Jaemin sebenarnya tidak ada niatan untuk mengabaikan atensi Renjun, karena demi apapun dia juga rindu dengan pemuda itu. Rindu kepolosannya, keluguannya, kenaifannya—oh, sialan! Tiga kata yang sama artinya, dasar Na bodoh Jaemin!
Jantung pun tolong tenanglah serta kedua tangan yang gatal rasanya ingin mendekap pemuda pemilik bahu sempit itu. Mengecup pipi gembilnya, juga memainkannya bagaikam squishy. Oh, ya, ampun... membayangkannya saja membuatnya merinding!
"Wajahmu memerah? Apakah kau demam?"
Jaemin terlonjak kala suara itu melantun tepat sejengkal dari telinganya. Matanya membelalak lucu, badannya ia mundurkan hingga hampir terjatuh dari kursi, jika saja Renjun tidak dengan sigap meraih lengan kirinya. Posisi duduknya yang di pinggir—sedang Renjun di pojok—membuat pemuda itu dapat saja terjungkul dengan tidak elitnya.
"Mau apa!" desisnya. Menepis kasar tangan Renjun yang mengenggam lengannya.
Renjun terkejut, juga terheran. Reaksi yang diberikan pemuda Na ia rasa cukup berlebihan. Apalagi tatapan mata seakan menganggapnya musuh bebuyutan.
"Ugh? Aku—"
"Kalian jika ingin berkenalan lebih jauh, gunakan jam istirahat. Jika ibu lihat kalian sekali lagi terlibat interaksi, pintu terbuka lebar untuk kalian."
Awal yang buruk untuk Renjun di hari pertama sekolahnya.
🔸🔸🔸
"Jaemin mana?" Haechan meletakkan makan siangnya di meja. Mendudukkan dirinya di depan pemuda bermata bulan.
Jeno menggidikkan bahunya, "entahlah. Masih di kelas, mungkin," pemuda itu kembali menyeruput mie yang tampak berwarna merah bagaikan air bercampur darah. Haechan yang melihatnya saja bergiik ngeri.
"Kau ini! Sebaiknya jangan berlama-lama marahan dengan dia. Jikalau pemuda itu menemukan orang yang lebih menarik dan mengasyikkan dibandingkan dirimu, jangan harap aku mau mendengar segala keluh kesahmu, ya!" Haechan berbicara dengan mulut penuh, jika Mark melihatnya, dapat dipastikan pemuda itu akan gemas dengan berakhir mencubit pipi gembil Haechan. Ya, itu kalau Mark, sedang Jeno yang sekarang berada di depannya? Jangan harap! Melihatnya saja ingin rasanya menendang pemuda di depannya itu sampai terjungkal, agar menjadi bahan tertawaan satu kantin sekolah!
"Ya, ya, terserah. Lagipula, mana mungkin dia berpaling dariku, secara—"
"Ou, kalian sudah di sini?!" Chenle sekonyong-konyong datang. Mendudukkan dirinya di samping Haechan, dengan Jisung di depannya (di samping Jeno).
"Yak! Kecilkan suaramu, sialan! Tenggorokkanku perih setelah tersedak kuah mie ini!" Haechan bersungut-sungut kepada Chenle, sedang bocah itu tampak tak acuh dengan kakak kelasnya itu.
"Di mana Jaemin Hyung?"
"Huaa, habis kau kasih bocah itu apa, Le, hingga mencari keberadaan si sialan, Na?" Haechan yang agaknya telah lega dengan tenggorokkan yang sebelumnya perih, kini berkomentar dengan wajah watados menatap Jisung. Merasa tertarik dengan pertanyaan bocah itu yang tak biasanya menanyakan keberadaan Jaemin.
Bukan apa-apa, hanya saja Jisung itu paling benci dengan segala sifat Jaemin—sifat lembutnya, ia rasa. Lembut, karena menurutnya terlalu menjijikkan. Menempel, mencium, mengusak rambutnya, mencubit pipinya, dan... ugh, perkataan sok lucunya beserta aegyo pemuda itu ingin sekali Jisung lenyapkan.
Kalau yang melakukan itu Chenle, sih... Jisung tidak akan menolak.
Jangan hujat dia, maklumi saja si bocah ingusan yang sedang bucin-bucinnya. Kalau sudah mulai bosan juga ditinggalkan—Haechan dengan perkataan watadosnya.
"Kurasa Jaemin Hyung tengah bertengkar dengan Jeno Hyung."
Jeno melirik Chenle yang baru saja berbicara, dan—ekspresi macam apa yang anak itu berikan?! Wajah tengil, dengan senyum miring yang mana membuat Jeno menyipitkan mata tak suka.
"Tahu apa kau, bocah?!"
Jisung menoleh cepat, "aw, aw, santai saja Hyung. Kusemakin yakin kau, iya!"
Jeno kini melirik Jisung, "iya, apa, sialan?!" tatapannya menjadi tajam. Bukannya mencicit, Jisung justru terkekeh.
"Assa! Kurasa Jaemin Hyung mulai bosan denganmu!" Chenle menambahi—mulai menambah kayu di dalam kobaran api unggun.
Haechan melirik Chenle, ternyata bocah itu pun. Keduanya saling tatap untuk sesaat, sebelum akhirnya bocah itu mengubah atensi saat Chenle memberi kode untuk melirik arah lain.
"Aaahhh, kukata juga apa, Jen! Jaemin telah bosan denganmu dan sekarang bocah itu tengah melirik pria lain! Astaga... betapa kasihannya dirimu." Haechan dan Chenle menggeleng dramatis sembari menyaksikan (sedikit) drama yang berada di depannya.
Jisung yang terus memanas-manasi Jeno, Jeno yang menatap ketiganya dengan nyalang, dan Jaemin yang berjalan menuju meja kantin mereka bersama seorang pria berperawakan lebih kecil darinya. Tampak menggemaskan, dengan Jaemin sesekali menatap pemuda itu nyalang, juga pemuda kecil itu yang menunjukkan ekspresi demikian.
"Lihat belakangmu! Kurasa, aku tidak asing dengan gebetan Jaemin kali ini. Hahaha!" tawa Haechan menggema, membuat beberapa orang di sekitar meja mereka menarik atensi ke arah pemuda berkulit tan.
🔸🔸🔸
"Hey, Na! Aku duluan!" Jaemin mengangguk, lalu kembali membereskan peralatan tulisnya.
Renjun yang telah usai merapihkan peralatan tulisnya, mencuri-curi pandang ke arah Jaemin. Jaemin yang merasa jengah dilirik terus oleh pemuda di sampingnya pun berbalik dengan cepat; menghadap Renjun.
"Kau... apa, apa, apa?!" matanya menyipit—kesal ditatap terus oleh pemuda di sampingnya.
Renjun kaget, tentu saja. Namun, ia masih tak ingin menyerah begitu saja. Ia hanya ingin memastikan lebih jauh, apakah pemuda di sampingnya ini benar-benar tidak mengenalnya atau hanya berpura-pura tak kenal alih-alih menyambutnya.
"Santai saja, dong! Kau yang apa, tiba-tiba teriak seperti itu!" oh, Renjun sayang, agaknya kau menghancurkan niat awalmu yang ingin kembali menjadi anak introvert dengan tidak peduli sekitar. Tentu, sepertinya hanya pemuda di depannya saja yang dapat demikian, atau mungkin jika ia bertemu yang lainnya akan lebih parah?
Kembali menjadi Renjun beberapa tahun silam yang penuh akan tingkah?
"Hu? Jelas aku teriak! Kau terrrrrus saja melirik ke arahku! Aku risih, kau tahu?!" Jaemin melotot, Renjun hanya dapat terkekeh dalam hati.
Terkekeh dalam hati itu tak menimbulkan suara, hanya dengusan yang terdengar, juga dada yang tampak naik turun. Wajah menahan memuntahkan sesuatu.
"Percaya diri sekali aku memperhatikanmu, eo? Tsk!" Renjun memutar mata. Bertahun-tahun tak bertemu, ternyata Jaemin banyak mengalami perubahan. Pemuda itu menjadi sangat menjengkelkan seperti Jeno.
Ahh... Jeno, ya? Apa kabarnya, ya? Renjun jadi rindu, deh!
"Tsk! Kau memang mempunyai kelainan atau apa?! Perhatikan wajah nelangsamu itu seperti tengah merindukan seseorang." Jaemin tersedak. Oh, tekutuklah mulut cerewet dirinya yang dengan gamblang (secara tidak langsung) mengatakan Renjun merindukan mereka—lebih ke mencari tahu lebih dalam.
Memalingkan wajah, tangannya kembali sok sibuk memasukkan barang yang padahal dapat Renjun lihat dengan jelas, semua telah masuk ke dalam tas anak itu.
"Tsk! Ya, kalau aku sedang merindukan seseorang memangnya kenapa?! Kau sibuk sekali mengurus kehidupanku!" Renjun berdengus, namun senyum simpul ia berikan sesaat. Kini Renjun yakin, Jaemin seratus persen menyadari bahwa dirinya ialah sahabat masa kecil pemuda itu. Memang benar, ya, namanya juga sahabat, ikatan batinnya selayaknya saudara kandung!
"Siapa bilang?!" Jaemin lagi-lagi melotot tak terima saat dikatakan dirinya "sibuk mengurusi kehidupan" orang di depannya. Sial! Kalau seperti ini Jaemin akan ketahuan.
—To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
ₐₙₜₐᵣₐ ☑️
RandomRenjun yang merasa dirinya hanyalah seorang penghalang antara hubungan "khusus" sahabat-sahabatnya, kini memutuskan untuk menjauh. Mencoba merelakan walau nyatanya sangat menyakitkan. 16 April sampai 15 Mei 2020 ©Njunieyoo