Part 40

449 36 0
                                    

Sudah satu bulan berlalu. Sebisa mungkin aku tidak bertatap muka dengan papa, aku menjaga jarak dengan papa tanpa sepengetahuan mama. Di depan mama, aku bersikap baik-baik saja dengan papa. Aku yakin papa juga sadar jika aku menjaga jarak.

Entah tindakanku ini benar atau tidak. Aku hanya tidak ingin kecewa lagi. Demi aku keluar dari entertainment, papa rela membuat berita murahan itu. Aku pikir, papa sudah rela sepenuhnya ternyata enggak. Papa masih sama seperti dulu, selalu menentang apa yang aku inginkan.

Karena itulah aku semakin semangat untuk menunjukkan karirku kepada papa. Aku akan buktikan jika aku pantas untuk menjadi seorang aktris. Dan papa harus tau itu, sampai papa benar-benar sadar dan mengakui mimpiku.

Bahkan beritaku yang jalan dengan kak Angkasa sudah tersebar luas. Yang mengatakan ini lah, itu lah, seratus persen karangan saja. Kak Angkasa juga berkali-kali menghubungiku, tapi tak pernah aku tanggapi. Aku hanya tak ingin beritaku dengan kak Angkasa semakin melebar kemana-mana.

"Da, hallo. Lo denger gue gak, sih, Da?!" teriak bang Langit seraya melambaikan tangan di depan wajahku yang langsung membuatku tersadar dari lamunanku.

Aku mengerjap lalu menoleh ke bang Langit. "Apa bang? Sorry tadi gue gak fokus ... ada apa?" tanyaku dengan senyum canggung.

"Lo kenapa, sih?" tanya bang Langit yang membuatku bingung harus menjawabnya bagaimana. "Dari tadi gue panggil, gak nyaut! Siap-siap kita mulai bentar lagi." aku hanya mengangguk lalu menambahkan bedak karena tak terasa pipiku sedikit basah.

Walaupun aku belum menerima tawaran main sinetron, mini series, dan film lagi, tapi aku tetap melakukan photo shoot.

Yap, sore ini aku ada photo shoot. Dan bang Langit adalah fotografer nya. Bang Langit sangat menyukai kamera untuk itu ia memilih menjadi fotografer. Menjadi pendamping teater di sekolahku adalah pekerjaan sampingan.

"Ria!" sial! Aku melamun lagi.

"Fokus! Pandangannya jangan sayu. Tatap ke kamera. Tatap tajam, jangan kosong!" lagi, aku hanya mengangguk. "Oke, siap! Ganti pose yang lain,"

Aku mulai mengganti pose dari yang awalnya duduk seraya meraba wajah menjadi berdiri. Aku berdiri dengan menoleh ke sisi kanan kamera, mengangkat sedikit bahuku sehingga bahu dan dagu terlihat sejajar. Aku menahan pose itu selama beberapa menit.

Setelah gambar berhasil diambil. Aku berganti pose lagi. Sekarang aku meletakkan satu tangan di belakang, posisi kaki dimiringkan lurus berat badan ke kiri, tak lupa kaki disilangkan. Cukup lama aku menahan pose ini dikarenakan tatapanku yang tidak fokus.

Pose terakhir, aku menyilangkan tangan, tetap terkesan artistik dan berkelas, tak lupa dengan wajah yang terlihat angkuh.

***

"Duluan semua," pamitku seraya melambaikan tangan.

"Hati-hati,"

Begitu aku keluar aku sudah disambut dengan Andra yang berdiri bersandar di mobilnya. Aku langsung menghampirinya.

"Ngapain?" tanyaku begitu sampai di depannya.

"Jemput tuan putri," jawabnya yang membuatku terkekeh.

"Oh ya? Terus di mana tuan putrinya?" aku bertanya seakan-akan tidak tau siapa iti tuan putri.

"Gak tau. Udah pergi kali. Karena tuan putri udah pulang, mbak nya aja yuk yang saya antar," katanya dengan senyum yang terus tersungging.

"Boleh. Lumayan irit ongkos," jawabku.

Andra langsung beranjak, membukakan pintu mobil. "Silakan masuk." Aku langsung masuk lalu memasang sabuk pengaman tepat saat pintu mobil ditutup.

"Kok bisa tau kalau aku pemotretan di sini, Dra?" tanyaku.

"Taulah. Paparazi tuh dimana-mana kali, Da," jawabnya santai seraya memutar stir nya untuk mengeluarkan mobil dari parkiran.

"Nanti mampir ke cafe deket sini, ya? Gue laper," pintaku. Lebih tepatnya untuk menghindari papa.

Karena bosan, aku membuka instagram. Aku memilih foto yang sekiranya bagus untuk aku posting

fani.triada

triada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

349.827 likes
fani.triada senyumin aja. Selagi masih bisa tersenyum.

Aku sengaja menonaktifkan kolom komentar. Kolom komentar yang lain juga aku nonaktifkan. Bukannya takut karena banyak yang menyerangku, hanya saja aku ingin tenang.

"Mau pesen apa?" tanya Andra.

"Samain aja. Minumnya aku lemon tea ya," pintaku.

Sembari menunggu Andra memesankan makanan aku menyapu seluruh penjuru cafe. Ternyata cafe ini lumayan ramai pengunjung. Tak sengaja tatapanku beradu dengan tatapan Rian. Ternyata dia berdua dengan kak Angkasa. Aku langsung memutuskan tatapan terlebih dahulu. Jangan sampai mereka sadar aku di sini.

"Da. Lo gak nerima tawaran syuting, lagi?" tanya Andra.

Sebenarnya aku malas membahas tentang ku.

"Bukannya enggak, belum aja. Kebetulan ada beberapa tawaran film, aku lagi milih mana yang sekiranya cocok, sih," jawabku.

"Karena berita itu, lo belum nerima tawaran lagi?"

Aku mendengus. "Udahlah. Males gue bahas ginian," ucapku sedikit kesal.

"Oke." Andra mengangkat kedua tangannya setinggi bahu. "Jadi, gimana kalau lusa lo ikut gue nonton pertandingan basket?" tawarnya.

Sepertinya boleh dicoba. Itung-itung menenangkan pikiran. "Boleh. Di mana?" tanyaku

"Di SMA Nusantara," jawabnya.

Aku mengangguk cepat. "Boleh, deh, boleh."

"Oke besok gue kabarin jam berapa gue jemput." aku mengacungkan jempol.

***

Begitu aku keluar dari cafe, tanganku sempat dicekal oleh kak Angkasa. Di samping kak Angkasa ada Rian yang menatapku datar.

"Da," panggilnya lirih.

Maafin aku kak. Aku terpaksa.

Aku menipiskan bibir, perlahan aku melepaskan cekalannya. Setelah terlepas aku berjalan lagi. Baru lima langkah aku menoleh sebentar lalu memberikan senyum, pertanda jika aku baik-baik saja.

























Tbc

En Dröm [COMPLETE] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang