"Gimana tangan, lo? Masih sakit?" tanya Andra begitu aku masuk mobil.
Aku menggerakkan tanganku, menunjukkan jika aku sudah lebih baik. "Udah gak sakit, makanya bisa syuting lagi," jawabku, Andra bernapas lega mendengar kataku.
Beberapa minggu yang lalu saat melakukan adegan bela diri tanpa sengaja tanganku terkilir. Karena aku tidak bisa diam, terus memaksa syuting, proses penyembuhan tanganku sedikit lama. Jadilah pak sutradara memberiku istirahat total tiga sampai lima hari. Setelah empat hari istirahat total, tanganku sudah sembuh. Aku memutuskan kembali beraktivitas.
"Lain kali hati-hati. Lo, kan, gak biasa bela diri. Waktu itu lo juga pemanasannya kurang, jadinya cidera, kan."
Saat itu Andra menemani aku syuting seharian penuh. Lebih tepatnya jika sekolah libur, dia akan menemaniku syuting dari pagi sampai selesai, bahkan pernah sampai tengah malam. Otomatis dia melihat apa saja yang aku lakukan.
"Bawel banget. Lagian tangan gue juga udah sembuh, kan."
Sejak aku mendapatkan surat itu, lagi. Hari kedua aku syuting, Andra sudah mangkir di depan rumah. Dia menawarkan tumpangan setiap harinya. Mengantarku kemana pun aku pergi, dia selalu siap aku andalku untuk bagian yang satu itu.
Bahkan dia lebih sering menghubungiku, menanyakan aku sudah makan atau belum? Udah minum vitamin atau belum? Istirahatnya cukup atau tidak? Pokokmya Andra sangat berbeda. Entah apa maksud dan tujuannya itu. Yang jelas aku harus hati-hati, dan aku tidak boleh jatuh hati kepadanya.
"Ndra, besok lo gak usah jemput, ya?" pintaku seraya menatap Andra penuh harap.
Andra melirikku sekilas. "Kenapa?" tanyanya dengan nada tak suka.
"Besok gue berangkat sama kak Angkasa. Ada yang harus kita bicarain soalnya," jelasku. Aku masih menatap Andra yang tak memberikan tanggapan apa-apa. "Gak papa, kan?" lanjutku.
Andra menghembuskan napas. "Hanya untuk besok, kan?" tanyanya memastikan.
Aku terkekeh. "Kalau sampai besok-besoknya lagi, gimana?" kataku hanya untuk menggodanya. Aku ingin tau sejauh mana dia memanfaatkanku atau sudah jatuh hati kepadaku.
"Gak boleh! Cuma gue yang boleh nganterin, lo!"
"Lo tau ndra. Satu yang paling gue gak suka. Kebohongan. Gue paling benci sama orang yang gak jujur, apa pun alasannya. Lo gak perlu ngelakuin itu karena apapun yang lo lakuin akan sia-sia," ucapku sebelum turun dari mobil.
***
Sesampainya di cafe milik kak Angkasa. Aku langsung menyambar minuman yang bisa kupastikan milik kak Angkasa sampai habis.
"Sumpah, ya. Gue kesel banget sama lo. Lain kali kalau emang gak bisa jemput, gak usah janji. Lo tau, gara-gara lo gue disemprot habis-habisan sama sutradara karena gue telatnya kelewatan," kesalku dengan bahu yang naik-turun.
Bagimana bisa aku tidak kesal jika aku sudah menunggu kak Angkasa dari jam lima pagi– jaga-jaga kalau macet– karena jadwal syutingku jam setengah tujuh. Dan bodohnya aku tetap menunggu sampai pukul enam. Kak Angkasa baru mengabariku tepat pukul 6.05, dan itu sukses membuatku terlambat. Bagimana tidak? Jalanan yang aku lalui entah kenapa lebih padat dari biasanya.
"Iya, gue minta maaf. Gue akui, gue emang salah. Tapi, sumpah gue ada acara mendadak tadi," ucap kak Angkasa.
Aku memutar bola mataku. "Terserah. Gak peduli juga." aku menaruh tanganku di meja. "Jadi, tujuan lo nyuruh gue ke sini apa?" tanyaku.
"Gue minta, lo berhenti syuting film itu!" tegas kak Angkasa dengan menatap mataku.
Alisku menukik. "Gak mau!" tolakku cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
En Dröm [COMPLETE]
Teen Fictionen dröm dalam bahasa Swedia artinya sebuah mimpi. "Masih yakin bisa jadi artis lo?" "Gak ada yang gak mungkin di dunia ini. Asalkan kita mau aja berusaha untuk mencapai apa yang kita inginkan," -Tria Fanida-