Part 22

389 38 0
                                    

Aku langsung merebut kertas itu tapi Ka Angkasa tak kalah cepat mengangkat kertas itu, sehingga aku susah untuk mengambilnya. Aku meloncat, berusaha menggapai keras itu. Tapi percuma, mau setinggi apapun aku meloncat, aku tidak bisa menggapainya.

"Dari kapan lo dapet teror abal-abal kaya gini?" tanyanya dengan rahang yang sedikit mengeras dan tatapannya yang tajam.

"Dari kapan-kapan. Udah deh, sini kertasnya!" kesalku sesekali mencoba merebut kertas itu tapi tak berhasil.

"Siapa yang ngelakuin kaya gini? Gak etis banget," ucapnya sembari menyobek kertas itu.

Aku mengerjap. "Ish, kok di sobek sih? Itukan punya gue!" ucapku sedikit kesal.

Ka Angkasa menatapku dengan senyum sinis. "Nih, ambil tuh!" dia menarik tanganku, meletakkan sobekan kertas di telapak tangaku sehingga aku bisa menggenggamnya.

Aku menutup mataku sejenak, menarik napas kemudian menghembuskan perlahan.

"Da, masuk yuk. Ada bang Langit sama Adiknya, mereka nyariin lo tuh." aku diam, tak merespon ucapan Ani. "Da. Lo kenapa sih? Kok diem aja?" tanyanya sembari menyentuh bahuku. Aku langsung menepis tangan Ani lalu pergi begitu saja, meninggalkan Ani yang termenung atas apa yang aku lakukan. Aku akan menenangkan diri terlebih dahulu.

***

Di sinilah aku sekarang, di sebuah cafe yang lumayan jauh dari lokasi. Untuk pertama kalinya, aku bolos syuting. Biasanya Via selalu mengajak ke sini kalau sedang kesal, cafe pelangi namanya. Dan entah kenapa cafe inilah yang aku pikirkan.

Sambil menunggu pesananku, aku memainkan ponselku. Banyak yang menghubungiku, entah itu telpon atau sekadar pesan.

Aku mengurungkan niat untuk menonaktifkan ponselku saat ada penggilan masuk dari Via. Tanpa pikir panjang aku mengangkat telponnya.

"Nidaaa, miss you so much. Ish gue kangen sama lo, eh bukan deng. Bukan sama lo. Tapi sama Dia. Oh iya, gimana kabar lo? Baik. Ohh baik-baik aja. Lo tau, di sini gak seruuu. Gue sendiri Da, gue tuh kesepian gak ada lo."

Aku hanya diam. Tapi bisa aku pungkiri, kalau suara Via membuatku sedikit lebih tenang. Ya, sedikit.

"Da, Andra deketin lo?"

"Iya. Tiba-tiba dia jadi sopir pribadi gue,"

"Gue udah duga sih? Tapi, inget ya, lo gak boleh baper sama dia, dia itu..."

Aku mengernyit, menunggu apa yang akan Via katakan. Sepertinya Via tahu sesuatu.

"Dia itu? Dia kenapa Vi? Lo tau sesuatu?"

"Ha? Emangnya gue tadi ngomong apa?"

Aku mendengus. "Vi please, lo tau sesuatu?"

"Enggak. Udah dulu ya Da, besok lagi. Bye,"

"Halo...halo."

Aku mendecak begitu Via memutuskan sambungan begitu saja. Aku mencoba menghubungi Via lagi, tapi nomornya sudah tidak aktif. Sial!

Tak lama kemudian, makanan yang aku pesan datang bertepatan dengan seseorang yang tiba-tiba mengambil tempat duduk di depanku.

Andra. Ngapain dia di sini?

"Mbak, saya pesan lemon tea ya," ucapnya kepada pelayan sebelum beranjak.

"Sendiri aja Da?" tanya Andra.

"He'em," jawabku malas. "Lo sendiri?" tanyaku balik.

Andra menggeleng. "Gue udah janjian sama Langit. Tuh orangnya," tunjuknya tepat dibelakangku.

Aku berbalik, benar bang Langit tengah menuju ke mari. Aku kembali untuk melanjutkan makanku yang tertunda.

Bang Langit langsung menempati satu kursi kosong yanga ada di sampingku. "Da, gue dapat kabar. Lo bolos syuting hari ini? Kenapa?" tanya bang Langit.

Aku mengangkat bahu tak peduli. "Pengen aja," jawabku santai.

"Lo gak boleh gitu dong! Itu kan udah kewajiban lo. Masih mending lo keterima!" ucap bang Langit yang seketika membuatku kesal.

Aku menarik napas kuat-kuat lalu menghempaskan sendok yang aku pegang hingga berbunyi dentingan yang kuat, sesaat mata pengunjung tertuju kepada ku. Aku melirik sinis ke arah bang Langit. "Yang ngejalanin itu gue! Lo gak berhak ngatur hidup gue! Terserah gue mau ngapain aja!" kesalku.

"Gue yang ngehandle mini series yang lo bintangin. Kalau bintangnya aja kaya gini? Menurut lo gue gak turun tangan?!" aku mengepalkan tanganku kuat-kuat, berusaha meredam emosi.

"Udah dong Lang. Biarin aja, lagian dia kan juga baru sekali," ucap Andra berusaha menenangkan bang Langit, agar dia tak memancing emosiku lagi. Aku menatap Andra tak kalah sinis. Aku tahu Andra baik ingin membelaku tapi aku tak suka ada yang membelaku. Aku tahu aku salah dan aku akan tanggung jawab.

Bang Langit menatap Andra. "Lo bilang biarin?! Kalau dibiarin, lama-lama dia ngelunjak!" ucapnya seraya menunjukku.

Aju menepis tangan bang Langit. "Gak usah tunjuk-tunjuk bisa?!" ucapku dingin.

Bang Langit beralih menatapku. "Inget ya Da. Ini pertama dan terakhir kalinya lo bolos syuting. Gue gak akan mentolerir lagi kalau lo bolos untuk kedua kalinya. Syuting bentar lagi selesai, dan lo enak-enakan bolos!"

Aku diam, tak membalas perkataan bang Langit. Tak ada obrolan lagi di antara kami.

Aku tersentak, tiba-tiba ada yang menarik paksa tanganku. "Pulang!" ucapnya dengan nada yang tegas.Aku menurut, malas rasanya untuk berdebat.

Saat baru beberapa langkah ka Angkasa berbalik, menatap benci ke arah Andra dan bang Langit. Aku mengernyit, kenapa tatapan ka Angkasa sebenci itu?


Tbc

En Dröm [COMPLETE] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang