11

30 21 3
                                    

Srek...srek...

Nichi menyibak tanaman liar yang mengganggu jalannya.
Dibelakangnya tak ketinggalan Ryo yang selalu mengekor dengan setia.

Suara ribut anak-anak sudah tak terdengar sedari tadi. Dengan masih menggendong ransel masing-masing mereka terus memasuki hutan tanpa tahu apa yang mereka cari disana.

Sejatinya, Nichi hanya ingin berpetualang dan sedikit berharap menemukan sesuatu yang unik.sedangkan Ryo, ngekor tanpa banyak tanya.

"Nichi,kau dengar itu??" Ryo menghentikan langkahnya.

"Hmm??wah...kau dengar suara perutku!?pendengaran mu tajam sekali."Nichi tertawa kecil.

"Tapi memang sepertinya kita harus istirahat sekarang.perutku keroncongan."

Ryo menghembuskan nafas jengah, baru sejam yang lalu mereka makan di kapal.

"Bukan suara perutmu. Aku mendengar suara langkah kaki tak jauh dari sini. kurasa bukan kita saja yang melanggar peraturan"

"Benarkah?" Nichi memasang telinganya baik-baik.

Awalnya agak samar, namun makin lama makin jelas. orang itu menuju ke arah mereka.

Srek...srek...
Nichi dan Ryo bersiap memasang kuda-kuda.

Srek...akhirnya pendatang itu menyibak tanaman di depan hidung Nichi sehingga mereka bertatapan.

Orang itu sempat terperanjat dan memekik kecil melihat 2 barbar sekolah kini berada di depannya.

"Oh...ku kira bakal bertemu suku pedalaman." Nichi merilekskan tubuhnya yang sempat menegang.

Ryo maju, berdiri di samping Nichi.

"Bukankah kau Geun Woo!?"

Geun Woo tak menyangka kakak senior yang terkesan cuek dan tidak pernah peduli dengan orang lain ternyata mengenalnya.

"Y,ya." Geun Woo tergagap.

Ia tentu tahu dengan siapa ia berhadapan. 2 orang barbar yang selalu memalak dan menghajar siapa saja yang tak mereka suka, tak terkecuali guru.
kebengisan mereka sudah sangat terkenal seantero Jakarta.

"Kamu ngapain disini!?mau ikut berpetualang bersama kami?" Tawaran Nichi yang tiba-tiba membuat Geun Woo sedikit tersentak.

"Sebenarnya..." Geun Woo berusaha berbicara setenang mungkin.
"...aku kesini untuk menghindari anak-anak. Bukan untuk berpetualang."

"Oh ayolah!!" Nada Nichi terdengar memaksa ditelinga Geun Woo.

"Makin banyak orang, pasti makin menyenangkan."

Geun Woo keringat dingin. Apa yang harus dilakukannya?? Sialnya ia tak bawa hp untuk menghubungi teman-temannya jika terjadi sesuatu.

Yang ia bawa hanyalah dompet disaku celana.

"Aku..."

"Kau takut!?" potong Ryo.

"Tidak! Hanya saja..." Geun Woo membasahi bibirnya yang terasa kering. Sambil mencari-cari kata yang tepat untuk dijadikan alasan.

"Kau takut bocah, akui saja." Kata Ryo dingin.

"Kau tak perlu takut" Nichi menepuk pundak Geun Woo sambil tertawa-tawa.

"Kami tak sejahat yang dikatakan orang-orang."

Apa yang harus Geun Woo katakan sekarang???

"Ayo!!!"

Nichi dengan semena-mena sudah menarik tangan Geun Woo.

*****

Meisya terus berlari memasuki hutan sambil terisak. Tak peduli meski kini suara anak-anak tak terdengar lagi, digantikan suara burung-burung dan binatang hutan.

Bruk...untuk yang kesekian kali Meisya terjatuh, namun kali ini ia tidak kembali berlari seperti sebelumnya. Ia hanya berdiri dan duduk diakar pohon yang besar.

Meisya berteriak menumpahkan amarah yang sudah begitu lama ia pendam sendiri. Tangisnya makin menjadi-jadi.

Tak ada orang disini...batinnya.jadi aku akan menangis dan berteriak sepuasnya.

"Mereka jahat!!!!" Teriak Meisya. Hutan yang sunyi itu seakan mendukungnya untuk terus berbicara menumpahkan uneg-unegnya.

"Mereka bukan manusia!!!" Meisya terus berteriak pilu.

"Mereka itu setan!enggak! mereka lebih mengerikan dari setan!! mereka monster!!!!"

"Semua orang sama saja!!! mereka itu gak punya hati!!!mereka pikir mereka tuhan!!?hah!!!"

"Mereka pikir mereka tuhan!!hanya gara-gara punya uang banyak bukan berarti mereka berhak menginjak-injak harga diri orang lain!!!"

Nafas Meisya memburu. Namun kini, ia sudah sedikit lebih tenang, meski isakan nya tak mau berhenti.

"Sudah puas,bocah!?"

Meisya menoleh dengan kaget.

Ia sampai berdiri sangking terkejutnya.
menatap tak percaya orang yang berdiri tak jauh darinya sambil melipat kedua tangan di depan dada dan menyandarkan tubuhnya dipohon.

"Santai dong lihatnya." lelaki itu terkekeh.
"Aku manusia kok, bukan hantu."

Meisya mengerjap sambil menyeka air mata di pipi.

"Se,sejak kapan...?"

"Dari tadi. Aku lagi meneliti pohon besar ini, saat kau datang dan berteriak-teriak. so...siapa yang kau maksud dengan mereka??"

Meisya kembali duduk di akar meski ia masih sangat terkejut dengan kehadiran orang itu. ia tak menjawab. kesedihan dan keterkejutan seakan menguasai tubuhnya dan ia menjadi bingung apa yang harus ia lakukan.

Lelaki itu mendekat, menyodorkan tangannya.

"Chiro." katanya.
"Kita pernah ketemu,kan!?saat kau berjalan di koridor SMA bersama Nichi dan Ryo."

"Hmm??" Meisya menatap Chiro bingung. menggali-gali ingatan ditengah pikirannya yang masih kacau.

"Oh,iya." Meisya menyambut uluran tangan Chiro terlebih dahulu.

"A,aku gak ingat. tapi...eh,namaku Meisya."

Chiro menyodorkan sapu tangan yang telah di basahinya dengan air mineral kepada Meisya.

"Wajahmu penuh pasir."

Meisya menerima sapu tangan itu dan langsung membersihkan wajahnya.

"Jadi kau korban pembullyan ya...?"

Meisya diam.

"Tapi... kebetulan sekali. Aku juga kesepian disini. kalau kau mau bergabung, tak masalah." Chiro berkata seceria mungkin.

Beberapa detik, Meisya tetap diam. Akhirnya Chiro memutuskan meninggalkan anak itu dan berjalan pergi.

"Tu,tunggu! kak Chiro mau kemana??"tanpa di duga, Meisya mengejarnya.

Chiro memperbaiki letak ranselnya sebelum menjawab.

"Melanjutkan penyelidikan ku tentang hutan ini. Siapa tahu aku akan menemukan tanaman jenis baru...juga..."

"Kalau masuk lebih dalam, bagaimana kalau kita tersesat." Meisya nampak cemas.

"Kalau takut gak usah ikut." Ujar Chiro santai.

Pikiran Meisya berkecamuk. Ia tak ingin kembali ke pantai dan ikut bersama Chiro sepertinya akan menyenangkan.

"Oke...aku ikut"

***

Muchiven CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang