Fathur setiap sepuluh menit sekali melirik pintu ruangannya. Ada sesuatu yang ia tunggu, tapi hatinya menampik. Sudah pukul lima sore tapi 'dia' tidak datang. Kenapa ya?
Ini hari sabtu yang tenang, bukankah seharusnya Fathur senang karena orang yang selalu menganggunya tidak datang.
Dzzttt... Dzzttt...
"Halo? Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, baba!!!"
"Aduh anak gadis kok teriak sih?"
"Kok nggak bilang malam nanti ada reuni di kampus?"
"Kenapa memangnya?"
"Mau ikutttt heheheh."
"Baba lagi banyak kerjaan nih. Reuni kali ini kita nggak ikutan aja ya."
"Nggak!! Pokoknya harus tetep ikut. Lagian Baba mah selalu larang Rheni ikut pesta di sekolah. Kan hanya reuni ini yang boleh. Sekali setahun juga."Fathur menghembuskan nafas, ia memijit keningnya, ini lah faktor sejak di tinggal istrinya Fahur memanjakan Rheni. Anak ini jadi harus di turuti kemauannya.
"Baba?? Iya yaaa..."
"Sekali Baba bilang tidak, tetap tidak." anak di seberang itu terdiam. Jika sudah begini ia bisa apa.Tok! Tok!
"Masuk."
"Assalamualaikum, Pak." Fathur menjawab salam. Tapi ia mengernyit mendapati seseorang yang ia kira tidak datang hari ini ternyata tetep datang walau sekarang dengan wajah lesu dan tidak bersemangat, tidak seperti biasanya."Saya dititip ini sama dosen perempuan tadi pas saya mau pulang. Katanya untuk Pak dokter. Saya permisi."
Najia pamit dan mengucapkan salam kembali. Bahkan barang yang ia sebutkan diletakkan begitu saja di dekat pintu. Ini suatu keanehan. Najia tak menunjukkan senyum barang sedetikpun. Menatap Fathur pun tidak. Ia berlalu begitu saja.
"Ya sudah, Rheni tutup telponnya."
"Rheni?"
"Ya?"
"Semalam waktu les kamu cerita apa sama guru les mu?" sebuah fakta tak disadari bahwa Fathur tidak pernah menyebut nama gadis itu selama ini."Eh? N-nggak ada tuh."
"Rheni?" Anak itu meringis di seberang. Kenapa pula ayahnya menanyai hal ini.
"Cerita tentang Kak Naqila aja kok."
"Terus? Kamu bilang kalau kamu mau Kak Naqila jadi Mama kamu?"Rheni mengaduh karena kebiasaannya cerita tentang Naqila ke semua orang yang membuatnya nyaman terungkit oleh Ayahnya.
"Rheni nggak boleh begitu ya. Baba kan pernah bilang kalau itu nggak mungkin. Kamu harus lebih dewasa lagi Rheni. Baba tidak senang."
"Maafin Rheni."***
"Gila ya, anak kedokteran emang beda kalau bikin pesta." Najia kagum dengan dekorasinya, sekarang masih awal pesta, jadi alunan musik masih normal, kebiasaannya sih setelah para dosen senior pulang, jam 12 keatas akan ada pesta meriah khusus muda mudi. Hal biasa di kota besar seperti ini.
"Kamu nggak mau nyari pak Fathur?" Yuli mengikuti langkah Najia yang lebih sering mengamati para senior perempuan, dan tidak sedikitpun menariknya menuju arena dosen.
"Nggak deh, aku nyari Kak Naqila aja."
"Tumben?" ucap Yuli sambil menatap Najia heran.
"Aku lagi ngambek ceritanya."
"Ya elah neng, bukan siapa-siapa Dokter Fathur aja kamu kek begini. Lagian katanya cinta, masa iya karena masalah kecil begini langsung nyerah." Yuli menepuh kening Najia. Yang terkena mengaduh.Najia hanya diam, memikirkan perkataan Yuli, dan ternyata ada benarnya. Kenapa dia menjadi loyo. Harusnya ia menjadi lebih semangat.
"Aku udah di sini sejak awal, Kak Naqila mah belum datang."
"Yakin?"
"Ya elah.. Nggak percaya."Najia mengangguk, ia menikmati pesta dari kejauhan. Berusaha untuk berada di posisi yang sulit untuk di ketahui orang, apalagi karena dia sebenarnya tidak di undang.
***
Di sisi lain, Fathur tersenyum ramah pada semua dosen senior yang sedikit bergurau di meja mereka. Mengenang masa kuliah. Rumor-rumor terbaru di dunia kedokteran, terkadang juga membicarakan politik.
"Loh? Dokter Fathur sekarang tidak membawa Rheni ya?" salah satu senior berceletuk saat mendapati Fathur lebih pendiam. Biasanya lelaki itu ikut bercerita. Apalagi sejak tadi tampak sedang mencari seseorang.
"Dia akan segera ujian. Jadi saya suruh untuk fokus belajar."
"Wahh, nanti kuliahnya di kedokteran juga nggak, dok?"
"Saya sih maunya seperti itu." Fathur melirik kekiri.
"Di luar negeri saja, dok. Kalau di sini takutnya dokter lain kesulitan ngasih nilai." kekehan geli terdengar pelan.
"Masih memikirkan, dok. Saya sebenarnya tidak ingin jauh-jauh dari Rheni."
"Makanya menikah, dok. Saya comblangin sama ponakan saya dokter menolak."
Fathur yang sedang melirik sebelah kiri menoleh ke arah yang berbicara dan kemudian tertawa pelan. "Rheni yang nolak, dok. Saya kalau begitu bisa apa?"
Semua mengaduh, anak perempuan Fathur agak sensitif jika ada yang menjodohkan ayahnya dengan wanita lain. Ia hanya suka Naqila hingga saat ini.Pembicaraan akhirnya beralih topik entah sejak kapan. Fathur pun kembali memandang sebelah kiri.
"Saya pamit duluan ya, dok. Assalamualaikum." semua yang ada di sana membalas salam. Fathur pun pergi sebelum dicegah.
***
"Kamu bukannya mahasiswi pariwisata kalau tidak salah."
Najia kaget saat seseorang menegur membuatnya hilang fokus mengamati pintu masuk. Saat ia menoleh ia akhirnya tersenyum kaku. Hatinya lebih senang saat lelaki itu duluan yang memulai pembicaraan."Ada urusan apa di sini?"
"Saya.. Saya itu di sini, apa.. Itu.. Temenin Yuli. Iya, di ajak kok sama Yuli."
"Oh."
"Eh, Pak dokter kenapa di sini?"
Fathur mengernyit dan Najia menepuk kepalanya atas pertanyaan bodoh. "Nggak usah dijawab pak, pertanyaannya bodoh banget."Fathur diam. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanan. Lelaki itu mengamati gadis di sampingnya ini dan menit berikutnya ingin melangkah pergi, saat itu lah dua pasang manusia baru masuk. Fathur melirik Najia yang menunduk kemudian mendehem agar perhatian Najia berfokus padanya.
"Itu dia Hafa Naqila guru les Rheni dulu waktu SMP."
Najia yang memandang Fathur melotot, matanya langsung menjurus kearah tatapan Fathur. Dan menganga atas kecantikan wanita yang ia cari-cari sejak tadi. Cupu dari mananya cobak?"Di sampingnya itu mahasiswa hukum, mereka menikah dan suaminya bernama Langit."
"Menikah?!"
Fathur mengulum bibir. Ia tak ingin memandang Najia yang kaget. Karena ia merasa aneh dengan perasaannya saat ini. Kenapa dia berlaku seperti sekarang? Mencoba meluruskan sesuatu? Untuk apa? Bukankah bagus jika Najia tidak menganggunya lagi?
Fathur pergi tanpa pamit. Sedangkan Najia menutupi mulutnya karena tersenyum amat hebat. Jika Naqila sudah menikah tentu kesempatan mengambil hati Rheni terbuka lebar.
"Makasi udah jelasin, pak." Ujar Najia pelan. Ia memandangi punggung Fathur yang akhirnya menghilang ditelan pintu keluar. Ia melambai sedikit tanda bahwa hatinya sudah kembali baik dan bersemangat.
Tbc~
5 jam sebelum pesta reuni
"Gimana? Jadi nggak?"
"Sebenarnya males, takut sakit hati."
"Elah, namanya juga lagi berusaha. Gagal mah bukan hal yang nggak wajar, lagian di dunia ini bukan hanya ada Dokter Fathur doang, Najia."
"Iya deh.. Kamu temenin aku terus ya di sana, takutnya aku nggak kuat nerima kenyataan dan pingsan."
"Hahaha.. Sip lah. Soalnya aku punya feeling kalau Kak Naqila akan datang reuni tahun ini."Fathur melirik jam tangan yang terpatri apik di sebelah kiri. Ia melirik sedikit kearah balik tembok. Kemudian menyesali karena ia menguping pembicaraan dua orang gadis absurt yang seharusnya ia hindari. Lalu kemudian pergi sebelum ketahuan.
Sepertinya jas abu-abu akan bagus ia kenakan untuk acara reuni nanti.
"Halo? Langit? Kamu dan Naqila datang ya ke acara reuni."
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Segelas Cappuchino (End)
RomanceBagi Fathur, Najia bukan diciptakan untuknya. Bagaimana bisa gadis ini jatuh cinta karena segelas cappuchino yang ia bayar? Dia sebegitu cintanya dan tak mempedulikan masa lalu Fathur da betapa pengecutnya lelaki itu. Mereka bahkan berbeda 13 tahun...