7) Selesai

342 41 3
                                        

Bel tanda pulang sekolah berbunyi sejak 5 menit yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bel tanda pulang sekolah berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Begitu pula denganku, Wina, Rina, dan beberapa siswa lain di kelasku yang sibuk berganti baju, menyemprotkan parfum, menyisir rambut, dan hal lainnya untuk mempersiapkan diri suporteran. Pertandingannya dimulai jam 3, sedangkan sekolah baru selesai jam setengah 4.

Waktu istirahat tadi, Marcel menyempatkan untuk chat di grup, memberitahukan bahwa pertandingan akan dimajukan 30 menit lebih awal.

"Pesen grabcar sana," kata Wina yang sedang sibuk menyisir rambut.

Rina langsung mengambil ponselnya dan memesan grabcar.

Butuh waktu 20 menit untuk kami tiba di Gor. Sewaktu kami masuk, pertandingan sudah memasuki kuarter 2, dengan skor 16-18, unggul di SMA 20. Aku sempat menyayangkan waktu yang sudah terlewat sehingga tidak bisa melihat Hansel lebih lama. Tapi tidak apa, bukan itu yang terpenting saat ini, skor selisih 2, yang artinya SMA 20 bisa saja terus menyalip skor.

"Suporteran ga nih?" tanya Wina.

"Iya aja yuk? Ga ada yang tau kalo ternyata ini suporteran yang terakhir kalinya," jawab Rina.

"Yaudah yuk,"

Kami yang kompak memakai kaos bewarna hitam, berjalan satu per satu melewati kursi penonton menuju tribun tempat siswa Smakta sedang suporteran. Sayang, kami mendapat tempat yang agak jauh dan lebih tinggi dari lapangan.

"Yah, ga bisa liat Hansel dengan jelas nih," bisikku pada Wina yang ada di sebelah.

Wina terkekeh. "Iyaa huhuhu,"

Pertandingan kali ini lebih menegangkan. Tak jarang skor mereka seri, kadang unggul SMA 20, kadang unggul Smakta. Wajah tim basket Smakta tidak seceria kemarin, lebih tepatnya, mungkin pesimis?

Dan ini konsekuensiku ketika memilih untuk suporteran. Tidak fokus, kadang salah gerakan, beberapa lagu yang tidak kuhapal, tapi sudahlah, yang penting aku bisa melihat Hansel.

Kaki pemuda bernomer punggung 3 itu lincah berlari sambil menghindari lawan. Tangannya dengan lihai men-dribble bola dari tangan kiri ke tangan kanan. Hanya dengan satu tangan, Hansel bisa melempar bola jarak jauh dan segera ditangkap pemain nomer 30, Sean Adiprana.

Sean dengan cepat segera melesat dan melakukan under ring, mencetak 2 point untuk Smakta. Hansel bertepuk tangan, memberikan semangat pada teman-temannya. Namun, SMA 20 berhasil menyusul Smakta dengan mencetak 3 point berkat lemparan setengah lingkaran dari pemain unggulannya.

Marcel yang sedari tadi duduk di kursi penain mengacak rambutnya frustrasi. Takut, cemas, pesimis, panik, semua jadi satu. Ditambah, pemain SMA 20 yang selebrasi dengan gerakan aneh yang ditunjukan pada tim suporternya, menambah rasa iri dari Smakta. Satu kata untuk SMA 20, kasar. Mereka tidak segan-segan maju, menyikut, atau bahkan mendorong ketika defence menggunakan badan besar mereka. Terlihat sangat jelas, tapi entah kenapa wasit tidak memberi peringatan.

Better Better; harutoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang