"Try out sialan," dengus Gavin yang membuatku tertawa. Padahal baru try out UN yang kedua, tapi Gavin sudah kesal seakan sudah banyak melakukan try out hingga muak.
"Biasa aja dong, biasanya juga gak belajar kan," kata Aaron membalas perkataan Gavin.
"Masalahnya, gampang ngantuk gua kalo ngerjain,"
"Diterangin guru aja lu tidur," timpal Kevin, lalu duduk di meja Gavin setelah wali kelas keluar dari kelas dan bel tanda bubarnya kegiatan belajar mengajar berbunyi.
"Ya beda. Di kelas kan bisa ngobrol, di lab komputer mana bisa? Yang ada ditempeleng pengawasnya lagi,"
Aku yang awalnya menatap Gavin, kemudian menoleh ke arah depan dan melihat Wina yang duduk di kursi agak depan, menghampiriku yang duduk paling belakang. Ini semua karena undian setiap minggu yang menentukan posisi tempat duduk dalam 5 hari. Minggu ini, aku duduk bersama Gavin di meja paling belakang. Tidak masalah, aku malah senang karena bisa bermain ponsel, belajar soshum, mengobrol, dan lain-lain.
Wina duduk di kursi depanku yang kosong. "Belajar gak buat besok?"
"Iya, tapi ga mau try hard. Belajar bab yang gue bisa aja. Yang gak bisa, gue lepas," padahal lebih banyak bab yang tidak aku kuasai.
"Sama deh,"
Di bulan pertama tahun 2020 ini, kami langsung disapa try out dari sekolah untuk menghadapi ujian nasional. Aku sudah berpikir, pasti aku akan sibuk dan stress menghadapi segala ujian. Tapi yang ada, jiwa santaiku lebih mendominasi, sehingga aku terkesan malas.
Aku adalah tipe orang yang menganggap suatu ujian adalah kewajiban, bukan rintangan. Maka dari itu, asal aku mengerjakan, semua selesai. Lagi pula, aku akan lintas jurusan ke soshum. Jadi, untuk apa aku belajar keras demi UN?
Rasanya semua yang kupelajari sejak kelas 10 adalah sia-sia. Sebenarnya dari awal, aku sudah tidak berminat masuk IPA. Tapi apa yang bisa kulakukan jika ayahku sangat menginginkan anak pertamanya ini masuk IPA.
Tidak terasa, aku sudah berada di penghujung tahun terakhirku di SMA. Kurang lebih 3 bulan lagi, aku akan menghadapi ujian nasional. Ujian penentu kelulusan, pertanda bahwa aku sudah bukan siswa SMA Bakti Bangsa lagi. Pertanda bahwa, aku sudah tidak memiliki hak belajar di sekolah ini, dan sudah tidak memiliki kepentingan lagi di sini. Tidak bisa bertemu dengan teman, tidak bisa merasakan suasana kelas yang selalu ramai, tidak bisa menikmati canda tawa dengan setiap lelucon dan keusilan teman, tidak bisa melakukan pelajaran olahraga dengan teman sekelas yang pasti ujung-ujungnya selalu bermain werewolf, tidak bisa merasakan kenakalan di sekolah, dan tidak bisa merasakan sensasi ketika berpapasan orang yang disukai.
Ah, Hansel apa kabar, ya?
Sudah lama aku tidak melihatnya. Setelah pertandingan basket beberapa bulan yang lalu, aku hanya sesekali melihatnya di kantin, jika aku sedang beruntung. Atau ketika ia dan teman sekelasnya berada di taman ketika pembelajaran di luar kelas, ketika ia melewati koridor, ketika ia berada tepat di kelas sebelahku yang sedang dipakai untuk rapat pensi dan diam-diam aku melirik lewat pintu yang menghubungkan antarkelas. Suatu hal kecil yang bisa menaikan suasana hatiku.
Dan sebentar lagi, aku sudah tidak bisa melakukan hal kecil tersebut.
Sungguh, rasanya aku ingin kembali ke awal kelas 10. Aku akan lebih menikmati setiap momen yang ada, karena ketika lulus, pasti aku akan merindukan momen tersebut sekecil apapun maknanya.
Cerita di masa SMA, tidak hanya sekadar cerita pertemanan dan percintaan remaja, tapi lebih dari itu. Semua kisah seakan memiliki makna tersendiri yang terukir indah bagi setiap orang. Entah seberapa menyedihkan kisah itu, pasti akan selalu tersimpan di sudut memori.
Aku merasakan ponsel di saku rokku bergetar, menampilkan sebuah pesan dari ayahku bahwa beliau sudah berada di depan sekolah.
Aku merangkul tas, kemudian bangkit berdiri. "Gue duluan ya, udah dijemput," kataku yang dibalas lambaian tangan juga ucapan "yaa, tiati," dari teman-temanku.
Aku berjalan cepat menuju gerbang sekolah, hingga akhirnya kuperlambat langkahku ketika melewati lapangan outdoor. Tampak Hansel dan beberapa anak kelas 10 dan 11 yang bermain basket. Seragam putihnya sudah keluar, rambutnya sedikit basah karena keringat, rambutnya yang naik turun ketika sedang berlari, tak lupa senyum cerah yang terukir ketika lemparannya berhasil masuk ke dalam ring.
Astaga, bagaimana bisa dalam keadaan berantakan dengan wajah dan seragam yang penuh keringat, Hansel masih saja tampak keren?
Kukira, setelah sekian lama tidak pernah melihatnya, perasaan kagum ini juga perlahan luntur. Tapi nyatanya, baru melihat Hansel dalam jarak jauh saja, jantungku berdegup kencang, sekujur tubuhku panas, seakan aku kembali dibuat jatuh hati olehnya, seperti hari di mana aku resmi menjadi fans Hansel.
Bagaimana jika kemungkinan terburuknya, aku susah melepasmu, Hansel?
Guanlin as Gavin si tukang mabar ml
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Better; haruto
Short StoryBisa gak sih, gantengnya Hansel dikurangin? Kalo rasa ngefans ini jadi perasaan suka, emang dia mau tanggung jawab?