Bab 6 : Pelik

188 35 14
                                    

Ravid masuk ke dalam rumahnya saat jam menunjukan pukul delapan malam. Tadi, ia tidak jadi membuat video cover karena mendapat tugas yang lebih mendesak. Jadi, mereka menggantinya di esok hari. Ravid mendapati mamanya seorang di ruang keluarga sambil menonton film. Menyalami Qiana lalu duduk di sampingnya ketika mamanya itu menyuruhnya duduk.

Qiana menatap putra semata wayangnya. “Rav.”

“Kenapa, Ma?”

“Udah makan?”

Ravid mengangguk.

“Makan apa tadi?”

“Makan ayam balado, Ma.”

Qiana mengangguk-angguk. “Kalau malam laper, masih ada udang cumi asin.”

“Iya, Ma.”

Ravid merebahkan diri di sofa besar itu dengan kepala di paha mamanya. Qiana memainkan rambut putrannya. Mereka diam, menikmati keadaan seperti ini yang hanya diisi oleh suara iklan televisi. Ravid memejamkan mata karena sentuhan sang mama. Qiana menunduk mencium kening putranya.

“Papa ada di kamar kamu.”

Ravid membuka mata mendengarnya. Kerutan terpatri di dahi. “Ngapain?”

“Biasa.”

Ravid menangkap tangan Qiana dan mengecupnya. Ia menangkap gurat lelah di wajah sang mama. “Papa susah dibilangin, Ma. Gak tau sampai kapan bisa ngerti. Jadi, mama jangan terlalu mikirin papa. ”

Qiana tersenyum sumir mendengar perkataan Ravid yang berusaha menenangkannya. “Terus kalau mama gak mikirin suami mama, mama harus mikirin siapa?” tanyanya dengan nada jenaka.

“Pikirin anak-anak mama aja.”

“Selalu.”

Ravid kembali memejamkan mata ketika tangan Qiana mulai memainkan rambutnya hingga ia tertidur. Melihat putranya tertidur di pangkuannya, Qiana tersenyum sendu. Ia mengalihkan pandangan ke tv, melanjutkan menonton film. Satu jam kemudian, netra Qiana menangkap sosok suaminya yang keluar dari kamar putra mereka yang di lantai dua.

Raphael berdiri di samping Qiana. Ia menunduk menatap Qiana yang mendongak agar dapat menatapnya. “Sejak kapan Rav pulang?”

“Hm. Baru kok, Pa.”

“Kamu gak suruh ke kamarnya? Saya nunggu dia dari abis Isya sampe ketiduran. Lihat, sekarang jam sembilan lewat.” cerca Raphael yang mengalihkan pandangan sekilas pada jam dinding di atas televisi.

Qiana nyengir. “Rav capek. Dia langsung tidur di sini. Kamu mau ngomong apa sih, Pa?”

Qiana mencebik saat Raphael mengedikan bahu. Saat Raphael hendak membangunkan Ravid dengan menggoyang lengannya, Qiana menahan tangannya. Ia menghela napas karena itu.

“Suruh pindah ke kamar.”

Akhirnya, Qiana membangunkan Ravid yang tampak nyenyak tidur di pahanya. Ravid cepat membuka mata, ia tidak susah dibangunkan jika tidur. Lalu merubah posisinya menajdi duduk di sebelah mamanya. Matanya menangkap sosok papa di sebelah sang mama.

Melihat putranya sudah bangun, Raphael langsung bertanya, “Udah makan belum?”

“Udah.”

“Sana tidur ke kamar.”

Ravid mengerjap, mengusir ngantuk yang masih menderanya. “Iya.”

Raphael memperhatikan Ravid yang memutari sofa dan menaiki tangga untuk ke kamarnya. Lantai dua merupakan hak mutlak miliknya. Raphael mengecup Qiana, lalu tanpa kata langsung menyusul ke lantai dua untuk bicara. Mereka perlu bicara. Qiana mengambil ponsel yang ada di sebelahnya dan mengirim chat pada Momina.

Watch Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang