|9| Seperti Tak Asing

6.2K 702 31
                                    

Menutup mata.

Membuka mata.

Berguling ke kanan, lalu ke kiri.

Terdiam menatap langit-langit kamar.

Mengerang sembari mengusak gemas surai hitamnya.

Keempat kegiatan di atas terus dilakukan dalam kurun waktu 30 menit. Terus seperti itu, berulang kali. Hingga Kun yang berada di sana, 10 menit terakhir, menatap malas adiknya.

"Kau ini kenapa? Setelah tak menghabiskan makananmu, yang bahkan masih sangat banyak itu, sekarang kau bertingkah aneh seperti orang gila? Kurasa, memang benar ada yang tak beres di sini. DAN, OH! Kenapa kau tak menghampiri kedua sahabatmu itu? Bukankah alasanmu ingin kembali ke Korea hanya karena mereka? Oh, aku lupa! Tentunya juga untuk melupakan Wong Lucas itu, kan?"

Renjun mengerang. Bangkit dari acara tidurannya, lalu menatap Kun dengan tajam. "GEGE BISA DIAM TIDAK?!" semburnya. Suaranya sangat keras, bahkan Kun takut tetangga sebelah mendengar teriakan membahana adiknya itu.

Kun juga yang salah. Sudah tahu si singa betina tengah dalam kondisi yang buruk, mengapa pula dia mengganggunya?

"Oke, oke. Kau seram sekali kalau lagi marah," Kun mencicit di kalimat terakhirnya. Dia masih sayang telinga untuk tidak mengatakan secara lantang.

"Hufh.." Renjun menghembuskan napas. Dia sendiri pun sebenarnya tidak tahu mengapa moodnya berubah drastis seperti ini. Terasa.. aneh dan dia tak tahu sebabnya.

Tapi.. apakah iya, karena dirinya tak sengaja tukar pandang dengan Haechan di dalam kedai, dan setelah melihat interaksi kedua sahabatnya yang 'seperti' sepasang kekasih?

"Arghhh!!" diusaknya gemas surai yang telah lepek—karena terlalu asik dengan mood buruknya, ia sampai tidak menyalakan pendingin ruangan, padahal sekarang suhu sedang lumayan hangat.

"Oke, baiklah. Daripada aku tertular keanehkanmu, lebih baik aku menghangatkan makananmu, yang bahkan masih menggunung!"

Ini perasaan Renjun saja, atau memang benar gegenya itu menjadi super cerewat seperti sepupunya, Sicheng?

Dan perihal makanan menggunung itu ialah hotpot dan dessert yang dipesan Renjun di kedai tadi. Kun tidak sampai tega hati membuang makanan yang bahkan—untuk dessert—masih utuh. Dia pernah berada di masa sulit, di masa, di mana dirinya tidak makan dengan benar selama tiga hari berturut-turut. Hanya memakan  sebuah roti untuk pagi, siang, dan malam—yang didapatkannya setelah kerja sambilan, yang hanya mampu membeli tiga buah roti—untuknya satu dan dua untuk Renjun yang memang pada aslinya doyan makan. Sisa uangnya ditabung untuk bayar iuran sekolahnya dengan Renjun, omong-omong.

"... Ge!" Renjun menyerukan namanya, di saat dia sudah bangkit dari duduknya—tadi dia duduk di atas kursi belajar Renjun—dan hendak melenggang pergi keluar dari kamar sang adik.

Kun berbalik, mendapati tatapan bak anak anjing yang minta dikasihani. "Ya?" pertanyaan itu sukses membuat Renjun buru-buru bangkit dan menubruk tubuh gegenya.

Menjadikan gegenya sebagai kekasihnya, boleh tidak, sih??

➖➖🔸

"Aku tadi seperti melihat seseorang yang tidak asing, namun aku tidak tahu siapa dia. Terasa pernah lihat dan kenal lama, namun tak ingat secara pasti. Aku juga lupa—di mana, ya, aku terakhir melihatnya?"

Baik itu Jaemin, Jeno dan Mark memutar mata malas mendengar penuturan berkelit Haechan. Haechan itu.. kalau sedang aneh, perkataannya pun turut aneh. Jangankan perkataan, tingkahnya saja demikian.

"Kau tahu? Aku rasa, aku menyesal datang ke sini jikalau hanya mendengar bualan anehmu itu!" Jaemin mendelik. Merasa geram dengan sahabatnya yang satu itu.

Haechan terkekeh, lalu menggaruk rambutnya, yang padahal tidak gatal sama sekali. Ya, itu hanyalah gerakan refleks banyak orang saat tengah merasakan sesuatu. Bingung dan canggung misalnya.

"Hehe. Tapi.. AKU SERIUS! Aku serius tentang 'telah menemukan seseorang yang tidak asing' tapi lagi, aku tidak tahu siapa dia. Uhm, mungkin lupa. Hehe, iya, sepertinya lupa."

Jeno merotasikan matanya. "Ya, well, aku jengah denganmu!" Jeno bangkit, melenggang ke pembatas balkon untuk sekedar menikmati semilir angin malam di sana.

"Di mana Jisung dan Chenle? Apakah tidak jadi datang?" Mark bertanya. Beberapa saat yang lalu dirinya turun ke bawah guna mengambil beberapa camilan dan minuman.

Sekarang malam minggu, dan seperti biasanya mereka akan berkumpul bersama. Rumah Marklah yang kini menjadi markas mereka.

"Tadi kusuruh mampir membeli junk food, karena kuyakin di rumahmu tidak ada makanan." Haechan mencibir. Sudah hapal betul tabiat orang yang satu itu.

Rumah besar, namun sepi.

Lemari es besar, namun tak ada isi yang berarti. Palingan hanya minuman dan camilan, yang tentunya tak sehat seperti olahan makanan seperti sayur dan daging.

Dapur tak kalah besar, namun tak pernah tersentuh.

Ya, lagipula mengapa bocah itu tidak menyewa jasa pekerja rumah tangga, jadinya 'kan dia tidak perlu lagi memekan makanan yang bahkan kualitas kebersihannya terjamin atau tidak.

"Hehe," Mark terkekeh. Pipinya digaruk menggunakam jemari kanannya.

"CHENLE DATANG~!!"

Keempat orang di saja sudah tidak kaget lagi saat mendengar suara memekakkan bocah Cina satu itu.

"Chenle-ah, tunggu!" Jisung memperingatkannya, namun tal dihiraukan. Bocah itu terus jalan menaiki tangga dengan dua buah plastik di tangan, tanpa memperdulikan Jisung yang kesulitan membawa empat buat plastik besar di kedua tangannya.

Lagi, tidak heran jikalau bocah itu—Chenle—selalu datang membawa banyak makanan. Jika salah satu dari mereka menitip satu, maka dua kali lipatnyalah yang akan Chenle bawa.

Seperti kali ini contohnya. Haechan hanya menitip seporsi junk food, namun bocah itu membawanya dua kali lipat. Dengan dalih—"kalau kalian kurang dan masih lapar, kan tidak perlu repot memesannya lagi." Padahal mah memang bocah itu saja yang teranjur baik.. dan gemae menghamburkan uang tentunya, apalagi?

"Young rich, seperti biasa," Haechan mencibir yang hanya dibalas kekehan oleh seseorang yang dicibirnya.

—To Be Continued—

ₐₙₜₐᵣₐ ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang