PART 02

450 35 7
                                    


***********

Aku kembali kekamarnya membawa makanan dan minuman diatas nampan yang aku letak diatas meja dekat dengan tempat tidurnya.

Aku suapi ya? Tawarku diapun menurut hingga makanan yang aku bawa habis.
Aku tersenyum saat melihat masih ada sisa nasi di ujung bibirnya.

“Haha kau ini seperti anak kecil saja, lihat itu masih ada nasi diujung bibirmu”
Kataku sambil menunjuk kearah yang kumaksud.

“Mana? Tolong ambilkan”
Pintanya sambil memiringkan wajahnya kearahku akupun langsung menghapus nasi yang menempel di ujung bibirnya namun kejadian semalam terulang lagi dia menahan tanganku ketika aku hendak menariknya kembali.
berulang kali aku berusaha melepaskan tanganku darinya tapi gagal karna dia sudah memegang erat tanganku. . .

“Si-Siwon- Ssi apa ya kau laku—

“Sssttt..”
ia menyentuh bibirku dengan jarinya. Menyuruhku untuk diam.
Menyentuh permukaan bibirku. Mengelusnya.
Rasanya tubuhku terasa begitu aneh. Seperti mati rasa.
Aku bahkan tidak bisa bergeser dari tempatku sekarang.
Membiarkan jari - jarinya dengan senang bermain di  bibirku yang ia sentuh menatapnya sangat fokus. Dan tubuhnya yang semakin mendekat kearahku.
Ia kini mengalihkan tatapannya menuju mataku.
Memenjarakan tatapanku agar tetap menatapnya.
Juga memenjarakan kesadaranku ketika ia kini memiringkan kepalanya mengarahkan bibirnya menuju bibirku.
Dan sentuhan lembut bibirnya menyapu bibirku sekilas. Hembusan nafas kami saling bertabrakkan. Menghantarkan rasa gugup  dan terkejut yang membuatku memejamkan mata.
Kembali kurasakan bibirnya menyentuh bibirku lagi setelah tadi ia menjauhkan bibirnya sejenak.
Kali ini terasa lebih dalam ketika ia menenggelamkan bibirnya pada bibirku.
Melumatnya. Sementara bibirku sendiri kubiarkan ia lumat tanpa perlawanan.
Aku tidak paham dengan ini
otakku seakan lumpuh seketika. Membiarkan ia menguasai bibirku akal sehatku seperti menghilang sejenak.
Kini kurasakan tangannya menekan tengkukku.
Membuat ciumannya semakin intim.

“Tuhan, apa yang akan terjadi pada kami malam ini.
Kenapa tubuhku tidak melakukan penolakan apapun terhadapnya?”

Bahkan kini aku mulai membalas lumatan-lumatan agresifnya. Sungguh.
Aku seperti tidak mengenali diriku lagi.
Dan ketika aku membuka mataku yang sedari tadi terpejam, aku mendapati diriku sudah berada dibawah kuasa tubuhnya.
Berbaring pasrah dengan dia yang berada diatasku. Terengah dengan ciuman kami yang entah berapa lama kami lakukan itu. Akupun sama terengahnya.
Mungkin aku lebih butuh banyak asupan oksigen dibanding dia. Keringat dingin terasa membasahi keningku.
Tatapannya terlalu intens dan.. bergairah.
Tidak ada satu patah katapun yang ia ucapkan. Ia kembali menghalau asupan oksigenku. Kembali menggeluti bibirku dengan ciuman-ciumannya.
Dan aku bergerak gelisah ketika tangannya terasa mengelus pinggangku. Menyingkap kaos ku hingga tangannya yang hangat menyentuh kulit perutku. Melakukakan gerakan mengelus yang membuat eranganku tertahan oleh ciumannya.
Asupan oksigenku semakin menipis. Aku mengerang tersiksa memintanya melepaskan bibirnya sejenak.

Ia mengerti.
Baru saja aku menghembuskan nafas lega,
menghirup oksigen ketika ia membuat segalanya lebih kacau dengan mengarahkan ciumannya menuju leherku.
Menjejakkan bibirnya perlahan disana. Menghembuskan nafasnya yang memburu.
Membuatku terhipnotis dan merasakan hal yang sama.
Nafasku memburu. Merasakan percikan gairahnya yang membuat keringatku semakin banyak.

“Ahhh…”
Remasannya yang tidak sabar pada dadaku membuat desahan bodoh itu lolos begitu saja dari bibirku.
Ia menghentikan kegiatannya pada leherku dan menatapku.
Oh, demi apapun, aku tidak sanggup menatap matanya.
Aku terlalu malu menunjukkan wajahku yang kuyakini begitu berantakan.
Tersengal dan bahkan mengeluarkan rintihan berupa desahan tadi. Aku malu.
Dan kenapa ia kini dia mulai tersenyum.
Apa arti senyum itu? Senyum yang memikat sebenarnya. Yang membuat kepalaku terasa berputar. Kacau. Tangannya menarikku bangkit. Membuatku terpaku dengan tindakannya yang tidak kupahami.
Ia duduk  diatas kakiku. Menumpukan kedua lututnya, menatapku.
Matanya mengarah pada ujung kaosku yang ternyata tengah digenggam olehnya.
Ia menaikkan kaosku perlahan hingga memperlihatkan perutku yang tidak ditutupi apapun.

SIFANY STORY (from Internet)...  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang