"Aaa—" Haechan menyodorkan sesendok nasi ke depan wajah Renjun. Melihatnya, Renjun mengeryit—merasa heran dengan sikap Haechan yang sangat tiba-tiba seperti itu.
"Oh, ayolah~ ini masakkanku, seharusnya kau hanya perlu membuka mulut, lalu mencecap dan berkomentar, apakah enak atau ada yang kurang," Haechan mendengus. Respon Renjun ternyata tidak baik terhadap sikap Haechan barusan.
Sekarang ini mereka tengah istrirahat. Menikmati makan siang di kantin yang cukup ramai dan bising. Haechan tetap bersih keras menginginkan sahabat kecilnya itu menerima suapannya, namun agaknya Renjun sedikit risih, karena banyak orang memperhatikan mereka, padahal Mark sudah memberitahukannya untuk abaikan saja, namun, ya, namanya juga Renjun. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian.
"Huh! Ya, sudah. Marki~ Aaa—" Haechan menyodorkan sesendok nasi yang sebelumnya untuk Renjun, kini untuk Mark yang duduk di sampingnya. Mark yang melihat tingkah Haechan yang tampak imut dengan bibir terbuka—memperagakannya untuk turut membuka mulut—tersenyum melihatnya.
"Kiyeopta~" setelah menerima suapan dari Haechan, Mark mencubit pipi itu dengan gemas.
"Huh! Sombong sekali tidak ingin mencicipi makanan Haechan Hyung."
Renjun menoleh dengan cepat, menatap tajam Chenle yang baru saja menyindirnya. Matanya melirik Haechan dan Mark yang tengah bercanda gurau, lalu mengeryit heran saat Mark dengan senang hati menerima makanan pemberian Haechan, tanpa menyentuh makanan yang telah dia pesan sebelumnya.
Haechan membawa bekal, dia berkata itu buatannya. Renjun sebenarnya ingin saja mencicipi masakan Haechan, namun apa daya, dia telah terlebih dahulu memesan seporsi kimbap, yang menurutnya cukup banyak. Jika saja Haechan datang lebih awal—sebelum Renjun memesan kimbab atau setidaknya sebelum Renjun menghabiskan setengah dari seporsi kimbap, mungkin dia akan senang hati membuka dua belah bibirnya dan lidahnya akan menari, menyecap masakan rumahan buatan Haechan. Namun, kembali lagi, Renjun sudah kenyang. Setengah porsi kimbap lainnya saja dia rasa tidak sanggup dia habiskan.
"Kau mengapa tidak menghabiskan makananmu, Njun-ah?" Jeno yang duduk di sebelah kirinya bertanya sembari menunjuk kimbap milik Renjun menggunakan sumpit. Mulut pemuda itu tampak penuh dengan ramen yang dia pesan.
Renjun menoleh, "aku kenyang," dan meletakkan sumpitnya.
"Untukku saja!" Jaemin berkata semangat. Seporsi ayam dan nasi telah ludes dia habiskan, dan dengan entengnya dia berkata ingin menghabiskan makanan Renjun?
Apakah pemuda itu tidak merasa kenyang? Tubuhnya yang kurus, namun porsi makannya banyak, Renjun curiga Jaemin mengalami suatu penyakit—seperti misalnya cacingan.
Heol, spekulasi aneh Renjun sangat menggelikan. Jaemin seorang kaya raya, masa iya memiliki penyakit demikian. Yang benar saja, Huang Renjun!
"Nana, kau sudah banyak makan kali ini. Jangan memaksakan diri, atau jika tidak perutmu akan membuncit." Jeno memperingatkan. Jaemin hanya merengut mendengarnya.
"Iya, Jaem. Kurasa kau sudah kenyang, karena, ya, kau sudah menghabiskan banyak makanan sedari tadi." Renjun menimpali perkataan Jeno, dan kali ini Jaemin benar-benar merengut kecewa. Dirinya diserang oleh dua orang, dan Jaemin rasa itu kalah telak.
Lagipula, Jaemin hanya tidak ingin Renjun membuang makanannya itu. Dia tidak ingin melihat sahabat-sahabatnya menjadi seorang yang mubazir. Dia pernah menonton film yang di mana peran utamanya seorang yang sangat miskin, bahkan untuk sekedar membeli sebuah roti saja dia harus berkerja dengan keras. Dan Jaemin pula cukup tahu kehidupan Renjun dahulu tidaklah berada di golongan menengah atas, Jaemin hanya ingin Renjun mengingatnya, meskipun memang benar perkataan Jeno dan Renjun barusan—dia sudah cukup kenyang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ₐₙₜₐᵣₐ ☑️
RandomRenjun yang merasa dirinya hanyalah seorang penghalang antara hubungan "khusus" sahabat-sahabatnya, kini memutuskan untuk menjauh. Mencoba merelakan walau nyatanya sangat menyakitkan. 16 April sampai 15 Mei 2020 ©Njunieyoo