—Selamat Membaca—
••••
Fajar adalah satu dari banyak hal yang menjadi penenang. Suasana sunyi dengan sejuknya udara yang menguap bebas, pumpunan bias ungu kemerahan mewarnai kanvas cakrawala di ufuk timur, serta damainya hati ketika bangun dari tidur membuat raga lupa diri sedang bernaung di mana.
Bumi adalah salah satu bagian semesta yang menjadi tempat paling misterius karena ada banyak hal yang terjadi di dalamnya. Naungan manusia berpijak, tempat yang menjadi saksi atas tumbuh dan berkembangnya satu kehidupan. Bumi tahu betul bagaimana seseorang berjuang menghadapi segala rasa kehidupan. Maka, ia berikan fajar yang dapat menguntaikan asa pada pengawal hari, serta senja yang yang senantiasa merentangkan tangan menggugur penat yang bersemu di akhir.
Dua hal yang tak pernah lepas dari baskara, meskipun keduanya tak pernah bersua.
“Fajar milik pagi tak sempurna tanpa hadirnya secangkir cokelat hangat dalam genggaman,” tutur sebuah suara melambai telinga sang dara.
Gadis yang tengah melamun dengan kepala menghadap nabastala itu tersentak, “Taehyung!” kepada si pemuda ia merungut sebal, karena cangkir hangat menempel sejenak pada pipinya.
Taehyung tertawa. Pemuda itu menyinggahi pinggul pada sisi bangku yang kosong. “Nih,” lalu menyerahkan salah satu cangkir berisi cokelat panas yang ia bawa pada Tzuyu dan langsung diterima dengan seringaian. “Makasih cokelatnya, gan.”
“Dialog gue itu!” protes Tzuyu.
“Gue bilang makasih untuk diri sendiri, mohon dipahami.” Lidah Taehyung menjulur mengejek Tzuyu. Demi apapun, tadi rasanya ia bahagia karena diberi cokelat hangat gratis malah berujung dengan tingkah menyebalkan si pemuda.
“Tau gitu mending gak usah dibuatin,” cibir Tzuyu sambil menyeruput cokelat hangat pemberian pemuda. Aroma cokelat begitu menyeruak, menyapa lembut nostril dan menimbulkan sensasi nyaman. Memang cokelat hangat adalah yang terbaik untuk memulai hari dibanding kopi.
“Gak buatin lo, kok. Cuma tadi kepengen buat dua karena satu cangkir itu kurang. Eh, pas ke luar ngeliat lo di sini, yaudah gue sedekahin. Baikkan gue?”
Tzuyu tersenyum kecut, “Baik banget, saking baiknya mau gue siram cokelat ini ke muka lo. Gimana?”
“Jangan, ntar gue tambah manis. Lo-nya jadi tambah sayang. Kan gue yang repot.”
“Kepedean! Yang ada malah elo sendiri yang bikin repot. Beban tau gak sih ngeliat muka lo.”
“Beban hati?” tanya Taehyung dengan wajah serinya. Pemuda itu tertawa, “Iya, Yu. Gue udah tau kini siapa yang ada di hati lo. Hm, jadi, tawaran gue waktu itu diterima?”
“Tawaran apa sih? Tawaran judi atau jadi pengedar?”
“Tawaran untuk menjadi tawanan hatiku.”
Tzuyu terdiam. Agak aneh melihat tingkah pemuda pagi ini yang entah kenapa malah bikin Tzuyu pengin menjambak rambut hitamnya saking gemas mendominasi bersamaan kesal lantaran pagi damainya terganggu dengan presensi si pemuda.
“Norak! Gak berkelas banget gombalannya.”
“Ya, maaf. Gue orangnya emang gak berkelas. Sederhana, tapi punya sejuta pesona,” smirk menjadi pengakhir kalimatnya dengan menaik-turunkan alis tajam nan hitamnya serta dagu yang bertumpu di antara sela ibu jari dan telunjuk.