05. Teratai Dewa Perang

5 5 0
                                    

"Apa ini?"

Zera bertanya bingung saat Helena memberinya sebuah gambar indah berbentuk teratai dengan kelopak yang berbeda warna teoat diatas nadinya.

"Itu simbol perjanjian, agar kau tidak berani berkhianat padaku. Dan juga agar orang-orang disini menganggapmu sebagai salah satu diantara mereka." jelas Helena lalu berjalan ke meja dan meminum air putih.

"Tenang saja, itu akan hilang jika kau kembali ke tempat asalmu" sambung Helena setelah meminum habis airnya. Zera yang masih memperhatikan tato itu mengangkat kepala.

"Kalau perlu tidak usah di hapus, aku menyukainya."

"Terserah kau saja." Helena mengangkat bahu acuh.

Di rumah itu kini hanya ada mereka berdua. Benedict sudah pulang--dipaksa pulang--beberapa menit lalu setelah diancam akan di bakar oleh Helena.

Dan gadis bermata sipit, Zera. Sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang diberikan Helena. Dan barang-barang Zera di simpan di ruanng rahasia milik Helena.

Sebuah gau sederhana kini melekat di tubuh gadus itu. Long dress berwarna merah muda dengan rok yang mengembang dan berlengan pendek. Ada kain panjang menyerupai kain sari di kedua pundak Zera dan tergantung ke belakang hingga menyentuh kaki. Juga alas kaki yang menyerupai sendal sepatu berwarna putih dan bunga kecil sebagai hiasan di bagian depan, senada dengan gambar bunga yang mengelilingi pinggang baju Zera membuat kelangsingan gadis itu tercipta jelas.

"Oh iya terimah kasih bajunya. Aku seperti akan ke pesta pernikahan keluarga kerajaan di Inggris," ucap Zera saay duduk di kursi dekat dengan tempat Helena berdiri sekarang.

Helena tetsenyum sekilas. Padahal baju itu adalah baju untuk bidadari penjaga rumah setiap Dewi, namun dianggap baju kerajaan oleh Zera.

"Tempat apa itu Inggris?"

"Itu, salah satu nama negara di masa depan yang masih menggunakan sistem kerajaan." Zera mengambil sebuah apel hijau di atas meja dan memakannya sebelum menjelaskan.

"Memangnya di negara lain siapa yang memimpin?" Helena ikut duduk di kursi yang berhadapan dengan Zera.

"Presiden,"jawab Zera singkat.

Sebenarnya Helena tidak tahu kata itu namun dia pura-pura mengerti saja. Toh, itu juga tidak ada hubungannya dengan masalah kerajaan, pikirnya.

"Lalu apa nama negeri tempatmu tinggal?"

"Korea. Tepatnya Korea Selatan."

"Negaramu terbagi juga?" Helena kembali bertanya.

"Hanya dua, Selatan dan Utara. Benua kami kecil." Zera kembali menjulurkan tangan mengambil buah apel saat apel pertamanya sudah habis. Sedangkan Helena menggangguk mengerti.

"Di masa depan banyak hal yang berubah, "gumam Helena meski masih di dengar oleh Zera.

"Tidak juga, hanya saja manusia di masa depan sudah tidak memiliki sihir seperti orang-orang disini." Helena mengalihkan pandangannya yang semula fokus pada bola api di tangannya kini menatap terkejut pada apa yang di katakan Zera.

"Lalu bagaimana mereka bisa bertahan hidup, tanpa kekuatan untuk melindungi mereka?"

"Manusia seperti kami sudah punya tata krama dan hukum yang melindungi. Setiap orang sudah memiliki batasannya sendiri. Jadi, kita hidup dengan aturan," Zera menatap sekilas bola api di tangan Helena yang perlahan menghilang saat gadis berambut merah kelam itu mengepalkan tangan.

"Bagaimana dengan makhluk Immortal?, banyak diantara mereka yang abadi. Besar kemungkinan mereka masih hidup hingga zamanmu," Helena melipat kedua tangan di atas meja dan memasang wajah tertarik dengan pembahasan mereka.

"Mungkin masih ada," jawaban Zera yang terlihat ragu-ragu membuat Helena membeo, "Mungkin?"

"Di masa depan, banyak sekali pendapat yang berbeda-beda tentang keberadaan mereka. Sampai-sampai masyarakat luas mengganggap makhluk immortal itu mitos."

Helena menggangguk mengerti. "Tapi kata kakekku mereka ikut berbaur dengan manusia tanpa ada yang tahu identitas mereka. Ada juga yang menyembunyikan diri di dalam hutan yang jauh dari jangkauan manusia," sambung Zera.

                                  ✴✴✴

Benedict mendarat pelan dengan sempurna diatas jalan setapak yang di apit oleh danau teratai putih yang sedang berbunga--tidak, bahkan selalu betbunga.

Para Dewa sebenarnya betanya-tanya bagaimana bisa seorang Dewa pengendali waktu menyukai teratai. Namun Dewa itu hanya selalu menjawab 'Karena Indah' ketika di tanya.

Diujung jalan ada sebuah bangunan istana kecil yang dihuni banyak bidadari penjaga rumah dan tentunya Dewa pengatur waktu.

Setelah bertanya dimana keberadaan Sang Tuan rumah pada salah satu bidadari pembawa bibit penumbuh teratai. Benedict berjalan santai melewati koridor dengan pilar tinggi di sisi kanan yang berhadapan langsung pada sebuah taman bunga teratai.

Sampai pandangannya melihat seorang pria tinggi tengah menatap Benedict datar dengan netra hijaunya.

"Bagaimana kabar... Percintaanmu kawan?" saat tiba di hadapan Sang Dewa berambut hitam panjang itu Benedict bertanya debgan senyum merekah.

"Kau hanya perlu datang ke hari penyatuanku nanti."

"Ya, aku pasti akan datang. Tapi apa salahnya kau meminta bantuan pada Helena agar di pertemukan dengan Dewi cinta. Agar Zeano ku ini tidak lagi mengganggu kemesraanku dengan Helina." ucapan panjang Benedict hanya di balas degusan oleh Zeano.

"Aku tahu bukan hal itu yang membawamu kemari." Zeano berbalik membelakangi Benedict dan menatap lurus pada bunga teratai yang paling besar dari yang lainnya.

"Ada dua pertanyaan yang ingin sekali aku dan Helena tahu. Pertama, atas alasan apa kau membantu seorang gadis manusia dari masa depan ke negeri Aligart? Kedua, ada hubungan apa kau dengannya?"

Benedict berjalan dan berdiri bersebelahan dengan Zeano. Ikut menatap teratai yang mengambang di atas danau hijau di depan mereka, sebari melontarkan maksud kedatangannya.

"Pertama, karena dia butuh bantuanku untuk menyelesaikan skripsinya agar dia bisa lulus dari perkuliahannya. Kedua, dia adalah gadis yang paling penting dalam hidupku," jawab Zeano.

"Alasanmu sama dengan Zera, apa gadis itu yang akan kau bawa ke hari penyatuanmu?" Benedict menopang siku lalu mengusap dagu pelan, memasang tampang seolah berfikir.

"Kau menemuinya?" Zeano berbalik menatap Benedict. Raut khawatir tercipta jelas pada wajah tampan hasil penggabungan gen antara Dewa matahari dan Dewi bulan.

"Helena menemukannya di pinggir hutan perbatasan negeri Aligart dan meminta bantuanku untuk menyembuhkannya, dia terluka cukup parah karena terjatuh dari atas bukit." penjelasan yang di lontarkan Benedict semakin menambah raut khawatir Zeano.

"Kenapa dia seceroboh itu," Zeano mengerang frustasi dan berbalik menatap sendu teratai di hadapannya.

"Zeano, aku hanya ingin mengingatkanmu. Jangan mengulangi perbuatan ayahmu. Jangan sampai bumi kehilangan Dewa pengatur waktunya. Cukup sudah Helena yang menanggung kekuatan matahari. Dan satu hal lagi, jangan kecewakan Dewi bulan," setelah mengucapkannya dengan  sendu Benedict menepuk pelan bahu kanan Zeano sebelum menjauh dan mengepakkan sayapnya.

Benedict berbalik sekilas menatap punggung Zeano lalu terbang tinggi meninggalkan pria yang tak lain adalah sahabatnya mematung dengan tangan terkepal kuat.

"Dia adikku, Ben. Aku tidak akan mengulangi kesalahan besar pria bejat itu."

Ingin sekali Zeano menyuarakan suara batinnya pada sahabatnya Benedict, bahkan seluruh dunia. Tapi dia harus menahannya. Zera tidak salah, kejadian itu karena kesalahan Dewa matahari.

Zera adalah gadis yang harus dirinya lindungi dengan nyawanya. Seumur hidupnya.






Country revenge : ALHEGRA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang