38. Sad or Happy?

4.3K 221 19
                                    

Happy reading ❤️
Stay enjoy and relax!
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK 🌟
...

Tit... tit... tit...

Suara mesin Elektrokardiogram(EKG) mengisi ruangan bernuansa putih disertai bau obat-obatan yang menyengat. Jangan lupakan seseorang yang terbaring lemah diatas brankar dengan berbagai alat penunjang kehidupan. Tapi, sunyi ruangan itu berganti menjadi suara tangisan pilu yang berasal dari Dava, Amira, dan Rael.

"Hiks... hiks... Maafin mama nak, hiks... hiks... Harusnya kamu gak usah menyelamatkan mama kalo berakhir seperti ini... hiks..." Amira tak berhenti menangis, kondisi Mei sekarang sangat kritis dan dokter menyatakan kalau Mei koma.

"Bangun nak, kamu janji bakalan pulang sama mama kamu. Tapi kamu---" Dava sudah tidak bisa melanjutkan perkataannya, mengingat semuanya membuat dirinya semakin sedih, ia harus tegar untuk menguatkan Amira yang sedari tadi tak berhenti menyalahkan dirinya.

Rael, pria itu hanya diam dengan pandangan kosong menatap Mei yang terbujur kaku diatas brankar, berbagai selang-selang infus dan juga gips yang melilit kedua kakinya serta satu tangannya, kepalanya yang diperban, dan alat penunjang kehidupan lainnya.

Hatinya terasa sangat sakit, terasa seperti dihantam ribuan batu besar ketika melihat gadisnya terbaring lemah. Baru saja Mei membalas cintanya, gadis itu seharusnya sudah menjalin hubungan kasih dengannya, tapi kondisi ini membuat semuanya sirna. Air matanya seakan sudah habis, sedari tadi ia tak berhenti menangis ketika melihat Mei yang masih berlumuran darah.

Andai, andai dirinya tidak mendengar ucapan Mei untuk pergi dari tempat itu. Andai ia bisa membantu Mei keluar dari tempat itu. Andai ia membawa orang untuk membantunya. Tapi, itu semua hanya andai-andai yang tak akan menjadi nyata. Karena pada kenyataannya, Mei sudah terbaring di atas ranjang itu dengan keadaan yang sangat memprihatikan.

Memori kisahnya dengan Mei kembali terputar dalam otaknya. Saat dimana ia tak sengaja menabrak Mei yang disitu masih berstatus sebagai anak baru. Kemudian, pertemuannya saat ia masuk ke dalam kelas 11 MIPA 2 untuk membagikan undangan ulangtahunnya, tapi Mei bersikap acuh padanya. Lalu, saat dimana Mei mengumpat padanya tanpa suara sambil mengacungkan jari tengah. Dan, saat ia kecelakaan bersama Amel kemudian Mei datang sebagai Liana yang mendonorkan darah untuk dirinya. Ah, itu benar-benar memori yang sangat penting untuk selalu diingat.

Karena Mei, ia tahu apa arti cinta sebenarnya. Karena Mei, ia mengerti arti persahabatan. Karena Mei, ia tahu arti dari kecewa. Dari Mei, ia mengerti arti perjuangan. Dan karena Mei, ia merasakan bahagia dan sakit secara bersamaan. Pada dasarnya, cintanya pada Mei sudah tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Mei adalah wanita tangguh dengan segala keberaniannya untuk melawan kerasnya dunia.

"Rael. Tolong jaga Mei sebenar. Om mau antar tante pulang, kondisinya lemah." ucap Dava sambil memapah tubuh Amira yang terlihat pucat dengan wajah sembab.

"Pasti om." Rael berdiri kemudian berjalan mendekati brankar dimana Mei berada. Ia duduk disamping brankar kemudian menggenggam tangan Mei yang diinfus. Hampir seluruh tubuhnya tak lepas dari selang-selang.

Cup.

Rael mengecup punggung tangan Mei dengan penuh kelembutan. Pandangannya kembali memburam karena matanya yang mulai berkaca-kaca, ia yakin sedikit saja ia berkedip, air mata itu akan lolos.

"Mei. Lo tau gak? Gue udah kayak orang begok sekarang. Seharusnya gue itu selamatkan lo juga, seharusnya gue gak denger ucapan lo. Lo bilang lo bakalan baik-baik aja, tapi sekarang? Bahkan lo gak jawab semua ucapan gue. Lo boleh marah sama gue, tapi bangun. Plis, gue butuh lo Mei. Gue, gue gak mau kehilangan lo." Rael menghapus air matanya dengan kasar, ia tak mau terlihat cengeng didepan Mei walaupun pada nyatanya gadis itu tak melihatnya.

"Mei. Lo tau gak? Gue kaget banget pas denger suara bom dari dalam tempat itu. Sekarang gue ngerti, gue ngerti kenapa lo gak mau gue didalam lama-lama sama mama lo. Tapi lo bodoh. Lo bukan Mei yang gue kenal. Lo Mei bodoh, kenapa lo gak bilang sama gue kalo ada bom? Kita bisa pergi sama-sama. Gue cinta sama lo Mei. Gue gak bisa nahan diri buat gak nangis. Gue mohon, bangun. Gue butuh lo." ucap Rael lagi, ia memegang dadanya yang sesak. Mengingat kejadian beberapa jam lalu saat bom yang meledak. Polisi dan ambulans yang datang pun langsung berpencar untuk mencari Mei. Dan nahasnya, Mei ditemukan beberapa meter dari markas, dengan keadaan yang mengenaskan.

"Untuk segala rasa sakit. Lo bisa bagi ke gue Mei, gue selalu ada buat lo. Lo termasuk orang yang penting dalam hidup gue. Jadi, gue minta lo harus bangun. Masih ada bahagia yang harus lo kejar. Ralat, bukan bahagia lo, tapi bahagia kita. Kebahagiaan kita lagi nunggu kita diujung sana Mei, lo gak mau jalan berdampingan sama gue menuju kebahagiaan? Lo tega biarin gue jalan berdampingan sama Amel?"

"Gue janji, kalo lo bangun, gue gak bakalan tinggalin lo sedikit pun. Gue bakalan terus jaga lo dengan penuh kasih sayang, gue bakalan lindungin lo dari orang-orang jahat. Bahkan, gue rela pertaruhkan nyawa gue buat lo Mei. Tapi gue mohon, bangun. Gue gak bisa liat lo baring terus kayak gini. Lo gak sayang sama mama papa lo? Mama lo dari tadi nyalahin diri sendiri. Lo tega liat dia frustasi karena menyesal dengan perbuatan yang bukan salahnya? Setidaknya, kalo bukan demi gue, bangun demi keluarga lo. Mereka sayang sama lo, gue sayang sama lo, banyak yang sayang sama lo, gue mohon, bangun!!!" Rael sudah tampak putus asa, Mei benar-benar tidak bangun. Ia takut, takut Mei meninggalkannya. Hal itu selalu saja memenuhi pikirannya. Hatinya dipenuhi rasa bersalah dan juga penyesalan, sama seperti yang Amira rasakan.

Ceklek.

Pintu ruangan terbuka memperlihatkan Mark dengan Denan yang masuk dengan wajah khawatir. Mereka menatap tubuh leadernya yang sangat lemah. Rael melirik Mark yang menatapnya tanpa ekspresi, tapi jauh didalam sana, rasa khawatir menyelimutinya. Rael yang mengerti pun memilih untuk keluar dari ruangan, ia mendudukkan dirinya di bangku dengan ruangan sembari menunggu Mark dan Denan.

"Liana. Kenapa kau tidak memberitahu ku tentang semua ini? Kau anggap aku apa? Kenapa kau tidak memanggil kami saat kau membutuhkan. Kau berjuang sendirian didalam sana tanpa kami yang mengawasi mu? Kenapa kau melakukan ini? Kau mau kami semua diberi hukuman oleh Nona Adel? Kau tega?" tanya Mark bertubi-tubi dengan cairan bening yang lolos dimatanya. Denan, pria itu menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakannya.

"Bodohnya aku. Kenapa aku tidak mencurigai mu saat kau menyuruhku melacak siapa penculik Nyonya Amira. Kau tau? Aku terkejut ketika mengetahui kau dipukuli didalam sana."

"Miss. Kenapa kau tidak meminta bantuan kami? Kami tau kau kuat, tapi jika kau sendiri tetap saja. Katakan padaku, kau diapakan sama mereka? Biarkan aku membalasnya. Kau tenang saja, mereka sudah kami tahan di markas. Kami tidak akan membunuhnya sebelum kau yang membunuhnya. Kami juga sudah melepaskan Amel sesuai perintahmu. Jadi kau harus bangun untuk memimpin organisasi mafia black devil." kini Denan yang buka suara karena Mark sudah tak bisa melanjutkan kata-katanya. Pria itu menangis dalam pelukan leadernya.

"Jika kau sadar nanti, jangan harap kami akan meninggalkan mu sendiri. Kami akan terus mengawasi mu, dimanapun kau berada. Kami seperti ini karena kami menyayangi mu, kau sudah banyak membantu kami. Kau harus bangkit, tunjukkan pada dunia siapa pemimpin dunia gelap yang sebenarnya. Kau tidak boleh lemah. Kau tahu? Aku akan marah padamu kalau kau tidak bangun." imbuhnya, ia menggenggam tangan Mei yang dingin seperti tak bernyawa.

"Kami menunggumu." gumamnya sambil mengecup punggung tangan Mei dengan lembut.

...
Demi ayam goreng, author nangis woeee. Aduh, gak kuat buat lanjut part selanjutnya. Benar-benar sad. Gimana nih? Happy or sad? Satu part langsung ending loh.

Komen sebanyak-banyaknya, sad or Happy.

See you next chapter ❤️




Gelap(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang