Aku benci kenyataan bahwa kau masih menjadi satu-satunya di hatiku.
~•••~
Didalam perjalanan, Osiya dan Samudra sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya suara kendaraan di sekitar yang menemani perjalanan mereka.
Sebenarnya, samudra tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Tapi dia paham jika Osiya sedang tidak dalam mood yang baik untuk diajak berbicara.
"Udah nyampe Si," ucap Samudra menyadarkan Osiya dari lamunannya. Osiya turun dari motor Samudra, kemudian memberikan helmnya kepada si pemilik.
"Makasih," ucapnya sedikit tersenyum. Samudra tau. Sangat tau. Osiya saat ini sedang tidak baik-baik saja.
"Enggak usah sok kuat," ucap Samudra sambil mengaitkan helm yang tadi dipakai Osiya di kaca spion. Osiya mengerutkan keningnya.
"Gue tau lo enggak baik-baik aja, berhenti berpura-pura. Lo enggak capek apa?" ucap Samudra dingin.
Osiya menghembuskan nafasnya kasar kemudian menatap Samudra.
"Terus lo maunya gue nangis-nangis gitu? Sambil teriak bilang kalo gue sakit hati, gitu?" tanya Osiya datar.
Samudra terkekeh. Kemudian ia mengelus puncak kepala Osiya pelan.
"Jangan dipendam, kalo emang lo butuh tempat berbagi, gue siap. Kapanpun lo butuhin gue, gue akan selalu ada. Gue pulang dulu. Jangan cengeng," ucapnya. Kemudian pergi meninggalkan Osiya.
Osiya terdiam. Kemudian ia menarik nafasnya dan masuk ke dalam rumah.
°°°
"OSIYA! ABANG BELI PIZZA NIH!" teriak Alfa di depan kamar Osiya. Osiya keluar dengan mata sembabnya. Alfa terdiam kemudian masuk ke dalam kamar Osiya tanpa persetujuan sang pemilik kamar.
"Sini," Osiya berjalan ke arah abangnya yang sedang duduk di karpet lantai itu.
"Kenapa matanya? Devon lagi? Kapan mau berhenti? Bukan cuman dia satu-satunya cowok, dek," ucap Alfa menatap sang adik dengan pandangan lembut.
"Abang pikir kamu udah buka hati buat temen kamu yang tadi itu," lanjutnya. Osiya mendengus.
"Dia anak baru di sekolah aku. Aku cuman bantuin dia. Nggak lebih."
"Tapi dia satu-satunya cowok yang kamu biarin masuk ke rumah selain Devon loh, dek," goda Alfa sambil memberikan sepotong pizza kepada Osiya. Osiya menerima pizza-nya.
"Dia keliatannya baik kok. Malahan Abang lebih nyambung ke dia dari pada si Devon," lanjut Alfa sambil memakan pizza-nya.
"Kalo aja Osiya bisa, udah dari dulu Osiya bakalan buka hati lagi bang," jawab Osiya sambil memutar bola matanya. Ia malas jika sudah membahas topik ini. Karena kenyataannya dia memang belum bisa membuka hati untuk orang lain. Hatinya masih sepenuhnya milik Devon.
"Bukan nggak bisa dek. Tapi kamunya aja yang gak mau," kemudian Alfa membersihkan tangannya. Ia memegang bahu adik kesayangannya.
"Abang minta tolong ya dek? Bahagia. Demi bunda sama Abang. Kita semua capek liat Siya terus-terusan nutup diri kaya gini. Osiya pernah bilang kan? Kalo gak akan pernah bikin bunda sama Abang sedih? Sekarang Osiya tepati janji Osiya dong. Lupain Devon. Buka hati kamu. Gak semuanya sama kayak Devon. Jadi please berhenti kayak gini, Abang kangen Osiya yang lama," ucap Alfa tulus. Jujur, ia lelah melihat adiknya terus-menerus seperti ini.
Osiya terdiam. Ia juga ingin, sangat ingin. Tapi ia tidak bisa, tidak bisa! Andai orang mengerti bagaimana rasanya diterbangkan begitu tinggi namun dalam sekejap dihempaskan kedalam jurang yang begitu dalam. Apalagi, bersama orang itu Osiya mendapatkan segala pengalaman pertama dalam hidupnya. Sudah jelas itu sakit. Sangat sakit. Bahkan mungkin sangat sulit untuk kembali bangkit.
Alfa memeluk Osiya, Osiya baru sadar bahwa ia menangis. Di dalam pelukan Alfa dia tertawa pilu. Menertawakan begitu bodohnya dirinya. Dia hanya bisa memberi beban saja pada bunda dan abangnya. Padahal cobaan di dalam keluarga mereka sudah begitu banyak, tapi dia malah seperti ini. Kini Osiya butuh dia yang selalu menggenggam tangan Osiya dan menguatkan Osiya, dia yang selalu memeluk Osiya di kala Osiya hancur, Osiya butuh dia, Osiya butuh Devonnya. Bahkan sampai saat ini Osiya masih mengklaim Devon miliknya. Devon masuk terlalu jauh dalam hidupnya.
"Devon kenapa ingkar janji? Sekarang Osiya sedih lagi, dan itu karena Devon."
°°°
"Pagi bunda! Pagi Abang!" Osiya pagi ini terlihat lebih segar. Sepertinya ia mendengarkan kata-kata sang kakak. Alfa tersenyum melihat adiknya terlihat seceria ini.
"Wah, anak bunda cantik banget. Kalo ceria kayak gini keliatan makin cantik tau sayang," Osiya yang dipuji oleh sang bunda hanya nyengir saja.
"Berangkat sekarang dek?" tanya Alfa.
"Bentar, Siya minum susu dulu," jawab Osiya.
"Yaudah, Abang tunggu di luar," Osiya hanya mengangguk.
"Bunda, Osiya berangkat yaa," Osiya mencium pipi sang bunda.
Baru membuka pintu rumah, Osiya dibuat terkejut karena di teras ada abangnya yang sedang mengobrol dengan seseorang.
"Samudra," panggil Osiya. Samudra menoleh kemudian melambaikan tangannya.
"Cieee yang dijemput sama doi," goda bang Alfa yang dibalas tatapan tajam oleh adiknya.
"Udahlah, Abang nggak mau jadi nyamuk. Bro! Titip adek gue." kemudian Alfa masuk ke dalam mobilnya tak lupa memberikan tatapan jailnya kearah Samudra. Samudra hanya tertawa melihatnya.
"Berangkat sekarang?" tanya Samudra begitu Osiya ada di depannya.
Osiya menaikkan salah satu alisnya.
"Siapa yang minta dijemput?" tanyanya datar."Enggak ada, gue yang mau. Ayo." kemudian ia memasangkan helm untum Osiya. Jarak mereka sangat dekat, bahkan Osiya kini bisa mencium aroma mint dari tubuh Samudra. Mata mereka bertemu. Mereka saling mengunci pandangan mereka. Tapi Osiya buru-buru mengalihkan pandangannya.
"Ayo, gue enggak mau telat," ucap Osiya ketus tanpa mau melihat ke arah Samudra. Entahlah ia rasa kini wajahnya pasti sangat merah. Samudra terkekeh melihat Osiya yang salting
"Manis," batinnya.
°°°
"Wah ternyata Osiya beneran pacaran sama dia, yang," ucap Ditha saat melihat Osiya dan Samudra memasuki area parkir. Devon ikut melihat ke arah mereka. Ia tersenyum. Entahlah, senyuman itu sulit diartikan."Hai Osiya! Heran deh, kok lo selalu dapet yang bening-bening ya? Padahal kan lo mukanya pas-pasan," sinis Ditha begitu ia sudah ada di depan Osiya. Osiya tidak melihat ke arah Ditha. Ia lebih fokus pada objek di sebelah Ditha. Orang yang menyebabkan matanya kini terlihat bengkak.
"Dih, ngaca goblok! Lo kira lo cantik? Muka tebel sama bedak aja bangga! Osiya mah nggak diapa-apain udah cantik kali! Natural! Enggak kaya lo, dempul!" Tandas Samudra. Osiya menggenggam tangan Samudra. Devon terkejut. Sama halnya dengan Samudra. Kemudian Osiya menarik tangan Samudra untuk pergi dari tempat itu. Langkahnya tak luput sedikitpun dari perhatian Devon.
"Kok lo tarik gue sih, si? Kan gue belum selesai sindir tuh nenek lampir," protes Samudra.
"Ngapain sih? Enggak penting banget," balas Osiya kemudian melepaskan tangan Samudra dan berlalu ke arah kelasnya.
"Sampai kapanpun gue enggak akan biarin lo sedih lagi, Osiyana. Karena lo berhak bahagia," ucap Samudra sambil memandang Osiya yang berjalan jauh di depannya.
➖Part pertama dibulan Ramadhan uwuu❤️
Selamat menunaikan ibadah puasa ya bebeb bebebkuuu😚
Stay safe! Stay at home!
Vomentnya jangan lupa ya!💗
Biar aku makin semangat nerusin ini cerita^^TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe Me
Teen FictionIni kisah tentang seorang gadis yang tak pernah jatuh cinta, tapi sekalinya jatuh cinta malah disakiti, hingga ia tak ingin mengenal cinta lagi. Kemudian datanglah seseorang yang mampu merubah hidupnya yang tadinya hanyalah sebuah lembaran monkrom m...