Part 42

450 38 0
                                    

Di rumah ini ada satu ruangan yang terkunci, siapapun tidak bisa memiliki akses untuk masuk. Hanya papa yang memegang kunci ruangan ini. Dari dulu, aku selalu penasaran, kenapa papa tidak pernah membiarkan orang lain masuk ke ruangan ini.

Aku yakin ada sesuatu yang disembunyikan papa di sini. Jika tidak, ruangan ini pasti tidak selalu terkunci. Rasa penasaran ku semakin menjadi. Entah kenapa aku yakin, ada sesuatu yang bisa berguna sebagai petunjuk.

Hampir setengah jam aku berurusan dengan penjepit kertas agar bisa membuka pintu ini. Sudah bermacam-macam cara aku lakukan untuk membuka paksa pintu ini, tapi hasilnya selalu gagal.

"Kok gak bisa, sih. Ayo dong buka," sungutku.

Aku berkacak pinggang, meneliti pintu ini dari atas sampai bawah. Terbuat dari apa pintu ini? Aku sudah mempraktekkannya di pintu kamarku dan langsung berhasil. Kenapa saat aku mencoba di sini, selalu gagal?

Aku mendengus, mencoba sekali lagi. Walau aku tau, hasilnya akan sama, sia-sia. Di saat aku membuka pintu, aku melihat sepasang sepatu. Aku menelan ludah susah payah, itu sepatu papa, aku sangat mengenalinya.

Lalu aku melirik tanganku yang masih berusaha pintu, aku langsung melepaskannya dan menyembunyikan satu tanganku di belakang.

Perlahan aku menatap papa, beliau nampak santai, menatapku dengan alis yang terangkat sebelah.

Aku menyengir kaku. "Papa ... kok udah pulang?" tanyaku dengan bola mataku yang bergerak tak tau arah.

Beberapa menit tak ada jawaban. Papa lalu merogoh salah satu saku celananya, aku mendengar bunyi seperti kunci.

"Cari ini?" papa menunjukkan kunci ruangan ini tepat di depan mataku.

Refleks aku berusaha merebut kunci itu, tapi papa lebih cepat menyimpan kembali kunci itu. Sial.

"Belum saatnya kamu tau. Kalau udah waktunya nanti papa kasih tau. Oke?" papa menepuk kecil kepalaku lalu berlalu.

Gagal. Aku kembali ke kamar dengan lesu. Aku akan mencobanya sekali lagi, tidak untuk waktu dekat ini. Aku merebahkan diriku begitu aku sampai di kamar. Rasanya lelah sekali, berdiri lebih dari setengah jam dan parahnya tidak ada hasil sama sekali.

Aku mendecak, harus pakai cara apalagi? Apa aku harus menunggu, sesuai apa yang dikatakan papa?

Aku membuka ponselku saat ada notifikasi pesan masuk. Ternyata ada pesan dari grup CLBK yang terdiri dari aku, Sasa, Siska, dan Via. Hanya kita berempat. Yang membuat grup Via, tapi Via jarang ikut nimbrung karena kita beda negara sekarang.

CLBK (Cewek Luar Biasa Kuat)

Sasa
Tempat biasa kuy. Ada sesuatu yang perlu kita bahas. @siska @nida kalian gak sibuk, kan?

Masih dengan posisi tidur terlentang aku membalas pesan Sasa.

Ayo aja, gue mah. Kebetulan lagi free, nih. @siska bisa, kan?

Siska
Gue udah otw. Awas kalau kalian ngaret!!

Sasa
@siska jemput gue woy!!

Aku langsung mengganti bajuku. Langsung bergegas menuju tempat biasa aku, Sasa, dan Siska berkumpul.

***

Aku langsung mengambil tempat di samping Siska. "Sasa mana?" tanyaku begitu aku melihat Siska hanya sendiri.

Siska mengangkat bahunya. "Paling juga telat." ucapnya santai.

Aku mengernyit. "Emang lo gak jemput, dia?"

Siska menggeleng. "Males. Lagian gue tadi habis pemotretan langsung ke sini. Gak satu arah juga, jadi males jemput."

Aku mengangguk, mengiyakan. "Lo udah pesen makan atu mimun?" tanyaku.

"Udah. Tunggu aja." Siska kembali fokus ke ponselnya. Entah apa yang dikerjakannya.

"Kemarin gue sama Andra nonton pertandingan basket," kataku, melirik Siska yang langsung mengentikan aktivitasnya.

"Di SMA Nusantara?" tanyanya memastikan, aku mengangguk sebagai jawaban. "Terus, lo ada informasi?" lanjutnya.

Aku mengangguk. "Informasi yang penting. Tunggu Sasa dulu."

Tepat setelah aku menutup mulut, Sasa datang dengan terengah tak lama kemudian makanan dan minuman yang telah dipesan Siska datang. Sasa langsung menyambar minuman yang didekatnya.

"Hah ... lega," ucap Sasa lirih.

"Ke mana aja lo? Ngaret banget," tanya Siska.

"Sorry. Panggilan alam," jawabnya santai.

"Jadi," ucapku memecah keheningan. Aku melirik Sasa.

Sasa mengernyit menatapku. Kemudian dia seperti teringat sesuatu, setelahnya Sasa mengeluarkan penyadap suara beserta tab nya dari dalam tas.

Aku dan Siska langsung mendengarkan sebuah percakapan melalui earphone yang dibawa Sasa.

"Kenapa lo lakuin semua itu?"

Itu sepeeti suara Awan. Aku menggerakkan mulutku bertanya, "dia Awan?" tanpa suara. Sasa mengangguk.

"Kenapa? Lo gak terima?"

Aku tercengang. Itu suara ... Irma.

"Kalian kenapa, sih? Rela-relain balas dendam gak jelas. Indri aja udah maafin semuanya, udah ikhlas. Kenapa kalian enggak? Dan memilih balas dendam?"

"Lo kalau gak tau apa-apa mending diem aja. Oh, satu lagi, jangan pernah samain gue sama si Indri itu. Kita beda! Dia terlalu lemah."

"Tapi, setahu gue kejadian itu murni kecelakaan. Beda dengan lo yang sengaja buat Nida jatuh dari motor. Dan karena ulah lo, kaki dia retak."

"Bodo amat mau kecelakaan atau bukan. Yang jelas 'dia' harus ngerasain hal yang sama."

"Beliau itu om lo, bukan bokap lo!"

Itu artinya Andra dan Irma ada hubungan keluarga dan Bang Langit juga.

"Dan karena beliau gue bisa terjun ke entertainment."

"Jangan lupakan bokapnya Nida. Beliau juga turut andil atas pencapaian lo."

"Semenjak kejadian itu, gue udah anggep om Yuwa meninggal dunia bersamaan dengan om Nawa."

"Terus sikap lo ke Nida maksudnya apa?"

"Gue sengaja supaya dia berhasil masuk entertainment. Dengan begitu gue mudah buat balas dendam. Semua semangat-semangat dari gue, semata-mata hanya untuk mendorong ke dunia seni peran. Setelah itu, rencana akan segera dilancarkan. Gue dengan mudah balas dendam ketika Nida sudah berhasil menjadi aktris. Dan sampai kapanpun gue akan tetap teguh atas apa yang udah jadi pilihan gue."

"Kalian licik juga ternyata."

Cukup sudah. Selama ini Irma yang selalu menjadi penyemangatku ketika aku merasa putus asa. Dia juga yang akan menghancurkanku. Tak akan pernah bisa!

"Irma bilang 'kalian' itu berarti gak cuma satu. Siapa kira-kira yang lain?" tanya Siska.

"Andra. Dia juga terlibat. Gue sendiri yang denger. Dan gue akan ikuti permainan mereka," ucapku yakin.

"Lo yakin?" tanya Sasa dan Siska serempak.

"Gue yakin."






































Tbc

En Dröm [COMPLETE] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang