Selamat membaca!!!😊😊😊
______________________^___^_Suasana kamar Safira penuh kesedihan. Deraian air mata nampak terus mengalir di pipinya. Perpisahan yang tak diinginkannya harus dia terima. Begitu banyak kenangan yang tak akan pernah dia lupakan, susah maupun senang dilalui bersama. Waktu terasa begitu cepat melepas orang yang dia cintai. Tapi apa daya ini semua harus terjadi.
Rena hanya bisa menatap Safira dengan penuh haru. Dia ikut hanyut dalam tangisan Safira. Pelukan tak memberi Safira ketenangan. Baru kali ini Rena merasa berat meninggalkan Safira dalam suasana seperti ini. Dukungan dan senyuman terus mengalir dari bibir Rena untuk membuat Safira tersenyum. Sulit! Tapi apa daya semua memang harus begini adanya. Tak kuasa Rena pun ikut menangis melihat keadaan Safira.
"Ren, kenapa lo harus pergi sih? Udah di sini aja lo tinggal sama gue. Kalau lo pergi siapa yang mau bantuin gue ngerjain tugas, denger curhatan gue, sama nemenin gue di kamar ini?" Safira terisak dalam tangisnya.
Rena tersenyum walau hatinya juga ikut menangis. Terlihat jejak air mata di kedua pipinya. "Aku juga pengennya terus nemenin kamu. Tapi...orang tuaku gimana?"
"Gue seneng ibu lo nikah lagi sama ayah lo, tapi gue gak mau kita berpisah Ren!" Safira menangis semakin kencang.
Rena memeluk Safira dan mengelus punggung Safira dengan lembut. "Kita masih bisa telponan atau video call. Lagian aku gak pindah ke luar negeri juga Ra! Aku masih di dekat sini juga!"
"Tapi beda! Kita gak satu rumah lagi. Lo itu udah gue anggap seperti adik gue sendiri. Awal lo ke sini, gue udah nyaman sama lo. Pokoknya lo itu sahabat dan saudara bagi gue,"
"Kalau kamu kaya gini aku jadi berat ninggalin kamu Ra!" Rena mengurai pelukannya lalu memegang bahu Safira dan menatapnya.
"Kita masih sahabatkan? Kita masih bisa ketemu. Atau sesekali aku bisa menginap di rumahmu atau sebaliknya. Aku sayaaaang banget sama kamu Ra! Kamu sudah menjagaku, menemaniku dan membuatku seperti saudaramu sendiri. Aku tak bisa membalas itu semua! Kamu gadis hebat di mataku!" Rena tersenyum dan sedikit menitikkan air matanya.
"Tidak. Gue yang seharusnya berterima kasih. Lo selalu ada waktu gue butuh, lo udah bantuin gue bisa jadian sama Fadli terus....," Rena menempelkan telunjuknya di bibir Safira.
"Kita berdua sahabat yang tak terpisahkan walau jarak yang akan memisahkan tapi hati kita tidak!"
Safira kemudian mengangguk dan tersenyum bahagia kembali memeluk Rena dengan erat. Rena pun membalas pelukan itu dengan begitu bahagia.
Besok Rena dan ibunya akan pindah ke rumah ayahnya karena esoknya adalah hari pernikahan ibu dan ayahnya. Tak sulit memang menyatukan kembali kedua orang tuanya mengingat kedua orang tuanya masih memiliki cinta diantara keduanya. Apalagi orang yang dulu menentang hubungan orang tuanya, kini malah memberikan restunya dengan kesungguhan hati.
Tak lama setelah kunjungan ke rumah kakeknya, Rena memaksa ibunya untuk berbicara dengan ayahnya. Pertemuan yang penuh keheningan di awal lalu mencair dengan campur tangan Rena. Hingga kata lamaran pun terucap dari mulut ayahnya untuk ibunya. Tak pelak keraguan muncul di wajah ibunya mengingat akan masa lalu yang kelam di kehidupannya.
Rena yang melihat akan keraguan ibunya lalu menjelaskan apa yang sudah terjadi. Bahkan untuk meyakinkan ibunya, Rena ajak ibunya menemui orang yang menjadi titik kebimbangannya. Keraguan itu memudar setelah kata maaf yang tulus keluar dari mulut Rahman. Bahkan Rahman sendiri yang meminta agar Rina kembali menikah dengan Reza.
Dua minggu setelah kejadian itu, kini Rena dan ibunya akan berkemas menuju hunian barunya. Keinginan Rina yang melakukan pernikahan secara sederhana, maka diputuskan kediaman Reza menjadi saksi pernikahan itu akan dilaksanakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Pertama Luka Pertama
Fiksi RemajaKeterpaksaan ikut tinggal bersama ibuku di rumah majikannya, membuahkan hasil yg mengejutkan. Aku mendapatkan cinta pertamaku dan bertemu dengan ayah kandungku.