Bab 9 : Sakitnya Ravid

123 26 8
                                    

Kelas XII IPA 4 sudah sepi usai bel pulang berbunyi lima belas menit lalu. Hanya tersisa beberapa orang yang memiliki urusan pribadi. Seperti contohnya, siswa dan siswi yang sedang berpacaran di meja pojok. Tiga siswi yang sedang mengobrol sambil makan seblak. Serta Ivona yang sedang duduk di kursinya menunggu bundanya datang. Ivona duduk berpangku dagu pada kotak makan miliknya dengan pandangan lurus ke papan tulis.

“Gak ada Rav gak seru.” gumamnya.

Dering ponselnya membuat Ivona teralihkan. Ia menjawab telepon yang masuk. “Ya, Bun? Udah sampe? Jadi ke Rav ‘kan? Yes! Love you, Bunda!”

Ivona berdiri dari duduknya. Ia menghadap teman-temannya dari posisinya sekarang, hendak berpamitan. “Duluan ya semua.” serunya lalu pergi setelah mendapat balasan.

Ia mendendangkan lagu Barney, yang berjudul ‘I Love You’. “I love you. You love me. We’re a happy family. With a great big hug. And a kiss from me to you. Won’t you say you love me too?”

Ivona mengulang bait itu terus sampai keluar gerbang sekolah. Momina menunggunya di depan sekolah, tempat biasa jika menjemput. Setelah mencium tangan bundanya sebagai bentuk salam, Ivona mengambil helm yang disodorkan kepadanya. Bunyi klik terdengar tanda helm sudah terkunci, Ivona duduk di jok motor dengan posisi menyamping dikarenakan ia mengenakan rok panjang.

Momina mengarahkan tangan kanan Ivona agar melingkari perutnya. “Udah?”

“Udah, Bun.”

Setelahnya, motor melaju dengan kecepatan biasa di jalan raya. Mereka menuju rumah Qiana seperti apa yang direncanakan. Selama perjalanan, keduanya tidak membuka obrolan. Sesampainya di depan rumah yang mereka tuju, Ivona turun dari motor dan membiarkan Momina memarkirkan motornya di garasi.

Ivona melepas helm yang melindungi kepalanya, menaruhnya di atas kursi yang ada di teras rumah. Tanpa menunggu Momina yang masih menutup gerbang pintu, Ivona mengetuk dua kali pintu seraya mengucap salam. Setelahnya, ia membuka pintu dan nyelonong masuk.

“Mama Qi!” panggilnya.

Qiana muncul dari dapur. Ia memeluk Ivona seraya berujar, “Sayangku.”

“Rav di mana, Ma?”

“Tuh di kursi ruang makan. Tapi buburnya gak disentuh sama sekali.” lapornya.

“Tenang, Ma. Ada Vo!” ujarnya lalu ke arah dapur.

Momina menggelengkan kepala. Ia diajak Qiana untuk kembali duduk di ruang makan seperti sebelum dirinya menjemput Ivona. Mereka melihat gadis enam belas tahun itu duduk berhadapan dengan pemuda yang keningnya ditempelkan plester kompres demam. Posisi kursi Ravid sudah berubah menjadi miring, berbeda dengan sebelum Qiana menyambut Ivona. Kedua ibu itu duduk dan menggeser kursi agar enak mengobrolnya.

“Makan!”

“Gak laper.”

“Ya paksain. Aaa...” Ivona membuka mulutnya sendiri sebagai upaya membujuk Ravid agar membuka mulutnya. “Rav, buka mulut!”

“Gak ma—”

Ivona berhasil memasukan bubur ke dalam mulut Ravid ketika tadi terbuka kala hendak melontarkan penolakan. Senyum kemenangan terpatri di wajahnya saat dengan terpaksa, Ravid mengunyah bubur yang sudah masuk ke mulutnya.

“Nah, makan yang banyak.”

Ivona kembali menyiapkan suapan selanjutnya. Ravid mengambil gelas dan meminumnya. “Udah.” tolaknya saat Ivona hendak menyuapkannya kembali.

“Dua sendok lagi, oke?”

Ravid mengerutkan kening. Ia tahu itu tipu muslihat seorang Ivona. Ia pun sering seperti itu. Mau tidak mau, ia membuka mulut dan membiarkan Ivona menyuapkan bubur ke dalam mulutnya.

Watch Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang