Helaan napas mulai meluncur dari mulut Vanessa, sekarang dia sedang mengerjakan laporan skripsinya di belakang rumahnya, ia ditemani Feris dan Ghani yang sedang bermain basket.
"Gimana kemarin Adit? Makin ganteng?" tanya Ghani dari kejauhan. Entah itu sudah pertanyaan ke berapa yang Ghani ajukan padanya, membuat Vanessa kesal sendiri.
"Udah deh nanya mulu lo! Ketemu sendiri sana! Lo sama dia 'kan sama-sama ambil arsitektur!" balas Vanessa ketus.
"Gue mau denger pendapat lo," ujar Ghani, Vanessa bisa melihat senyum miring Ghani yang begitu menyebalkan.
"Malesin deh lo!" seru Vanessa, ia mulai mencebikkan bibirnya.
"Btw Nes, gimana kabarnya dia? Sehat 'kan?" tanya Feris. "Sehat lah! Buktinya kemarin dateng tuh!" seru Vanessa kesal.
"Oh, berarti udah gak ada luka-luka yang kayak dulu ya?" tanya Feris lagi, lebih tepatnya seperti menyindir, sebab kalau Adit habis tawuran larinya itu ke rumah mereka, takut dimarahi Zahra kalau langsung pulang ke rumahnya.
"Gak ada lah! Makin ganteng malah wajahnya!"
Oke, Vanessa akui, wajah Adit semakin tampan, rasanya Vanessa agak tak ikhlas mengapa Adit versi dewasa lebih tampan dibanding Adit versi remaja.
"Hemm ganteng toh, tadi aja gak mau jawab pertanyaan gue," ujar Ghani.
Vanessa berdecak, ia menoleh sebal ke arah kakak dan adiknya.
"Gue mau ngerjain skripsi yang tinggal dikit lagi, jangan pada rusuh!" peringat Vanessa.
"Orang nanya malah dibilang rusuh," ujar Feris dan Ghani bersamaan, namun Vanessa hanya menjulurkan lidahnya.
Ia mulai berkonsentrasi terhadap skripsinya. Ia mulai melihat jurnalnya tentang penelitiannya di sebuah ruang lingkup kerja, lalu dia membandingkan teori dasar dalam bukunya.
"Kenapa lo gak jadi ke sekolah-sekolah?" tanya Ghani, ia duduk di depan Vanessa, sedangkan Feris memilih untuk menelpon kekasihnya.
"Gak papa, temen gue banyak yang ambil sampel di sekolah, gue mau mencoba yang beda, akhirnya gue masuk ruang lingkup kerja, untungnya Om Darel ngizinin."
Ghani hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu hening terjadi diantara mereka.
"Gimana kuliah? Lancar?" tanya Vanessa. Sudah lama ia tak bertanya seputar kehidupan Ghani, dia menjadi rindu dengan adiknya ini.
"Lumayan sih, lo tahu sendiri kadang gue males ngejar target, tapi di sana gue ditarget mulu, jadi ya gitu, kebanyakan gue gambar di luar nalar."
"Luar nalar gimana?" kini pandangan Vanessa ke arah Ghani, sepertinya sudah banyak hal yang Vanessa lewatkan.
"Ya kayak gue disuruh gambar gedung, gue gambar gedung sih tapi gue utamain kayak pohon di sekitar atau gak rumah atau gak jalan yang rindang. Lo tahu sendiri gue anaknya nyeleneh," jawab Ghani, senyum miring tercetak jelas di wajahnya.
"Nyeleneh tapi gambaran bagus, mana mungkin gak dapat nilai A," ucap Vanessa. "Iya lah, gue walaupun nyeleneh tetap merhatiin detail keseluruhan."
Vanessa menganggukkan kepala paham. "Eh Kak," panggil Ghani.
"Apa?"
"Gue minggu-minggu kemarin sering ketemu Bang Adit," ujar Ghani. "Terus?"
"Gambarannya tetap aja bagus ya, ide dia gokil buat skripsinya, gue suka gaya dia." Vanessa mengerutkan dahi.
"Emang apa idenya dia?" tanya Vanessa.
"Dia mau buat panti asuhan yang kawasan sekitarnya itu ada sekolah, ada toko buku, ada rumah sakit. Mana panti asuhannya itu kayak apartemen, gue waktu itu ngelihat dari sisi depannya sih detailnya bagus, kayak jalan sekitar itu rindang."
"Terus?"
"Terus, dari kejauhan bisa dilihat ada sekolah, kalau deketnya panti ada kayak swalayan, paket lengkap deh dia, katanya mau beda, padahal temennya kebanyakan gedung pencakar langit atau gak kayak sekolah yang dibuat detail, atau gak perumahan gitu."
Vanessa tersenyum kecil, selalu ya Adit, ingin berbeda.
"Kayaknya dia emang gitu ya, selalu mau berbeda," ujar Vanessa.
"Iya, gue mau ceritain hal penting nih, eh gak penting juga sih," ujar Ghani. Vanessa melihat ke arah Ghani, tatapan penuh tanya tentunya.
"Di jurnalnya, masih ada foto lo, gue gak sengaja buka per halaman, eh sengaja sih, hehehe. Katanya Bang Adit gak papa, buat kenangan masa lalu juga buat asah skill gambar."
"Terus? Apa hubungannya sama gue?" tanya Vanessa.
Ghani mengangkat bahunya.
"Siapa tahu lo mau tahu sketsa lo masih ada apa gak? Jawabannya masih, Bang Adit juga selalu bawa jurnalnya itu, katanya jurnal favorit, gak bakalan keganti juga."
Vanessa menghela napas, lalu melihat ke arah Ghani.
"Gue bingung, kalian tuh dukungnya gue sama siapa sih? Lo sama Bang Feris suka mojokin gue sama Adit, anak-anak yang lain juga. Tapi waktu Raka nembak, kalian suruh terima, gue jadi kayak mahasiswi bego."
"Kok bisa bego?" tanya Ghani seraya mengeryitkan dahinya.
"Ya gue mahasiswi psikologi, tapi gue juga bingung sama perasaan gue, haduh kayak bego aja."
"Wajar kali, namanya juga perasaan. Gue jawab pertanyaan lo tadi. Gue dukungnya lo sama siapa? Sama jodoh lo nanti, kalau jodoh lo Bang Raka ya gue dukung sama Bang Raka, kalau Bang Adit, ya sama dia atau yang lain."
Vanessa cemberut. "Tapi kalian suka mojokin gue sama Adit, udah empat tahun semenjak putus padahal?!"
"Ya habisnya lucu kalau ngelihat wajah lo yang ngambek, lagian Bang Adit gak masalah kalau gue godain, malah kalau balikan gue suruh ngaamiin ni, ya walaupun ujungnya Bang Adit nyengir ke Bang Raka."
"Ha? Nyengir gimana?"
"Nyengir sambil minta maaf, Bang Raka yang gak tahu apa-apa cuma melongo tapi ya tetep maafin. Mereka gak pernah berantem kok, Bang Raka ke fakultas juga karena mau nengok temennya yang kebetulan temen Bang Adit," jelas Ghani.
"Gue kok gak pernah dikasih tahu Raka kalau dia punya temen di Arsitektur, juga kalau dia udah kenal sama si Adit," ucap Vanessa.
"Bang Adit sih yang gak ngebolehin Bang Raka cerita, karena menurut Bang Adit itu gak penting, kayak cerita mantan ke pacar gitu," ucap Ghani.
"Lagian nih ya, Bang Adit gak pernah buat Bang Raka marah, nunjukin sketsa gambarnya aja gak pernah. Bang Adit malah selalu support kalian berdua, waktu gue tanya kenapa? Katanya kalian cocok, walaupun Bang Adit suka menghayal balikan, tapi nyatanya kalian cocok dan Bang Adit ngedukung banget hubungan kalian."
Vanessa terdiam, senyum tipisnya mulai terbit.
"Lo kenapa cerita sih Ghan? Buat gue mengembalikan rasa kagum gue ke Adit, sumpah gue gak mau ngebalikin rasa gue ke dia." Vanessa menghela napas sejenak.
"Empat tahun gue berusaha gak tahu kabar dia, kenapa di tahun terakhir kuliah gue selalu tahu kabar dia sih? Mana lo ngomong gitu! Kesannya Adit udah dewasa banget," ujar Vanessa.
Ghani terkekeh, lalu dia berdiri dan mengacak rambut Vanessa sekilas.
"Emang Bang Adit udah dewasa, lebih luas pandangannya, gak dari satu sisi. Percaya sama gue kalau lo ngobrol di luar perasaan, lo makin kagum ke dia."
Sebelum Ghani masuk ke rumah dia berkata, "tapi jangan lupain Bang Raka, dia yang berhasil narik hati lo. Jadi pasti dia yang lebih mengagumkan 'kan?"
--------
*gambar ambil Pinterest ya!
Semoga kalian selalu sehat, aamiin.
-aly
KAMU SEDANG MEMBACA
Favourite Ex
Teen FictionAdit, mahasiswa tingkat akhir yang sedang gencar-gencarnya menghadapi Tugas Akhir perkuliahan lagi-lagi harus tergoyahkan dengan urusan hati. Apalagi, dambaan hatinya tidak pernah berganti semenjak ia memutuskan hubungannya di kelas 12 SMA. Vanessa...