatinya yang sedikit membaik.

******

"Wah... Makan enak, nih kita malam ini."

Fitri mengerutkan keningnya, merasa ada yang aneh dengan hidangan di meja makan, "Bunda, banyak banget masaknya, emang ada acara apa? Mau ada tamu, ya, Bunda?" tanya Fitri yang ikut membantu Bunda menyiapkan beberapa piring dan gelas.

Jangan Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang