Aku tak menemumukan keberadaan bang Langit di manapun. Aku hanya menemukan sebuah kotak. Saat aku melihat siapa pemiliknya, ternyata kotak ini ditujukan kepadaku.
Aku membawa kotak itu ke mobil, akan aku buka jika di rumah. Saat aku sudah meletakkan kotak, aku menariknya kembali. Aku penasaran dengan isinya, perlahan aku membuka kotaknya. Betapa terkejutnya aku melihat isinya.
Aku mengambil sebuah foto, tidak ada kata-kata. Hanya ada fotoku yang di silang menggunakan darah. Foto ini adalah foto saat aku casting untuk pertama kalinya. Aku mencoba mengingat, apakah ada orang yang aku kenal? Tapi, saat itu aku baru saja masuk SMA, jadi aku belum mengenal siapa-siapa.
"Nida, kamu di sini? Dicariin tuh bentar lagi take, kamu belum make up." aku buru-buru menyembunyikan foto ke belakang badanku. "Itu apa? Kamu nyembungiin sesuatu?" mama berusaha untuk melihat.
Aku menggeleng. "Enggak kok, yaudah ayuk. Mama ngapain di sini? Ayo kesana." aku menarik mama.
"Kamu ini ya." aku hanya menyengir polos. Aku memang gak bisa bohong ke mama.
***
"Mbak Lala, make up nya jangan tebel-tebel ya," pintaku.
Mbak Lala mengernyit. "Loh mbak kan gak pernah tebel kalau make up in kamu, emang yang kemarin ketebelan ya?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Iya. Gak enak di muka. Berat," ucapku.
"Padahal menurut mbak kemarin udah tipis loh. Atau kamu mau make up sendiri?"
Aku mengangguk. "Iya mbak, aku make up sendiri aja." aku langsung mengambil alih make up dari tangan mbak Lala.
Aku mulai dengan memakai foundation lalu beralih ke bedak. Tak lupa blush on aku pakai sangat tipis, menurutku kemarin kebanyakan jadi kelihatan merah banget.
"Mbak nanti alisnya mbak aja ya. Takutnya gak sama," ucapku seraya mengoleskan lipstik.
"Iya," ucap mbak Lala sembari menyisir rambutku. Tak lama kemudian mbak Lala beralih untuk membuat alis supaya kelihatan rapi.
"Mbak Lala kerja di sini udah lama?" tanyaku.
"Lumayan. Kenapa?"
"Pasti mbak udah ketemu banyak artis ya," ucapku.
"Iya. Tapi ya, sifat di depan camera sama di belakang camera beda jauh." aku mengangguk "Udah selesai. Ganti pakaian gih, udah ditunggu,"
Aku beranjak ke ruang ganti. Aku mengganti pakaian sesuai dengan arahan.
"Ria, sini." Agas melambai, aku bergegas menuju di mana yang lain berkumpul sembari menunggu giliran take.
"Habis ini siapa yang take?" tanyaku setelah mengambil alih tempat duduk Agas.
"Gue sama Ochi," ucap Aldo.
"Gas, fotoin gue yuk di sana," ucapku sambil menunjuk tempat yang ku maksud. Karena tau Agas akan menolak, aku langsung menarik tangannya.
"Nih." Aku menyerahkan ponselku. "Fotoin yang bagus ya. Awas aja kalau gak bagus!" aku mengepalkan tanganku di depan wajahnya.
"Hmmm, udah sana pose yang cantik. Biar si gebetan kepincut," ucapnya.
Aku segera melakukan berbagai pose sampai ada instruksi aku harus segera take. Aku segera barlari meninggalkan Agas yang sibuk melihat hasil jepretannya.
"Tria, kamu takut ketinggian gak?" tanya pak Firman.
Aku menggeleng. "Enggak. Harusnya. Emang setinggi apa medannya?" Pak Firman menunjuk salah satu rooftop. Aku menelan ludahku susah payah.
"Tinggi juga ya pak," aku mengusap tengkukku yang tiba-tiba merinding.
"Iya. Gimana? Masih berani?" aku berusaha menyakinkan diriku sendiri. Aku harus bisa, ini salah satu tantangan yang harus aku hadapi. "Tenang aja, ada pengaman kok," lanjutnya.
Aku mengangguk mantap. "Masih pak. Sesulit apapun saya pasti bisa."
"Kamu naik ke atas, sudah ada yang stand by di atas sana." aku mengangguk langsung bergegas menuju rooftop.
Sesampainya di roofop, aku melihat kebawah. Tinggi banget ternyata.
"Ria sini. Kita pasang alat pengaman dulu." aku beranjak, kemudian para crew mulai memasngkan alat pengaman ke badanku.
Setelah semua pengaman terpasang, aku memposisikan diriku sesuai dengan adegan. Aku mengambil napas sebanyak-banyaknya lalu mengembuskan pelan-pelan. Bryan pun segera memposisikan dirinya.
"Tria, bryan ready?" aku dan Bryan mengacungkan jempol. "Action!" teriak sang sutradara melalui pengeras suara.
Aku mulai berakating melawan Bryan. Sampai akhirnya Bryan mendorongku jatuh dari rooftop. Dia memerankan antagonis. Dan aku berusaha menahan ekspresi wajahku. Berharap aku selamat sampai bawah.
"Cut!" aku langsung terkulai lemas. Mama dan beberapa crew langsung mendekatiku, memberiku air mineral.
***
Akhirnya selesai juga, setelah melewati adegan yang menguras tenaga. Aku membereskan barang-barangku. Rencananya beberapa ada yang aku tinggal, mengingat besok lokasi syuting masih di sini.
"Aldo, Bryan, Ka Jun, Ka Ochi, Ka Zulfa. Duluan ya," pamitku dengan melambaikan tangan.
"Tau gak sih jantung mama mau copot karena lihat kamu jatuh kaya tadi," ucap mamaku saat diperjalanan pulang
"Emang mama aja. Mama sih gak ngerasain gimana sensasinya. Rasanya tuh gak bisa dijelasin dengan kata-kata," ucapku.
"Kirain tadi kamu gak selamat loh," aku langsung kesal mendengar ucaman mama. "Mama mau doain aku mati ya?" mama hanya terkekeh tanpa membalas ucapanku.
Teringat aku belum memposting foto di instagram, aku segera membuka galeri dan memilih dari sekian banyak foto untuk diposting.
fani.triada
1.378 likes
fani.triada kalau gak suka bilang! jangan dipendam. Jangan kaya pengecut.Aku menonaktifkan komentar, jadi tidak ada yang komentar. Entahlah, males aja. Lagipula aku hanya mengode seseorang yang selama ini menerorku. Aku yakin orang ktu mengenalku.
Diam-diam aku melihat fotoku yang disilang dengan darah. Aku meneliti dari pojok kanan atas hingga aku menemukan tulisan di pojok kiri bawah, sangat kecil tulisannya. Aku berusaha mengeja.
"ArIL," gumamku.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
En Dröm [COMPLETE]
Teen Fictionen dröm dalam bahasa Swedia artinya sebuah mimpi. "Masih yakin bisa jadi artis lo?" "Gak ada yang gak mungkin di dunia ini. Asalkan kita mau aja berusaha untuk mencapai apa yang kita inginkan," -Tria Fanida-