Tidurku terusik, samar-samar mendengar keributan, entah berada di mana. Aku mengerjap, menyesuaikan cahaya serta mengumpulkan nyawaku seutuhnya.
Aku mencoba untuk mengubah posisiku menjadi duduk. Susah payah aku menarik diriku agar bisa bersandar. Begitu aku berhasil, suara keributan itu ternyata berada di luar, biasanya aku tidak terlalu mendengar keributan dikarenakan kamarku berada di lantai atas.
Aku memegangi perut, lapar. Kira-kira sekarang jam berapa? Aku mengambil handphone yang ada di nakas dekat tempat tidur. Mataku membulat begitu aku melihat jam menunjukkan pukul 09.00.
Sebenarnya aku juga ingin ke kamar mandi sekarang. Mataku terus mengamati pintu, haish ... kenapa di saat-saat seperti ini tidak ada yang menjagaku 24 jam? Dengan perlahan aku menurunkan kakiku, rasanya nyeri. Aku bernapas lega ketika kedua kaki berhasil turun, sekarang bagaimana caranya aku bisa berdiri? Aku menggaruk pelipisku yang tak gatal, pandanganku tertuju pada sandaran tempat tidur dan nakas.
Sekuat tenaga aku menahan erangan kesakitan. Perlahan aku berjalan menuju kamar mandi. Aku sempat berhenti di tengah jalan karena aku merasa lelah, bahkan napasku terengah-engah.
Baru saja aku ingin melangkah tiba-tiba ada yang memapah diriku, aku menoleh menemukan Sasa yang tersenyum kepadaku. Dengan perlahan aku melangkah dibantu dengan Sasa tentunya.
***
"Lo kenapa gak manggil orang, sih, Da?" tanya Sasa.
"Kan, tadi gue denger di luar ribut-ribut," kilahku kemudian menyuapkan makanan. "Ada keributan apa?" tanyaku setelah menelan makanan.
Sasa mengangkat bahu. "Tanya aja sama Angkasa," katanya.
Belum ada satu menit namanya disebut, orangnya langsung muncul. Kak Angkasa langsung mengambil posisi duduk di sebelah Sasa. Tak lama kak Angkasa masuk, lalu Siska diikuti Luthfi.
"Kalian gak syuting?" tanyaku saat melihat semua berkumpul di sini. Semua kompak menggeleng.
"Irma ikut?" tanyaku berbisik kepada Siska karena Siskalah yang dekat denganku.
Siska menggeleng. "Katanya, ada keperluan yang sangat penting," jawabnya dengan berbisik, aku hanya mengangguk.
"Ufi," panggilku kepada Luthfi. Ufi adalah panggilannya di lokasi syuting.
Aku menyodorkan piring dan gelas kosong. Ufi mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Tolong," ucapku memasang wajah seakan-akan sangat butuh pertolongan.
Ufi memutar bola matanya namun tetap maju lalu mengambil piring dan gelas kosong. "Makasih," ucapku tak bersuara.
"Yang ke sini cuma kalian berempat?" tanyaku.
"Lima," jawab kak Angkasa.
Aku menghitung mereka satu persatu. Kak Angkasa, Sasa, Siska, Ufi, mereka berempat, lalu yang satu siapa?
Seakan-akan bisa membaca pikiranku kak Angkasa melanjutkan perkataannya. "Ada Indri, di bawah. Diajak ngobrol sama bokap lo," ucapnya.
"Iya. Terus kita di suruh ke sini," imbuh Siska.
Sepertinya ada sesuatu yang penting. Lagipula kenapa papa mengajak Indri ngobrol, berdua lagi. Jika aku tidak cidera, aku sudah berlari untuk menguping pembicaraan mereka.
"Eh, astaghfirullah," ucap Via tiba-tiba. Kenapa aku tidak mendengar langkah kaki dan suara pintu terbuka?
Via tiba-tiba berlari ke arah kak Angkasa dan tanpa izin dia memegang, mencubit, dan mengunyel-unyel pipi kak Angkasa. Tak jarang pipi kak Angkasa di tampar hanya untuk membuktikan apakah ini mimpi atau bukan.
"Kok makin ganteng?" ucap Via entah sadar atau tidak.
Aku, Siska, dan Sasa saling melirik satu sama lain. Lalu tawa kami langsung menyembur saat melihat wajah kak Angkasa yang memelas.
Kak Angkasa menepis tangan Via kasar sampai Via meringis sakit. Kak Angkasa sibuk mengusap-usap wajahnya akibat ulah Via.
Dengan tampang tak berdosa, Via berjalan menuju ke arahku dan melupakan kejadian beberapa menit yang lalu. Aku terkekeh saat melihat kak Angkasa melotot ke arah Via, seperti mengibarkan bendera perang.
"Oh, iya. Gue liat ada yang aneh tadi. Masa bokapnya Nida minta maaf sama Indri," ujar Via yang langsung membuat badanku tegak, begitu juga dengan Siska, Sasa, dan kak Angkasa.
"Maksud lo?" tanya Siska mewakili isi kepala kami semua.
"Gak tau pastinya, sih. Yang gue denger cuma perkataan maaf, kaya orang pernah berbuat kesalahan fatal, gitu," jelas Via.
"Mending nanti lo tanya sama bokap lo, Da," saran Sasa, aku hanya mengangguk.
"Oh, iya. Gue mau kasih satu rahasia," ucap Via yang langsung membuat kami semua merapat.
"Asal kalian tau, Andra dan Indri itu saudara kembar. Satu sekolah gak ada yang tau. Mereka menyembunyikan identitas itu sangat rapat, sayangnya gue belum bisa tau maksud dari mereka menyembunyikan fakta yang satu itu," tutur Via.
Fakta itu sangat membuaat kami terkejut. Mereka dengan mudah menyembunyikan itu karena mereka bukan kembar identik.
Aku menahan napasku untuk beberapa detik lalu membuangnya kasar. Fakta apalagi ini?
"Apa Indri mungkin..." ucap Sasa tidak yakin.
Kak Angkasa menggeleng tegas. "Enggak, Sa. Indri itu baik. Lo tau kenapa dulu Indri di sekolah kaya benci sama Nida?" kami kompak menggeleng. "Dia hanya imgin menjauhkan Nida dari Irma, tapi cara dia salah," lanjutnya.
"Kalian kenapa?" kami melihat ke arah pintu dan betapa terkejutnya saat melihat Indri sudah berdiri di sana.
"Lo ngomongin apa aja sama bokapnya Nida?" tanya Via langsung.
"Bukan apa-apa," jawabnya seraya berjalan mendekati kami.
"Lalu kenapa bokapnya Nida minta maaf ke lo?" tanya Via lagi.
Indri menghela napas lelah. "Kalau lo pengen tau, terutama lo, Da. Tanya sama bokap lo langsung. Dia akan jawab, kok."
"Indri, lo sama Andra kembar tidak indentik?" tanya kak Angkasa yang langsung mendapat pelotoan dari aku, Sasa, Siska, dan Via.
"Iya. Cuman kita berdua, berbeda. Kalau kalian pengin tau. Cari tau sendiri. Yang pasti gue sama Andra seperti dua orang asing, bahkan kami tinggal terpisah. Ada satu alasan yang gak bisa gue kasih tau sekarang, kalian cari tau sendiri ke Andra."
***
Satu minggu tidak syuting membuatku uring-uringan. Selama di rumah aku sering ditemani oleh Via. Entah apa jadinya jika Via tidak ada di sini, pasti aku merasa kesepian.
Setelah Via kembali ke luar negeri nanti, mama berjanji akan mengizinkanku syuting lagi. Jika tidak ada Via aku akan kesepian.
Soal papa dan Indri aku telah menanyakannya. Ternyata orang yang telah membuat bokap Indri tewas adalah papa. Sebenarnya kecelakaan.
Itulah yang membuat papa keluar dari entertainment dan melarangku menjadi aktris. Tapi sampai sekarang papa masih kepikiran dengan perkataan seseorang yang mengancamnya. Ada orang yang mengancam, jika dia akan membalas dendam suatu saat nanti.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
En Dröm [COMPLETE]
Teen Fictionen dröm dalam bahasa Swedia artinya sebuah mimpi. "Masih yakin bisa jadi artis lo?" "Gak ada yang gak mungkin di dunia ini. Asalkan kita mau aja berusaha untuk mencapai apa yang kita inginkan," -Tria Fanida-