Part 36

312 31 0
                                    

"Kok lo bisa di sini, Vi?" tanyaku seraya membukakan pintu kamar tamu. Untuk sementara waktu, kamar tamu akan aku tempati hingga aku benar-benar pulih.

Karena insiden inilah aku juga diberi waktu untuk istirahat sampai kondisiku stabil. Jika memang aku memungkinkan bisa ikut syuting, aku diperbolehkan. Tapi, untuk seminggu ini, tidak diperbolehkan. Itung-itung untuk memulihkan tenagaku.

"Karena..." ucapan Via terhenti saat aku berhasil menjangkau tempat tidurku. Aku duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. "Gue ada keperluan di sini, gak lama, cuma dua minggu gue di sini terus balik lagi deh," ucapnya seraya menarik selimut untuk menutupi kakiku.

"Terus, kok lo tau kalau gue kecelakaan?" tanyaku lagi.

Via memutar bola matanya malas lalu menaruh kedua tangannya di pinggang. "Ya tau lah! Lo bayangin..." aku hanya menatap Via dengan sebelah alisku terangkat. Sebelum melanjutkan Via menarik kursi di depan meja rias hingga berada di sampingku.

"Baru aja gue sampai rumah, rencananya gue mau ngasih kejutan sama lo. Datang lah gue ke rumah lo. Dan ... lo tau apa yang gue liat saat pertama kali masuk pagar rumah lo?" aku menggeleng. "Gue disuguhkan pemadangan yang secara otomatis gue ikut panik."

Aku masih mendengarkan dengan kerutan di keningku. "Waktu gue dateng, bokap nyokap lo udah siap-siap mau nyusulin lo, mereka terlihat panik. Gue hadang deh di depan pagar, gue tanya, terus setelah tau kalau lo kecelakaan. Tanpa minta persetujuan gue langsung ikut bokap nyokap lo. Sekian dan terimakasih." setelah menceritakan itu, Via langsung mengambil air putih yang ada di dekatku.

Ya, begitulah Via. Tadinya air putih itu untukku, berjaga-jaga jika aku haus, eh, Via sendiri yang minum sampai tandas.

"Capek juga cerita. Lagian kenapa gak pemeran pengganti aja, sih, yang gantiin lo! Sok-sokan bisa pakai motor, motor balap lagi!" cibir Via, lagi.

"Lo pikir karena gue selalu nebeng lo pakai motor, gue gak bisa naik motor gitu?" Via menggeleng polos. "Sembarangan. Gue bisa naik motor. Cuman, ya, lo taulah bokap gue kaya apa."

Aku melambai ke Via supaya dia lebih dekat. "Asal lo tau. Ini kali kedua gue naik motor balap. Makanya gue nolak ada pemeran pengganti," bisikku diakhiri dengan kekehan.

"Gila! Terus yang pertama bokap lo tau?" tanya Via masih berbisik. Aku menggeleng.

Via geleng-geleng kepala seraya mengacungi dua jempol kadang bertepuk tangan.

"Yaudah lo berangkat sekolah pakai motor dong. Berani gak?" tantangnya.

"Belum di beliin, nih. Beliin motor dong," ucapku dengan menaik-turunkan alisku.

"Ogah," ucapnya.

"Oh iya, gue mau nanya dong?" aku bergumam sebagai jawaban seraya membenarkan posisi duduk.

Baru saja Via ingin menanyakan sesuatu tapi batal karena ada yang membuka pintu. Ternyata mamaku lah yang membuka pintu.

"Ada apa, Ma?" tanyaku.

Mama membuka pintunya lebar-lebar lalu berjalan menghampiriku. "Udah waktunya makan malam," jawabnya. "Via, mau makan malam di sini?" kini mama beralih ke Via.

Via menggeleng. "Enggak, tan. Aku udah janji, nanti kalau makan malam aku akan pulang. Jadi, Via sekalian mau pamit." Via beranjak.

"Da, gue pamit ya. Pertanyaannya ditunda besok. Bye." aku hanya mengangguk.

***

Perjalanan dari kamar tamu ke ruang makan biasanya tidak jauh. Karena kakiku cidera, perjalanan seperti menjadi dua kali lipat jauhnya. Aku bernapas lega begitu bisa mendudukkan diriku di kursi.

Ruang makan serasa sepi tanpa kehadiran kedua abangku. Hanya ada keheningan di meja makan. Sedari tadi aku mencium hawa tidak bersahabat. Aku melirik papa, dia nampak biasa saja, namun raut wajahnya semakin dingin.

Aku hanya bisa berdoa, semoga karirku masih tetap beelanjut. Aku baru saja merintis karir, tidak lucu kalau aku berhenti sekarang, belum juga satu tahun aku terjun ke dunia entertainment.

"Setelah kejadian ini, masih mau syuting lagi?" tanya papaku selepas kami selesai makan.

Sialnya mama sedang ada di dapur untuk mencuci piring. Kini hanya ada aku dan papa di ruang makan.

Aku menatap papa. "Masih," jawabku tegas.

"Gak kapok?" tanya papaku lagi.

Terkadang aku heran, papa selalu menanyakan itu, sengaja agar aku berhenti atau untuk melihat sejauh mana aku teguh pada pendirian?

"Enggak. Lagian itu hanya kecelakaan kecil. Biasa, kan, kejadian kaya gini terjadi, namanya juga kecelakaan. Jadi, gak akan tau bakal kejadian." aku menjeda kalimatku. "Kecuali kalau sabotase," ucapku sedikit lirih tapi masih bisa di dengar oleh papa.

Kenapa aku baru terpikirkan sekarang. Bukannya sebelum pengambilan gambar, mesin dan segala macam telah diperiksa, bagaimana mungkin kemarin remku bisa blong?

Aku menggeleng. Gak mungkin, kan? Jika ini adalah yang dimaksud teror itu?















Tbc

En Dröm [COMPLETE] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang