"Pokoknya keputusan papa sudah bulat. Sekarang tinggal kamu pilih. Kamu pilih tetap mengejar mimpi kamu yang bahkan kamu selalu gagal casting atau kamu turuti apa perkataan papa. Tentu kamu sudah tau apa konse—"
"Pa. Papa gak bisa gitu dong." ucapku memotong perkataan papa dengan nada yang sedikit tinggi.
Tindakanku bisa dikatakan tidak sopan. Tapi bagaimanapun juga aku berhak untuk menentukan apa keinginanku. Yang menjalani kehidupanku itu diriku sendiri.
Setelah aku berkata dengan nada yang tidak bersahabat. Aku memandangi mama dan kedua abangku. Tatapan mereka seakan-akan memeringatiku kalau aku seharusnya tidak berkata seperti itu.
Lalu dengan memeberanikan diri aku menatap papaku. Oke aku mulai takut dengan tatapan tajam papaku yang ditujukan kepadaku. Juga rahangnya yang terlihat mengeras menandakan papa sedang menahan emosi.
Takut-takut aku menundukkan pandanganku. Jujur aku takut tapi aku harus melawan.
"Kamu berani memotong perkataan papa?" tanya papa dingin.
Aku menghembuskan nafasku kasar lalu memberanikan diri membalas tatapan papa tak kalah tajam. Walaupun aku tahu apa yang aku lakukan ini tak seharusnya aku lakukan.
"Memang kenapa pa? Nida tanya sama papa sekarang. Apa ada yang salah dengan mimpi Nida? Kalau ada yang salah bilang pa, siapa tahu Nida bisa mempertimbangkannya. Nida tanya lagi pa, salahkah kalau Nida bermimpi ingin jadi aktris? Semua orang berhak untuk bermimpi bukan? Terus kenapa papa selalu mengatur semuanya sesuai dengan keinginan papa tanpa bertanya terlebih dahulu?" ujarku panjang lebar.
Aku ingin tahu alasan papa ku kenapa dia bersikeras jika aku tidak boleh menjadi aktris. Setiap aku tanya papa selalu menghindar.
Dan aku harap hari ini aku menemukan jawabannya.
"Kamu gak ngerti Nida. Kamu gak ngerti. Semua ... apa yang papa lakukan itu demi kebaikanmu, demi masa depanmu."
Benar bukan? Papa tidak pernah menjawab pertanyaan ku. Papa selalu bilang kalau aku tidak mengerti.
"Nida gak akan ngerti kalau papa gak ngomong. Makanya Nida minta penjelasan papa. Papa bilang demi kebaikanku? Demi masa depanku? Pa ... yang akan menjalani itu aku bukan papa. Papa gak berhak mengatur apa mimpiku. Aku cuma minta papa dukung mimpi Nida. Hanya itu permintaan Nida." ucapku dengan menahan emosiku sekuat tenaga. Aku gak boleh lengah, aku harus memperjuangkan mimpiku.
Aku mengira papa akan membalas ucapanku. Tapi dugaanku salah, papa tiba-tiba saja beranjak dari tempat duduknya.
Aku mengela nafasku lelah. Sungguh ini yang aku benci. Padahal baru pagi hari tapi moodku sudah hancur. Padahal aku sudah merencanakan beberapa kegiatan tapi rasanya sangat malas melakukan semua hal.
"Sampai kapanpun papa gak akan mendukung mimpi kamu yang satu itu." ucap papaku tiba-tiba yang langsung membuat aku menatap papaku sebentar lalu memalingkan wajahku.
Aku tidak mendengar langkah kaki lagi itu berarti papa sudah berada di ruang kerjanya.
"Bentar ya mama mau susul papa kalian dulu,"
Selepas mama beranjak, akupun juga beranjak ke kamarku. Tak peduli bang Devan dan bang Devon yang terus memanggilku.
Akupun membanting pintu kamarku dengan cukup keras. Lalu merebahkan diriku ke kasur. Aku memejamkan mata dan menarik nafas sekuat yang aku bisa hirup. Berharap emosiku bisa hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
En Dröm [COMPLETE]
Novela Juvenilen dröm dalam bahasa Swedia artinya sebuah mimpi. "Masih yakin bisa jadi artis lo?" "Gak ada yang gak mungkin di dunia ini. Asalkan kita mau aja berusaha untuk mencapai apa yang kita inginkan," -Tria Fanida-