|7| Injun

6.7K 820 12
                                    

"Sebentar lagi bel berbunyi, kembalilah ke kelasmu sana!" nada suara Jaemin terdengar lirih, namun berbeda dengan penangkapan gendang telinga Jeno yang menganggapnya mengusir dengan sinis.

Belakangan ini sepasang kekasih itu memang terlihat tidak akur. Sering kali pun beberapa siswa tidak sengaja mendengar cekcok mereka yang berakhir dengan tamparan di pipi Jeno—atau cengkraman kuat di rahang tegas Jaemin.

Bagaimana pun juga keduanya memiliki tenaga yang sebanding, maka dari itu kekerasan sesekali terjadi satu sama lain saat mulai jengah dengan tingkah masing-masing.

Meskipun Jaemin berperan sebagai sosok submissive bagi Jeno, tak dapat dipungkiri—sebelum mereka menjalin sebuah hubungan—Jaemin merupakan seorang brandal yang gemar bergonta-ganti pasangan. Dan dirinya selalu menjadi pihak dominan.

Awalnya semua terkejut—terkecuali Haechan yang memang sama dengannya; sebelumnya seorang dominan dan berpindah alih menjadi submissive bagi Mark—Jaemin yang berperawakan besar dan kuat, tiba-tiba saja menjalin hubungan dengan jeno yang tak kalah kekarnya.

Ya, meskipun tubuh Jaemin lebih kurus dibandingkan Jeno, akan tetapi kekuatan serta abs di perut mereka pun sebelas dua belas. Maka dari itu mereka—yang mengetahui itu—sempat terkejut. Bahkan Mark, Jisung, dan Chenle sekali pun.

Jeno? Oh, tentu. Dia juga terkejut bagaimana bisa menjadikan Jaemin submissive-nya, juga kekasihnya. Sangat konyol awalnya mengingat mereka hanyalah seorang sahabat. Akan tetapi, Jeno yang saat itu sedang terluka parah (sehabis berantem dengan musuh dari sekolah sebelah) ditolong oleh Jaemin. Jaemin pun keadaannya tidak jauh berbeda—sama-sama tidak baik-baik saja. Hanya dalam konteks kondisi fisik saja yang membedakan.

Jeno yang babak belur, sedang Jaemin tampak acak-acakan dengan bau alkohol yang sangat menyeruak. Pemuda itu habis minum-minum seperti biasanya, tak sengaja berpapasan dengan Jeno di tengah jalan menuju apartmentnya. Meskipun kesadaran pemuda itu tinggal beberapa persen, sekuat tenaga ia membantu Jeno—membawanya ke apartment pemuda Lee yang kebetulan berada tepat di sampingnya.

Kedua sahabat itu sejak menginjak sekolah menengah pertama sudah memutuskan tinggal di apartment dekat sekolah, dengan nomor kamar yang bersebelahan.

Kekuasaan yang dimiliki kedua orang tua masing-masing pun membuat mereka mudah saja menyanggupi permintaan keduanya. Toh, tidak ada salahnya 'kan, kalau mereka ingin tinggal satu atap pun, mengingat kedua orang tua masing-masing yang super duper sibuk.

"Masih ada waktu tujuh menit, aku rasa, aku bisa menemanimu di dalam kelas, Jaemin-ah." Perkataan Jeno itu mutlak di saat moodnya sedang tidak baik, dan Jaemin hanya dapat pasrah dengan dominannya.

Bukankah seperti itu seharunya?

➖➖🔸

Keduanya memasuki kelas—beberapa murid mengantikan atensi mereka ke arah dua orang itu. Mereka memang cukup terkenal, maka dari itu tak heran sering kali keduanya menjadi pusat perhatian.

Jaemin dengan wajah tak terbaca, dan Jeno dengan wajah garangnya berjalan di belakangnya.

Di sana, di sebelah kursi Jaemin, sosok pemuda kecil tengah duduk manis dengan buku di tangannya. Guratan di kening pemuda itu membuat Jaemin dapat menerka, seberapa fokusnya Renjun membaca.

Renjun itu gemar membaca, dan dia baru menyadarinya tiga hari belakangan ini—saat dia mulai menunjukkan afeksinya lebih gencar.

Afeksi, ya...

Jaemin menghentikan langkahnya. Tatapannya berubah menjadi murung, dan Jeno yang menyadarinya mengernyitkan dahi. Sudah Jeno bilang, bukan? Jaemin beberapa hari belakangan tampak murung dan tak banyak bicara. Kepribadian super cerianya lenyap bagaikan api kecil yang terkena banyak air.

Netra sekelam arang milik Jeno mengikuti arah pandang Jaemin. Ke arah di mana terdapat sosok pemuda manis yang tengah membaca dengan seriusnya, bahkan kehadiran mereka berdua sampai tak mengambil alih atensi pemuda itu dengan kegiatan membacanya.

Jeno meneliti lebih jauh sosok itu—sosok yang pernah pergi ke kantin bersama kekasihnya. Sosok yang tampak tidak asing untuknya. Sosok pemuda manis yang—"Injun?"

Jaemin menoleh dengan cepat saat suara Jeno menyebutkan satu nama yang sangat ia kenal. Dan sosok pemuda yang sedari memfokuskan atensinya terhadap buku, sedikit tersentak saat seseorang memanggilnya. Memanggil nama kecilnya yang hanya diketahui beberapa orang—orang-orang yang ia sayang.

Tangannya tremor untuk sekedar menutup buku. Jantungnya berpacu dua kali lipat, dan dengan gerakan patah-patah, Renjun mengangkat kepalanya. Netranya langsung bersitatap dengan kedua sosok yang sangat ia rindukan—ia tidak akan pernah mengelak itu.

Sekonyong-konyong matanya terasa panas. Sesuatu di hidung terasa terhambat. Bibirnya bergetar. Telah lama ia tidak mendengarkan kata itu terlontar, maka saat pertama kali lagi ia dengarkan, tidak salah bukan Renjun rasanya ingin menangis? Apalagi kedua sahabatnya itu tengah menatapnya dengan tatapan sulit diartikan. Dengan cepat Renjun menundukkan kepalanya, berupaya tidak menatap wajah dua orang yang ia rindukan.

Rindu. Kata itu terus terulang di dalam kalimat, karena bagaimanapun Renjun belum dapat benar-benar kembali dekat—atau setidaknya mereka mengetahui atensinya. Jadi, tidak salah, bukan, ia berulang kali menyebutkan kata itu? Kata rindu yang sangat mendalam. Rindu terhadap sahabat terbaik yang pernah mengisi hari-harinya di masa kelam.

➖➖🔸

"Injun, kau—kau Injun, kan?!" Jeno bertanya dengan menggebu sembari menggoyangkan kedua bahu Renjun. Pemuda itu tampak tidak peduli dengan ringisan Renjun, juga tatapan murid satu kelas kekasihnya yang memandang dengan terheran. Sedang Jaemin masih mematung di tempat. Tidak berkutik, barang sedikit pun. Ia hanya menatap dua orang yang sangat berarti bagi dirinya dalam diam.

"Injun jawab! Kau injun, kan?! Ayo jawab, Injun!!" Jeno semakin anarkis mengguncang bahu Renjun. Pemuda itu benar-benar tidak mempedulikan ringisan Renjun yang sangat lirih. Air mata pemuda itu saja bahkan sudah terjun dengan bebas. Bibirnya kelu hanya untuk mengatakan semua yang hendak ia katakan.

"Injun... kau ke mana saja? Kami sangat rindu—"

Lonceng sekolah berbunyi, menandakan masuknya jam mata pelajaran kelima. Para siswa yang sebelumnya masih berada di luar kelas pun mulai memasuki kelas. Namun agaknya dentingan lonceng tidak mengoyahkan niat Jeno yang tengah menunggu pengakuan Injun-nya. Iya, dia sangat bersikukuh mendapat pengakuan itu dari sahabatnya. Bisa-bisanya sahabatnya itu tak memberitahukan kepulangannya. Bisa-bisanya pula Jaemin menyembunyikan fakta bahwa Renjun sekelas dengan pemuda itu, bahkan sebangku dengannya.

Jeno kecewa, namun rasa rindunya lebih besar daripada rasa kecewanya.

"Injun... kumohon kau jawab. Kau Injun, kan??"

—To Be Continued

ₐₙₜₐᵣₐ ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang