19

19 4 0
                                    

Hari ketiga sejak anak-anak menghilang.....

Meisya tersentak bangun dengan peluh membasahi wajahnya.

Barusan ia memimpikan bundanya, bundanya itu hanya berupa siluet samar yang datang secara tiba-tiba.
Siluet samar itu cuma tersenyum dan mengatakan satu hal.

"Shalat."

Dan disinilah Meisya sekarang, sambil mengusap peluh ia keluar dari kamar.
Menuju ruang tamu untuk melihat jam dinding.

Sudah mau jam setengah enam pagi, namun saat Meisya mengintip dari jendela disamping pintu, belum ada tanda-tanda matahari terbit. Langit masih diselimuti awan malam.

Akhirnya Meisya memutuskan untuk shalat subuh.
Ia akui, shalatnya masih bolong-bolong, terlebih beberapa hari belakangan ia malah tak shalat sama sekali.

Dengan mengenakan kain panjang yang dipakaikan peniti seadanya, dan menjadikannya mukenah, juga memakai sarung yang tadinya berfungsi sebagai selimut, Meisya shalat.

Saat salam, entah kenapa air matanya mengalir deras.

Ia rindu bunda dan ayahnya. Sekarang pasti semuanya panik.

Di kota itu, tak ada tempat ibadah.
Sejak kedatangan mereka kemarin, Meisya sama sekali tak mendengar suara azan.

Semuanya jadi terasa hampa.

.

.

.

Meisya sedang memanaskan air ketika tiba-tiba Ryo datang dengan membawa pentungan.

"Meisya !"seru Ryo kaget.

Meisya pun tak kalah kaget, gelas kaca yang dipegangnya hampir terjatuh.

"Oh, pagi kak Ryo. "

"Apa yang kau lakukan malam-malam begini ?"

"Hah ? Ini sudah pagi, lihat deh keluar. Matahari sudah terbit."

"Memang sih" Ryo menggoyang pentungan di tangannya.

"Tapi kamu masaknya kepagian, kupikir tadi ribut-ribut yang kau buat adalah ulah perampok."

Meisya nyengir.
"Maaf deh udah buat kak Ryo bangun. Tidur lagi aja."

Ryo menguap.
"Gak mau dibantu ?"

"Gak usah"

Ryo segera berbalik tanpa merasa perlu menawar sekali lagi. Toh, dia juga masih ngantuk.

Geun Woo bangun paling awal dari tiga temannya. Ia segera mandi dan menuju dapur begitu wangi masakan tercium.

Di dapur tak ada siapapun, namun sarapan sudah terhidang di meja makan bundar mereka.

Meisya muncul tak lama kemudian dari kamar mandi yang ada di dapur.

Wajahnya terlihat segar dengan baju kaos lengan pendek berwarna abu-abu, dan rok hitam sepuluh senti dibawah lutut.
Juga dengan rambut yang masih dililit handuk.

Ia tersenyum sumringah begitu melihat Geun Woo.

"Yang lain mana kak ?"

"Masih ngorok. "

"Oh. Emh... Apa kita harus menuggu mereka ?" Meisya menarik kursi di samping Geun Woo dan mendudukinya.

"Kalau lima menit belum datang, kita makan deluan aja.
Ngomong-ngomong... Kamu masak semua ini sendirian ?"

"Aku mah sudah biasa begini dirumah." Meisya melepas lilitan handuk di rambut dan menyampirkannya di senderan kursi.

"Bangun jam berapa kamu !? Pasti pas masih gelap."

Muchiven CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang