—Selamat Membaca—
••••Mata bulat itu mengerjap beberapa kali, membiarkan pupilnya mengatur dan menyesuaikan diri dengan cahaya luar. Sial, rasa nyeri dibagian kepala langsung menyerangnya begitu saja. Pun ia segera mengatur posisi duduk lalu memijit pelan pelipisnya.
Matanya bengkak—nampak sekali di wajahnya— itu terasa sangat berat sekadar untuk terbuka. Setelah memijit pelan pelipisnya, Tzuyu menyingkirkan asal selimut yang menutupi setengah dirinya. Kaki jenjangnya kini berpindah ke atas permukaan lantai.
“Ini tisu kenapa pada berserakan?” adalah kalimat pertama yang ia lontarkan pagi ini setelah melihat keadaan kamarnya yang cukup berantakan; tisu bekas bertebaran, sepatu serta kaus kaki yang ikut berserakan, dan pot kecil itu ikut tergeletak sampai tanah yang menjadi media tumbuhnya berceceran di lantai.
Tzuyu segera beranjak untuk menyelamatkan kaktus kecil itu sebisa mungkin mengembalikan tanah ke dalam pot, lalu menyiraminya dengan air.
Pot kecil berisi kaktus itu ia letakkan di kusen jendela. Menyingkap tirai beludru berwarna merah agar cahaya matahari bisa masuk dan dapat membantu proses fotosintesis bagi tanaman kecil tersebut.
Tzuyu tertawa miris. Miris mengingat apa yang ia lakukan tadi malam adalah hal bodoh.
Menangis. Iya, semalam Tzuyu menangis.
Bego, bodoh, semua yang menyangkut kedua hal itu adalah ungkapan penyesalan atas apa yang ia lakukan. Lihatlah dirinya sekarang, masih mengenakan pakaian kemarin dengan mata yang bengkak. Lupakan soal kamar yang berantakan, nanti akan ai bereskan dengan cepat.
Tok tok
“YU! TZUYU! YUHUUU!!”
Seruan itu membuat Tzuyu mendengus sebelum membuka pintunya. Chaeyoung berdiri di sana, di ambang pintu cokelat tua itu, sementara si pemilik kamar hanya menongolkan kepalanya dari dalam.
“Mau sarapan kaga?”
Pintunya ia buka lebih lebar, “Gak, males.”
“Tumben,” katanya kemudian alis Chaeyoung langsung mengerut, menyadari sesuatu. “Mata lo kenapa? Lo nangis?”
“Nggak, semalem gue begadang.” Alibinya, tentu saja Chaeyoung tahu itu adalah jawaban yang tidak berdasar atas fakta alias bohong.
“Begadang jangan begadang... hehe.” Chaeyoung nyengir, selingan agar tidak terlalu serius. “Semalem lo pulang duluan gak ngabarin, yang tua-tua pada khawatir lho!”
“Hah?” agaknya Tzuyu sedikit terkejut. “Emang semalam gue pulang gak bareng kalian?”
Chaeyoung mendesis, “Ish, masih muda udah pikun.”
“Apa sih, Chae?! Gue kan semalam pulangnya bareng kalian—EH TUNGGU, SEMALEM GUE PULANG DULUAN?!”
“GAK, SEMALEM LO PULANGNYA TELAT! YAIYALAH PULANG DULUAN! BILANGNYA MAU KELUAR SEBENTAR, TAUNYA KAGA BALIK-BALIK!” balas Chaeyoung berteriak.
Tzuyu bahkan tidak ingat kalau dia pulang duluan seperti yang dikatakan Chaeyoung. Sumpah, tidurnya tadi malam itu seolah menghapus semua ingatannya kemarin, terkecuali beberapa hal sialan itu.
“Jam berapa sih?”
“Masih jam tujuh,” jawab Chaeyoung. “Serius kaga mau sarapan? Udah dibuatin sandwich sama kak Jaehyun nih.”
“Gak ah, gak suka.”
Untuk sekian kalinya ia berbohong pagi ini. Emang siapa yang gak suka sama roti lapis itu sih? Terlebih sandwich juga masuk dalam daftar makanan favoritnya setelah roti. Jujur sih emang Tzuyu langsung lapar begitu denger menu sarapan pagi ini dari bibir Chaeyoung dan bikin neguk saliva. Cuma satu masalahnya, yaitu sama yang buat.