1) Kamis, 24 Oktober 2019

1.6K 91 5
                                    

"Marcel!" panggil Wina

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Marcel!" panggil Wina. Marcel yang sedang mendengarkan musik dari ponsel langsung melepas earphone-nya.

"Wuidihh, sang player kita bung," godaku.

"Nih Jco. Harus menang pokoknya, kan udah dikasi Jco," Wina menyerahkan seplastik isi kotak Jco ke adik kelas yang ia kenal, karena anak basket duduk di teras GOR (Gedung Olah Raga) dan Marcel berada di tengah-tengahnya, sehingga sulit menyerahkan langsung kepada Marcel.

"Makasih ya," ucap Marcel senang.

Wina ikut senyum ketika anak basket bahagia karena pemberian kami yang sebenarnya untuk Marcel. Tidak apa, Marcel juga mana mungkin akan menghabiskannya sendirian.

Tanpa sadar, aku tersenyum tipis melihat mereka yang masih asik bercanda satu sama lain, tertawa, dan tersenyum di tengah kegugupan. Memori satu tahun yang lalu ketika aku menjadi anggota tim dance mendampingi anak basket kembali terputar. Jantungku berdegup cepat, ikut gugup. Rasanya sangat nyata, seakan aku bisa merasakan apa yang dialami anak basket dan dance yang akan tampil hari ini.

Tanpa sengaja, manik mataku melihat Hansel Damaraputra,  anak kelas 10 yang cukup terkenal karena visualnya. Pemuda itu tersenyum bahagia sambil melihat ke arah kotak Jco. Aku akui, Hansel memang good looking, tapi masih batas wajar alias tampan pada umumnya. Karena itu, aku tidak tergila-gila seperti yang lain.

"Kita masuk ke GOR ya. Pokoknya kalian harus menang!" kata Michel.

"Oiya, nanti kita ga suporteran," kata Wina tiba-tiba, tidak penting sebenarnya, tapi sepertinya Marcel harus tahu.

"Oh, oke," Marcel menganggukan kepala.

Akhirnya aku, Wina, dan Michel masuk ke dalam Gor yang cukup ramai. Kami memilih untuk duduk di seberang tribun suporter sekolah kami. Tentu saja kami menghindari ajakan suporteran, supaya bisa menonton basket dan dance dengan fokus.

"Sumpah ngaret banget. Ini aja masih quarter dua anjir," keluhku tidak sabar. Mau tidak mau, aku harus menonton pertandingan dari sekolah lain dahulu selama 25 menit.

"Anjir, SMA Pancasila main kasar," komentar Wina.

"Ngeriii,"

Berbeda dengan Wina dan Michel yang asik menonton basket, aku malah lebih sering melamun. Jika bukan temanku sendiri atau orang yang kukenal yang bertanding, entah kenapa aku merasa bosan.

Tiba-tiba ada anak kelas 11 yang lewat lalu menepuk bahuku. "Kak, kok ga ke sana?" tanyanya sambil menunjuk ke tribun seberang yang tampak siswa dari sekolahku sudah siap untuk suporteran.

Aku sudah membuka mulutku ingin menjawab, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Kusenggol berkali-kali lengan Wina agar ia mau membantuku menjawab. Sial, sengaja tidak peka ya?

"Iya nanti," jawabku akhirnya.

"Oh oke," katanya, lalu pergi ke tribun seberang. Aku langsung menghela napas lega. Sebenarnya ada rasa tidak enak ketika tidak ikut berpatisipasi, tapi mau bagaimana lagi, kan kami hanya ingin menonton jalannya pertandingan dengan fokus.

Better Better; harutoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang