Hari Selasa di sekolah berakhir, Ravid mengemas buku pelajaran dan memasukannya ke dalam tas. Ponsel pintarnya ia taruh di atas meja. Matanya menangkap gerak gerik guru Bahasa Jepang di depan kelas yang memotret papan tulis lalu keluar setelah mengucap salam. Ia beranjak dari kursi dan pergi ke luar kelas. Namun saat melewati meja di depan mejanya, ia ditahan oleh temannya.
“Ke babeh?”
“Gak.”
“Gak asik lo.”
Teman yang lain mengangguk menyetujui.
“Lusa.”
“Jawaban lo lusa mulu, Rav.”
Ravid mengedikan bahu, ia berjalan meninggalkan teman-temannya. Kakinya melangkah menuju kelas dua belas IPA 4, kelas Ivona. Pintu kelas tertutup, ia tebak jika gurunya masih di dalam. Ia duduk di kursi dan memainkan ponselnya sembari menunggu.
Ravid membuka satu aplikasi yang menyediakan berbagai macam game. Namun ia hanya bermain di sawah yang telah dirawatnya selama ini. Ia memanen tanaman yang tadi pagi ditanam oleh Ivona. Sawah mereka sudah di level seratus tujuh puluh tiga berkat keuletan Ivona dalam memainkannya dan juga dirinya. Sebenarnya, ia yang mengunduh permainan ini di ponselnya lebih dulu karena permintaan Ivona.
Lalu mereka mulai main sawah karena menurut Ivona, mereka harus tahu betapa lelahnya para petani mengurus tanaman. Lelah memang bertani di sawah, versi mereka. Akunnya ada di ponselnya maupun ponsel Ivona. Jadi, mereka bisa saling menjaga sawahnya. Ivona bilang, setidaknya sehari sekali harus memantau sawah untuk panen dan menanam tanaman baru.
Setelah kembali menanam tanaman dengan EXP panen yang tinggi, ia keluar dari permainan itu. Ia beralih pada aplikasi chat dan membalas chat yang masuk dari mamanya. Pesan itu berisi permintaan tolong untuk membeli cokelat dan beberapa camilan di mini market. Ia mengiyakan permintaan Qiana.
Pintu kelas di depannya terbuka. Ia tidak mengalihkan pandangan pintu. Setelah guru yang mengajar tadi pergi, ia berdiri dan masuk ke kelas Ivona. Ia mendekati Ivona yang tampak sedang beberes. Ia duduk di kursi Mettasha yang kosong.
“Hai, Pacar.”
Ivona meliriknya sekilas. “Hai.”
“Butuh bantuan?”
“Gak.”
Ravid mengedikan bahu. Ia berdiri dari duduknya dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Matanya menangkap tatapan Gara yang memperhatikan Ivona. Ia menatap Ivona kemudian membawa kotak makan gadis itu.
“Yuk, pulang.”
Ivona meraih genggaman tangannya. Mereka keluar kelas dengan tangan saling bertaut.
“Kita pulang naik apa, Rav?”
Ravid mengedikan bahu. “Angkot? Atau pesen We-Car?” Ia menyebutkan salah satu aplikasi yang bisa memesan mobil untuk mengantar mereka pulang.
Ivona menggeleng. “Kita naik...” Ia menjeda perkataannya. “Dad-Car!”
“Hah?”
Ivona memghentikan langkah mereka lalu mencubit gemas pipi Ravid. “Naik mobil ayah! Ayah udah jemput di depan.”
Ravid memutar bola matanya malas. “Terus ngapain nanya kita pulang naik apa.”
Ivona terkikik. “Gak apa-apa. Enak aja ngerjain Rav.”
“Dasar.”
Keduanya kembali berjalan. Mereka langsung menuju parkiran di mana Daniel sudah menunggu. Di koridor sekolah, mereka bertemu dengan beberapa teman seangkatan maupun adik kelas yang menyapa Ravid. Ivona memasang wajah bete karenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Watch Me!
Teen Fiction❝Mengejar hal yang patut dikejar dan merelakan apa yang dirasa tidak bisa digapai.❞ 🍁 Perjalanan hidup masing-masing tokoh dengan garis tangan yang sudah ditakdirkan. Kisah rumit yang memiliki penyelesa...