Vanessa mulai mengibaskan selimutnya tatkala dering alarm terus terngiang. Dia segera mematikan alarmnya dan mulai duduk di kasur. Dia menghela napas sejenak, mengamati sekitar kamarnya yang dominan berwarna biru muda.
Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Oke, hari sabtu, Vanessa tak ada jadwal bimbingan, hari sabtu ini juga Vanessa sedang berhalangan membuatnya terbangun lebih siang.
Kakinya mulai ia jejakkan pada lantai kamarnya dan ia segera membuka jendela, menghirup sebentar udara, dan senyum kecilnya menyeruak.
"Mandi dulu deh, baru ke bawah," gumam Vanessa. Lalu ia segera berjalan ke arah kamar mandinya.
Sepuluh menit berlalu, dia sudah berganti pakaian yang awalnya baju tidur, kini berganti dengan celana selutut serta baju tanpa lengan. Dia membuka pintu kamarnya.
"Tumben sepi nih rumah, patut dicurigai ini," selidik Vanessa. Ia menengok, kamar kakak dan adiknya tertutup.
"Bang Feris! Ghani!" teriak Vanessa seraya menuruni anak tangga. Nihil, tiada jawabannya.
"Kebuka sih ruang keluarga, tapi kok kayak sepi?" tanya Vanessa pada dirinya sendiri.
Dia memilih berjalan ke kulkasnya. Di pintu kulkas ada dua post it berwarna hijau dan kuning.
Post it hijau.
Dek, kakak yang ganteng ini mau ngapel dulu ya. Muaahhh. Nanti kakak beliin pizza kesukaanmu lohh, muah muah. -Feris terganteng.Post it kuning.
Kak, gue mau kumpul sama komunitas arsitektur ya, udah lama gak kumpul, btw sama mantan kakak ipar lo, hehehe. Nanti gue beliin martabak depan perumahan, oceeee. -Ghani"Tumben baik? Patut dicurigai ini," ujar Vanessa pada dirinya. Dengan segera ia melangkahkan kakinya ke arah ruang keluarga.
Umpatan mulai meluncur di bibir mungil Vanessa.
"FERIS! GHANI! LAKNAT SEMUA! TUH KAN BERANTAKAN RUANG KELUARGA GEGARA KEMARIN MAIN PS! SHIT!"
Vanessa mulai naik pitam. Namun, ia berusaha bersabar, dia akan memberi pelajaran ketika Feris dan Ghani pulang.
"Gini nih kalau udah gak ada Bi Yuli yang ngebantu, pasti gue yang dijadiin babu." Vanessa mengeluh seraya membersihkan ruang keluarga.
"Sialan banget sih tuh saudara, setiap minggu gue berasa ibu rumah tangga! Masakin mereka lah, ngerapihin baju mereka lah, ngecuci in lah, bersih-bersih lah! Hih dikira mereka anak gue apa!"
"Amit-amit juga kalau punya anak kayak mereka, bisa pening kepala gue setiap bulan dapat laporan dari guru!"
Vanessa tak henti-hentinya berkata kejelekan kedua saudaranya. Hingga bel rumahnya berdenting.
"Iya, bentar!" teriak Vanessa.
Ketika membuka pintu, muncul lah wajah Raka dengan senyum khasnya.
"Halo!" sapa Raka. Vanessa cemberut, ia ingin berkeluh kesah pada Raka.
"Kok gak disapa balik sih? Malah cemberut," ujar Raka seraya mencubit hidung Vanessa.
"Masuk dulu deh," suruh Vanessa. Kemudian dia duduk diikuti Raka yang juga duduk disebelahnya.
"Ih aku sebel banget sama dua kurcaci di rumah ini! Masa iya mereka itu keluar dan mereka ninggalin ruang keluarga yang berantakan!"
Vanessa menghentakkan kakinya dengan kesal, ia mengadu pada Raka layaknya anak kecil.
"Emangnya kemana mereka?" tanya Raka lembut, dia tahu kalau kekasihnya ini sedang kedatangan 'tamu' pasti sikapnya lebih manja dan Raka harus banyak bersabar.
"Feris lagi ngapel sama pacarnya kalau Ghani lagi kumpul sama komunitasnya," adu Vanessa.
Raka mengelus kepala Vanessa saat Vanessa menyenderkan kepalanya ke bahu Raka.
"Mau aku bantuin beberesnya?" tanya Raka. Vanessa menggelengkan kepalanya, dia hanya ingin Raka disampingnya.
Katakan saja Vanessa manja, tapi memang ini kenyataannya, kalau Vanessa halangan, dia akan menjadi sangat manja.
"Terus? Mau apa? Mau aku beliin apa?" tanya Raka. Vanessa hanya menggelengkan kepala, tiba-tiba dia memeluk Raka. Isakan kecil meluncur di bibirnya.
"Loh? Kamu kok nangis? Aku bikin salah? Apa aku ada salah? Apa gimana deh?" tanya Raka khawatir, Vanessa yang ditanyai seperti itu hanya menggelengkan kepala.
Raka akhirnya menghela napas, dia mengelus punggung Vanessa. Berusaha menenangkan kekasihnya ini.
"Kita keluar gimana? Jalan-jalan aja, terserah kamu mau kemana, ayo?" ajak Raka saat isakan Vanessa berhenti.
Namun, Vanessa mengelengkan kepalanya lagi. Dia hanya menegelamkan wajahnya di bahu Raka, dia hirup aroma tubuh Raka yang menenangkan. Perasaan bersalah mulai muncul.
Kemarin, dia bertemu dengan Adit di perpustakaan kampus. Kala itu Adit sedang menghitung ukuran tugas akhirnya, ketika Vanessa hendak duduk di seberang Adit.
Vanessa tersenyum melihat Adit, ingatannya muncul saat ia dan Adit bertama kali berkenalan. Dia menatap Adit hingga Adit mendongak. Tatapan mereka bertemu, cukup lama, sampai Vanessa menunduk membaca bukunya.
"Ngerjain tugas?" tanya Adit dari seberang. "Iya." Vanessa tak menoleh, ia takut pada sebuah rasa.
"Tumben sendiri? Temen-temen lo mana?" tanya Adit. "Di kantin, habis ini juga nyusul ke sini."
Hening kembali, Vanessa ingin fokus menelaah isi bukunya, namun fokusnya sedikit terasingkan tatkala tatapan Adit kini tertuju padanya.
"Kenapa?" tanya Vanessa jengah. Dia akhirnya mendongak. "Apanya?"
"Kenapa ngelihatin terus?"
Adit tersenyum dan menggelengkan kepala membuat Vanessa berdecak. Dia pun memilih melanjutkan membacanya. Kali ini dia fokus, hingga sebuah tangan mulai menyerahkan selembar kertas.
"Semangat ngerjain tugasnya! Good luck!" Adit memberinya kertas sketsa dirinya, cukup sederhana, tapi memiliki kesan tersendiri bagi Vanessa.
"Makasih," ucap Vanessa. Tangan Adit mulai mengacak rambut Vanessa sebelum berlalu. Meninggalkan Vanessa beserta kenangan yang meluap di benaknya.
"Nes?" sapaan Raka membuat Vanessa tersadar.
"Kamu kenapa deh? Kok ngelamun?"
Vanessa saja tak sadar kalau Raka sudah melepaskan pelukan mereka.
"Gak papa, cuma gak tahu lah, aku ngerasa lagi labil aja," ujar Vanessa.
Tatapan Raka teduh, diiringi senyuman menenangkan. Air mata Vanessa kembali menggenang.
Maaf Ka, maaf. Batin Vanessa.
"It's okay if you don't tell about your problem to me."
"Maaf," ucap Vanessa, lagi-lagi dia memeluk Raka. Raka mengusap punggungnya dengan lembut.
"Udah jangan nangis lagi, gak semua masalah bisa diceritain emang, aku paham kamu kok. Tapi, kalau kamu butuh aku, aku siap kok, aku selalu ada di depan kamu, di samping kamu."
Vanessa mengangguk. Harusnya, dia tak memiliki rasa pada Adit yang jelas-jelas sudah menjadi mantannya sejak empat tahun yang lalu. Harusnya dia bisa melupakan Adit yang notabennya dulu menyakiti hati Vanessa.
"Kamu udah makan?"
"Belum," jawab Vanessa.
"Ya udah kita makan bubur depan perumahan yuk?" tawar Raka. Vanessa mulai melepaskan pelukannya.
"Tapi ruang keluarga belum beres," adu Vanessa membuat Raka gemas sendiri.
Raka berdiri, ia mulai mengulurkan tangannya membuat Vanessa melihatnya bingung.
"Mau ngapain?" tanya Vanessa polos.
"Ya beresin ruang keluarga lah! Ayo, aku bantu! Biar cepat selesai, biar kamu cepat makan juga, ayo!"
Vanessa tersenyum, dia mulai menerima uluran tangan Raka. Ini benar, harusnya Vanessa tak menghadirkan rasa pada Adit.
------
Raka sabar banget ya? Hehehe
-aly
KAMU SEDANG MEMBACA
Favourite Ex
Teen FictionAdit, mahasiswa tingkat akhir yang sedang gencar-gencarnya menghadapi Tugas Akhir perkuliahan lagi-lagi harus tergoyahkan dengan urusan hati. Apalagi, dambaan hatinya tidak pernah berganti semenjak ia memutuskan hubungannya di kelas 12 SMA. Vanessa...