16. Sorry

215 8 0
                                    

"Walaupun udah putus bukan berarti mantan nggak bisa jadi bagian dari hidup lo di masa depan, kan?"
-Ryssa A.

Pagi yang cerah sekaligus melelahkan baginya. Ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk menghindari Alvero. Belum lagi ia harus menghadapi kakaknya yang keponya terlalu over. Padahal niatnya kan baik, ia ingin mempererat tali persaudaraan antara ia dan kakaknya dengan cara meminta tolong agar diantarkan ke sekolah. Memang salah?

Tak henti-hentinya ia menggerutu sepanjang jalan. Bagaimana tidak? Ia diturunkan di tengah jalan oleh kakaknya dengan alasan yang tidak masuk akal, 'gue belum mandi'. Astaga, siapa juga yang akan melihat wajah menyebalkan tersebut?

Kini, sampailah ia di depan kelasnya, 10 IPA 2. Sepi, tentu saja. Murid rajin mana yang mau berangkat ke sekolah pukul 05.30?

Ia duduk di tempat duduknya, melirik bangku Siska yang tepat berada di sebelahnya. Hatinya ikut teriris mengingat cerita dari Lina. Ia tau Lina, ia pasti tidak akan berbohong. Siska adalah Ayra yang pernah menjadi milik Vero. Dan Ryssa tidak akan mengganggunya.

Sebenarnya Ryssa bukan tipe orang yang kalem, tapi ia juga bukan tipe orang yang urakan. Maka, ia putuskan menjadi agak kalem pagi ini, ia sudah antisipasi dari tadi malam. Ia mengeluarkan novel untuk mengusir kebosanan di kelas sepi tersebut. Bukan hobbynya memang, tapi apa salahnya?

---

"Mau kemana kamu berangkat pagi-pagi begini?" Suara menginterupsi dari Ayahnya membuatnya menghentikan langkah.

"Sekolah." Jawabnya singkat.

"Biasanya tidak sepagi ini, mau kemana?" Tanya Pak Arya, lagi.

"Jemput cewek."

"Oh, kamu punya cewek? Apakah si Ayra tersebut? Ayah kira dia nggak bakal mau sama kamu lagi. Buktinya, dia me--"

"Stop!" Dengan cepat, Alvero memotong ucapan Ayahnya.

"Ayra udah nggak ada. Dan kalo Ayah ingin memperdebatkan tentang kematian anak tiri kesayangan Ayah, maaf telinga Vero udah terlalu panas buat denger segala caci maki dari Ayah." Tuturnya dengan tegas kemudian segera berlalu meninggalkan Ayahnya di ruang tamu, sendiri.

Sembari mengendarai mobil, ia tak henti-hentinya berucap kasar. Masa lalunya, mengapa Ayanya selalu membahas hal tersebut?

Apakah tidak cukup? Kematian seseorang yang tidak sepenuhnya salahnya seolah-olah direkayasa menjadi salahnya seutuhnya.

Apakah ia salah mencintainya? Toh juga tidak ada salahnya menurut agama maupun di masyarakat.

Jika dengan ia mencintainya membuat orang lain terluka, maka ia bisa meminta maaf, kan? Orang yang mencintainya juga pasti lebih memilih pergi daripada menjalin hubungan tanpa perasaan.

Jika dengan mencintai seseorang dia harus berkompetisi dengan kawannya, mengapa tidak? Apakah salah?

Lalu mengapa semua orang seolah buta akan keberadaannya dan tuli akan pendapatnya?

Entahlah, selama hampir 3 tahun hanya itu yang ia pikirkan. Semenjak orang yang ia cintai tiada dan orang yang mencintainya menghilang, hidupnya seolah monoton, tak bergerak, hanya stuck di sana saja, dan terlalu merasa aman di zona nyaman.

My ArkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang