08. Sahabat?

5 5 0
                                    

"Ada hal yang ingin kutanyakan padamu." gerakan Zera yang ingin berdiri dari tempat duduknya terhenti, karena ucapan Helena terdengar serius sama seperti saat Helena membahas soal hubungannya dengan Zeano.

"Apa?"

Helena menarik nafas dalam sebelum menceritakan kembali apa yang dilihatnya dalam mimpi bersama Gravano dan juga janji yang pria itu katakan sebelum mimpi itu berakhir.

"Lalu?" tanya Zera bingung.

"Lalu aku ingin bertanya jika... apa hubungan Helena yang dulu dengan Pangeran Gravano di masa lalu?"

Zera melepas topangan dagunya dan menatap aneh pada Helena. "Kenapa kau bertanya padaku?"

BRAKK!!!

Zera terlonjak kaget dari kursinya saat tiba-tiba Helena berdiri dan menggebrak meja dengn keras.

"Bukan kah kau pernah mengatakan padaku, jika kau tahu banyak tentang Helena bahkan sebelum aku berada pada raga ini. Dan sekarang kau bertanya kenapa aku menanyakan hal itu padamu!!! Manusia sialan!"

Helena berteriak emosi bahkan netra silver- nya di kelilingi garis tipis berwarna merah bara dan juga sulur merah keemasan diujung gaunnya bergerak naik menyelimuti seluruh tubuh Helena.

"He-Helena kumohon tahan emosimu... Lagi pula menurut yang kutahu jika seseorang melakukan transmigrasi ke tubuh orang lain maka, dia juga dapat melihat ingatan orang itu...," pelan Zera menjelaskan berusaha menenangkan Helena yang kini masih berusaha menenangkan diri.

"Aku hanya mengingat ingatan saat Helena berumur lima belas tahun sampai sekarang, aku tidak mendapat ingatan sama sekali tentang masa kecilnya," ucap Helena sebari kembali duduk. Kini sulur itu kembali menjadi motif indah diujung gaun Helena.

"Tapi kau tahu 'kan, jika apa yang di katakan sejarah di tempatku tidak selamanya benar," Zera berucap memelas sebari berhati-hati jikalau Helena kembali tersulut emosi. Emosi Helena benar-benar melebihi amarah kakaknya saat Zeano tahu jika dia pernah bolos saat SMU.

"Apa itu 'transmigrasi'?"

"Jiwamu berpindah pada raga orang lain saat jiwa sebelumnya sudah tiada," jawab Zera dengan mata yang masih mengawasi pergerakan Helena.

Gadis berbibir berisi itu kini tampak biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Aku pernah membaca buku sejarah yang mengatakan jika kalian--maksudku ketiga anak Raja dan Helena dulu sahabat dekat. Tapi mereka tidak pernah bertemu kembali saat Raja mengirim Putera-puterinya ke sekolah pendidikan," sambung Zera kini terlihat lebih tenang meskipun batinnya menggerutu tentang kesantaian sikap Helena.

"Sahabat? Mereka sekaran pasti sudah menganggap Helena musuh."

"Mungkin saja. Siapa tahu mereka tidak tahu jika kau di jadikan pelacur di---"

"Jagan sebut kata itu untukku!" ucapan Zera dipotong cepat oleh Helena dengan datar serta lemparan apel namun ditangkap oleh Zera sebelum mendarat tepat ke wajahnya.

"Terimah kasih. Lupakan tentang pel--kita bahas masalah ketidak tahuan mereka tentang kehidupanmu sekarang, " Zera meralat ucapannya saat Helena mengangkat pisau kecil kearahnya dengan tatapan mengancam.

"Tapi kenapa Gravano mengatakan jika dia akan menjemput Helena jika urusannya sudah selesai?" pertanyaan itu lebih di tujukan pada Helena sendiri namun ditanggapi Zera dengan gelengan tidak tahu.

"Baiklah. Aku ingin pulang sekarang. Aku masih punya urusan penting. Terimah kasih atas jawaban yang sedikit membantu itu." Helena berdiri dari kursinya dan bersiap pergi sebelum suara Zera kembali menghentikannya.

"Sedikit? Aku ingin yang sempurna."

"Aku akan menganggap jawabanmu sempurna jika kau memberitahukan padaku siapa jodohku." Helena berbalik sekilas lalu bersiap pergi dan Zera lagi-lagi bersuara.

"Jika aku mengatakan Gravano jodohmu dan itu benar... Apa yang akan kau berikan padaku?" Zera memainkan kedua alisnya dan senyum menantang pada Helena.

"Bermimpilah. Tapi jika kau benar--dan semoga saja tidak--aku akan mengabulkan satu permintaanmu. Puas?" Helena melipat kedua tangannya di depan dada dengan satu alis terangkat.

"Itu adalah perjanjian kita yang lain selama aku disini." ucap Zera dan menjulurkan tangan kanannya ke Helena.

"Apa ini?"

"Tanda kesepakatan."

Helena mengerutkan kening namun tetap membalas uluran tangan itu meski otaknya berfikir keras jika perbedaan masa lalu dan masa depan sangatlah jauh.

Disini jika berjabat tangan seperti ini hanya di lakukan saat akan ada pembagian kekuatan dan untuk Dewa dan Dewi sebagai salah satu cara melihat apa yang ada di pikiran seseorang tanpa di jelaskan, karena menganggap itu lebih bisa di percaya dari pada sebuah ucapan.

                                  ✴✴✴

Tepat saat Helena sudah sampai ke kamarnya, Madam Victory dan dua pria berambut biru muda dan tua masuk. Sedangkan Helena duduk di tengah ranjang dengan selimut yang menutup kaki hingga pinggangnya.

"Helena Yang Mulia Raja memanggilmu," ucap Madam Victory saat setelah dia sudah berdiri di dekat ranjang Helena.

Helena mengangguk pelan, entah kenapa mendiami raga manusia membuatnya mudah Kelelahan.

Kini Helena sudah mengenakan pakaian yang di letakkan Tabib di dekat ranjangnya.

Rok panjang berwarna kemerahan juga baju berlengan pendek sepinggang. Helena yakin jika dia mengangkat kedua tangannya maka pasti perutnya akan terlihat. Selendang panjang berwarna merah pudar terselampir di bahu kananya.

"Kami akan membantumu," salah satu dari kedua pria kembar itu menjulurkan tangan saat Helena akan beranjak turun.

Helena menatap sekilas pria berambut biru tua itu, Erland. Sebenarnya hatinya menolak keras menerima uluran tangan itu, tapi sekarang kodisinya berbeda. Jika saja dia tidak berpura-pura sakit maka dia tidak perlu menerima uluran tangan itu.

"Terimah kasih,"jawab Helena singkat berusaha agar tidak membuat suaranya terdengar ketus. Kedua tangannya kini di pegang oleh dua orang pria. Erland di kiri dan Edward di tangan kanannya. Andai saja Ellard yang memegang kedua tangannya maka Helena akan sangat bahagia.

Selama perjalan keluar Helena berusaha menebalkan wajah agar terus datar supaya tidak menambah cibiran berbagai jenis dari wanita penghuni Paradise. Berbeda dengan Erland dan Edward yang selalu menatap tajam para wanita yang melayangkan cibiran jelek mengenai mereka.

Di depan gerbang Paradise sudah ada dua buah kuda yang membawa kereta sederhana di belakangnya. Helena dibawa kesana dan ditutup tirai merah gelap. Untung saja dengan itu Helena tidak perlu menjadi bahan cibiran lagi di sepanjang jalan pedesaan.

Sedangkan Erland dan Edward menaiki kuda hitam itu dan memacunya melewati jalanan perumahan warga desa juga pasar tempat berdagang bahan makanan pokok.

Di dalam tandu kereta Helena baru bebas mengeluarkan sumpah serapah yang ditujukan untuk para wanita jalang pencibir dirinya. Bahkan diluar sana masih terdengar suara gemuru bisikan para warga desa karena Helena sudah membuat  suara yang didengar ditelinganya itu tidak akan terdengar jelas. Untung saja dia masih ingat mantranya.

"Menurut pengetahuanku Festival Bulan Purnama Merah masih beberapa bulan lagi lalu untuk apa Raja sialan itu memanggilku. Aku belum menyiapkan rencana sama sekali agar tidak di permalukan seperti itu." ucap Helena kesal sebari menarik-narik bajunya kebawah agar bisa menutup sempurna area pinggangnya.

"Jika bukan karena sandiwaraku, aku tidak akan pernah sudi menggunakan pakaian kekurangan bahan seperti ini!"

Setelah puas memaki Helena memutuskan tertidur sebentar. Perjalan pasti akan sangat panjang jika laju kuda sepelan ini. Di tambah banyaknya penggemar Kembar itu hingga menambah kepelanan laju kuda.

"Huft, semoga hari ini berlalu dengan baik."

Country revenge : ALHEGRA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang