Bab 3 : Perhatiannya

324 41 3
                                    

Mengawasi dua wanita berbeda generasi sambil mendorong troli memang sudah familier bagi Ravid. Tiap bulan ia melakukannya. Entah itu menemani Qiana atau Momina. Plaza yang mereka kunjungi sepi. Membuat ketiganya leluasa memutari jajaran rak demi rak.

Troli mereka sudah diisi oleh benda-benda untuk mandi, seperti sabun, sampo, kondisioner, odol, dan lulur. Tak ketinggalan detergen dan tak ketinggalan pewanginya. Hingga tak terasa, troli mereka penuh dengan barang belanjaan. Sepakat membayar, mata Ivona yang jeli melihat promo gelas dan piring. Ia menarik tangan Qiana, mendekati gelas di sana.

“Lucu, Ma.”

Qiana mengambil gelasnya dan mengamati. “Iya, kalau mama beli, gimana?”

“Setuju!”

“Ini tekonya sekalian, Ma. Sama piringnya. Mangkuknya juga. Semuanya aja, Ma.”

Ravid memutar bola matanya. “Boros.”

Ivona menjulurkan lidah. “Rav diem aja, deh. Gak ngerti urusan beginian.”

Qiana mengangguk menyetujui.

“Gelas di rumah banyak. Lagian rasanya juga gitu-gitu aja mau minum dari gelas manapun. Ya gak, Mba?” Ravid meminta bantuan pegawai yang berjaga di sana.

Pegawai itu tersenyum. “Beda, Mas. Ini kualitas gelasnya bagus, dari kaca. Motifnya juga lucu, enak dipandang. Harganya murah, tapi gak murahan. Ditambah promo lagi.” tuturnya.

Pegawai itu pun menunjuk menjelaskan keunggulan produk yang ada di situ. Wajah Ravid masam mendengar mbaknya terus menjelaskan. Qiana dan Ivona menahan tawa saat Ravid memasang raut wajah seperti itu. Selesai menjelaskan, mereka membeli dua dus gelas yang masing dus berisi enam gelas, dua dus piring isi enam juga, dan satu teko.

Sampai di kasir, Ravid dan Ivona berdiri di luar antrean. Ivona menjelajahi pandangannya dan melihat chatime dan menoel lengan Ravid.

“Mau chatime.” bisiknya.

Ravid mengangguk. “Ma, mau chatime?” Qiana menatap Ravid dan menggeleng. “Rav sama Vo beli chatime dulu ya.”

“Vo aja, Rav temenin mama.” ralat Ivona.

Qiana memberi satu lembar uang seratus ribu pada Ivona. Ravid memandang kepergian Ivona sampai menghilang dari pandangannya. Ia mengeluarkan ponsel dan menelepon Ivona.

“Yang biasa.”

Iya, tau. Vo matiin ya.”

Ravid memutar tubuhnya saat bahunya ditepuk seseorang. “Papa?”

Qiana mengerjapkan mata melihat suaminya.

Raphael, sosok yang Ravid panggil papa tersenyum menatap Qiana. “Iya lah, siapa lagi?”

“Pa, gak jadi ke luar kota?” tanya Qiana.

Raphael mengedikan bahu. “Gak. Katanya masalah di sana udah bisa ditangani tanpa papa harus turun langsung.”

“Ma, Rav mau beli chatime. Mama sama papa pulang duluan aja. Rav mau nongkrong habis ini” kata Ravid diangguki Qiana.

Qiana mengembuskan napas lega. Ia menarik senyum untuk Raphael. “Habis ini mau ke mana, Ma?”

“Pulang?”

“Gak mau jalan-jalan? Mau papa beliin chatime juga?”

Qiana spontan menggeleng. “Gak, gak!”

Raphael mengerutkan dahi. “Kenapa?”

Qiana tahu, ia terlalu berlebihan memberikan respon penolakan. “Lagi gak mau aja,” Raphael mengangguk. “kamu kok gak ngabarin mau nyusul ke sini?” Qiana tak heran melihat Raphael di sini karena ia memang memberitahu jika mereka pergi ke sini.

Watch Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang