14. Hati-hati Bermain Hati

96 12 1
                                    

Jeno dan Shiya berjalan untuk kembali ke sekolah. Langit semakin gelap dan mereka tidak lagi mengendarai sepedanya, entahlah, hanya mereka yang tau kenapa.

Saat ini, Jeno di depan tengah memegang kemudi sepeda, sementara Shiya di belakang mengekor dengan tangannya yang ia letakkan di jok sepeda. Keduanya tampak canggung setelah dialog penuh emosi tadi sore. Shiya sendiri sejak tadi hanya diam tak bergeming selain hanya mengulum bibir. Dan Jeno? Remaja tersebut sesekali menoleh ke belakang melihat Shiya yang tersenyum canggung setiap tatapan mereka saling beradu. Keduanya enggan membuka percakapan. Pasalnya, mereka bingung harus menjelaskan apa ketika temannya bertanya nanti. Mereka pergi di siang hari dan kembali pada malam hari. Sejauh ini, Shiya hanya khawatir tentang bagaimana reaksi Jaemy nanti.

Dan ketika sudah sampai di depan gerbang sekolah Shiya, gadis itu dengan cepat melangkah ke depan dan menghentikan langkah Jeno.

"Kenapa?" tanya Jeno bingung.

Tatapan Shiya tampak tak fokus. Gadis itu enggan menatap Jeno, masih malu dengan ciuman bibir mereka tadi.

"J-jeno, aku-" belum selesai Shiya bicara, gadis itu sudah tersenyum melihat reaksi Jeno yang juga sama sembari mengangguk, "Iya. Aku tau kok, Shiya." ujar si tampan itu.

"Aku gak akan bilang apa-apa sama Jaemy."

"Janji?"

Melihat Shiya mengajukan pinky swear, Jeno terkekeh dan justru menggenggam tangan kanan gadis itu, "Iya Shiya, untuk apa juga menceritakan hal tadi sama Jaemy. He's still your boyfriend."

Shiya tertegun mendengarnya.

"M-maksud aku, dia kan pacar kamu." lanjut Jeno, "Yaudah aku mau balikin sepeda ini ke tempatnya. Would you still be here?"

"Yes, i would."

Jeno mengangguk dan beranjak dari sana. Secara diam-diam, Shiya tersenyum malu jika mengingat apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Jeno. Shiya akui, hatinya lega. Benar-benar terasa lega. Bertahun-tahun ia menanggung rindu dan penyesalan tanpa kepastian, kini semuanya seolah sungguh dijawab oleh waktu. Ia dan Jeno. Bayangannya beralih pada saat pertama kali pertemuannya dengan putra sulung Suho Danadyaksa tersebut. Dalam benak Shiya, semuanya masih terasa tak mungkin.

"SHIYA!"

Shiya menoleh cepat dan tersenyum mendengar namanya dipanggil. Namun, senyuman cerahnya berubah masam tatkala ia melihat siapa yang baru saja memanggilnya dari arah gedung sekolah. Orang tersebut tengah berlari kecil ke arahnya.

"Darimana aja, hm? Haris bilang kamu pulang tadi siang."

"Pulang?"

Shiya menghembuskan nafas kasar. Sudah ia duga, teman-temannya pasti sudah siap mengarang alasan pada Jaemy. Jujur saja, tadi Shiya benar-benar lupa untuk sekedar membuka ponselnya dan mengabari Jaemy. Lagipun, jika bisa, ia mau bilang apa pada kekasihnya itu. Ck.

"Oh i-iya, itu tadi aku, hmm yaudahlah gak usah dibahas, sekarang kan aku udah balik kesini." sebisa mungkin Shiya tersenyum di hadapan Jaemy menutupi rasa bersalahnya. Pikir Shiya berkelakar tentang sudah berapa kali Jaemy dibohongi hari ini.

"Yaudah yuk, balik ke ruang panitia."

Shiya bukannya tak mau, tapi tadi dia kan sudah berjanji pada Jeno bahwa dirinya akan tetap ada disana sampai Jeno kembali dari tempat parkir.

"Disini aja dulu, menghirup udara malam."

"Udara malem mana sehat sih Shiya.. goblok banget lo heran." Batin Shiya merutuki dirinya sendiri.

"Kamu apaan sih, yang ada masuk angin kalo menghirup udara malem, sayang."

"Tapi kan enak, dingin."

DIPELUK WAKTU // NCT x (G)IDLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang