Berat memang jika merasa rindu tapi tak mampu menyembuhkan rindu. Fathur mengaku bahwa ia sangat egois. Egois karena tetap ingin hati Najia miliknya saja, bukan untuk lelaki mana pun.
Mengetahui bahwa Najia akan dinikahkan membuatnya merasa marah. Fathur tak pernah ingin menghancurkan seisi ruangan kecuali saat ini karena perasaan yang membakar. Dia pengecut.
"Dokter?" seorang wanita hamil menegur Fathur yang kelelahan dikursi tunggu. Ia baru saja menangani pasien kecelakaan.
"Naqila? Dimana Langit?"
"Kak Langit lagi beliin aku lontong sayur di kantin rumah sakit. Biasa.. Kangen makanan pas zaman koas." Naqi ikut duduk karena kakinya terasa pegal."Dokter sepertinya menyibukkan diri dari kemarin." Naqi berujar pelan. Ia memandang ke arah kanan dan mendapati suaminya tersenyum sambil menenteng kresek berisi lontong. Untung malam-malam masih ada yang jual.
"Bang Fathur ini galau ditinggal Najia." Langit baru sampai langsung paham suasana. Fathur mendengus sebal. "Aku sebenarnya ngidam disertnya Najia deh, Kak."
"Habisin dulu lontongnya ini." ujar Langit.
"Semangat dong, Bang. Kita bisa cari investor baru untuk rumah sakit Abang sebagai pengganti Pak Jhonatan." Langit menepuk punggung Fathur. Memberikan senyuman tanda menenangkan. Memang Rumah sakit Fathur gagal lounching karena kurang dana. Apalagi karena pernikahan yang gagal. Pak Jhonatan amat marah. Tapi untungnya Dina tidak begitu.
Mereka memberi Fathur sedikit dukungan dan pamit karena tak baik malam-malam begini ibu hamil lama di RS.
"Bagaimana lagi? Toh cuma ini yang bisa buat otak ku tidak kepikiran gadis itu lagi."
***
"Patah hati kan.. Udah dibilangin, tetep aja keras. Udah hampir lima bulan kamu ditinggal pergi Najia. lihat, sebulan pasti ada sakitnya." omelan Fatma membuat kepala Fathur tambah ingin pecah. Ia ke rumah ibunya karena ingin mencari ketenangan. Fathur lupa bahwa Fatma ini pendukung nomor wahid Najia.
"Aku hanya kecapean, Ma." Langit membela diri.
"Ya capek lah, wong kamu menyibukkan diri di RS aja. Memendam rindu sendirian. Apa nggak capek." Fatma menyomot biskuit dalam toples nyambil ngeteh. Tv menyala menampilkan acara horor.
"Kalau kamu melunak dikit aja nih ya, mungkin sekarang Najia lagi hamil anak kamu 4 bulan."
Fathur menghela nafas kasar. "Kok jadi hamil segala sih."
"Ya iyalah, kalau nggak keras kepala, sekarang kamu udah ada yang ngurusin. Apa susahnya sih terbuka. Najia jelas sekali menerima kamu apa adanya. Itu hanya cerita masa lalu, dijadikan pelajaran hidup untuk masa depan."
Fathur memilih diam, ia merebahkan diri di sofa. Baru pulang beberapa menit yang lalu sudah direcoki.
Pukul sepuluh malam, Rheni sudah tidur jam segini. Karena haus, Fathur melangkah ke dapur. Sepertinya segelas air dingin akan meredakan hatinya yang kacau.
Memandang arena dapur sekilas ia memandang siluet Najia yang sedang memasak. Ia tak tahu bahwa gadis itu seorang chef hebat, menandakan bahwa Fathur memang tidak pernah mencari tahu tentang Najia.
"Pak? Mau segelas cappuchino hangat?" Najia tersenyum kemudian terkekeh. Gadis itu melangkah ke arah patri dan menyodorkan segelas minuman hangat yang aromanya membuat Fathur tergoda.
"Senyum dong, Pak. Bapak kan ganteng kalau lagi senyum." Najia menumpu pipinya dengan kedua tangan di atas pantri. Gadis itu tampak manis, tak pernah terlihat jelek. Fathur mengagumi caranya tersenyum.
"Mama cerewet ya? Mau aku buatkan sesuatu yang manis? Coklat menjadi pilihan bagus untuk menemani suasana hati Bapak sekarang kan?"
Najia yang manis melangkah mendekati Fathur. Lelaki itu bahkan tak mampu berkata lagi. Ini membuat dadanya berdetak tak semestinya. Rasanya hangat, bahkan Fathur ingin suasana ini terus ia rasakan.
"Babaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!"
Fathur kaget dan sadar akan kenangannya semasa Najia di sini.
"Eh? Rheni? Kok malam teriak-teriak sih?"
Gila! Bahkan gerak-gerik Najia di rumah Fatma pun hafal di luar kepala. Membuat siluet nyata adegan ulang semasa dulu.
"Baba ngelamun lagi. Nggak di rumah, nggak di sini."
"Baba lagi capek aja."
"Makanya jangan lupa istirahat. Jangan kerja terus di rumah sakit. Nggak capek apa di omelin Oma terus."
"Kamu jangan omelin Baba juga dong." Fathur seperti pesakitan di rumah Fatma. Memang sudah mulai empat bulan yang lalu ia nginap di sini. Hal itu juga karena Rheni sendirian jika di rumahnya.
Mengerti suasana hati Fathur. Anak gadisnya tersebut mendekati ayahnya dan memeluk Fathur sambil mengusap-usap punggung lelaki itu.
"Kata Dilan emang rindu itu berat ya, Ba."
"Siapa Dilan?!" Fathur melepas pelukan Rheni. Membuat anak itu mendecis. "Pemain Film." Rheni kembali memeluk ayahnya.
"Rheni bingung kenapa Baba begini. Baba lebih paham lah urusan cinta-cintaan dari pada Rheni. Tapi setahu Rheni nih ya, saling percaya dan saling memaafkan itu hal penting."
Fathur mengangkat tubuh anaknya dan mengendongnya di punggung menuju kamar.
"Egois sesekali nggak apa-apa asal pada tempatnya."
"Kamu tau hal itu dari mana?"
"Novel hehehe." Rheni cengegesan, ia duduk bersila di atas kasur, Fathur juga duduk di tepi kasur menemani.
"Baba mau meyakinkan hati."
"Jangan lama-lama keburu kabur. Perempuan itu mahkluk pemburu kepastian. Digantungin entar malah lari." Ucap Rheni bijak, Fathur hanya terkekeh dan mencubit hidung anaknya.
"Baba sayang kamu."
"Coba berani nggak bilang gitu ke orang yang digalauin?"
***Fathur mengangkat telpon dari luar negeri. Baru saja ia angkat, suara berat khas Darius terdengar.
"Saya dengar kamu membatalkan pernikahan mu?"
"Iya benar, Datok."
"Saya akan beri dukungan untuk peresmian dan peralatan lengkap rumah sakit mu. Malam ini saya akan ke Bandung bersama istri. Kita akan bahas kontraknya. Selamat malam."
Belum sempat Fathur membalas salam. Panggilan telah terputus. Ahh... Akhirnya ada bantuan, walau mungkin ini dari Najia yang minta. Mengapa sisi egonya tidak terima?
Fathur segera menghubungi Langit. Berdiskusi singkat lewat telpon dengan keputusan akhir bahwa mereka akan bertanya apakah Darius mau menolong karena permintaan anak gadisnya atau bukan.
Malam harinya sesuai kesepakatan. Suasana restoran dengan alunan musik jaz terdengar indah. Baru sepuluh menit yang lalu Darius datang bersama asistennya. Membicarakan masalah kerjasama untuk pembangunan rumah sakit Fathur.
"Jangan kamu pikir saya membantu kamu karena Najia yang minta. Jangan suka menerka." Darius berkata serius. Padahal Fathur baru saja mau bertanya.
Karena waktunya tepat sekali ketika Jhonatan membatalkan kerjasama dan Darius datang membantu.
"Najia bahkan tidak tahu kalau kamu mau membangun rumah sakit bukan?"
Itu benar, Fathur tidak pernah membahas hal ini di hadapan gadis itu.
"Karena kalau dia tahu, pasti anak nakal itu merengek meminta ayahnya ini membantu lelaki yang bahkan dengan tega menolak dirinya." Langit yang sedari tadi menyimak mengulum bibir menahan tawa. Fathur menatapnya garang. Ia habis kena sindir sepanjang mereka diskusi.
Tbc~
KAMU SEDANG MEMBACA
Segelas Cappuchino (End)
RomanceBagi Fathur, Najia bukan diciptakan untuknya. Bagaimana bisa gadis ini jatuh cinta karena segelas cappuchino yang ia bayar? Dia sebegitu cintanya dan tak mempedulikan masa lalu Fathur da betapa pengecutnya lelaki itu. Mereka bahkan berbeda 13 tahun...