02 - Di manakah Nurani?
Mengapa manusia tidak memiliki rasa kemanusiaan kepada sesamanya?
***
"Nad!"
Nada yang baru selesai mengikat tali sepatunya mendongak. Mendapati seorang laki-laki berseragam SMA menunggang sepeda motor di depan gerbang rumahnya. Gadis itu tersenyum. Lantas beranjak membuka gerbang dan menghampiri lelaki itu.
"Sesuai aplikasi ya, Mas!" ucap gadis itu sembari mengenakan helm.
Cowok itu tergelak, dan langsung tancap gas menuju sekolah.
Namanya Faisal, atau Nada biasa memanggilnya Ical lantaran rambutnya yang ikal. Menjadi supir pribadi Nada pergi dan pulang sekolah sejak bisa mengendarai sepeda motor. Dia satu-satunya cowok yang bertahan lama berteman dengan Nada, lebih tepatnya mungkin tidak ada lagi teman yang sekeren Nada. Menjalin persahabatan sejak TK karena mereka tetangga, yang katanya kalau sahabat laki-laki dan perempuan pasti salah satunya ada yang jatuh cinta. Namun kata Faisal, dia merasa tidak cocok menjadi pasangan Nada.
Jangan dikira Nada adalah pianis yang lembut. Dia sama seperti remaja kebanyakan yang suka petakilan dan rusuh. Waktu SD dia pernah memukul teman sekelasnya yang merusak piano mainannya. Juga pernah merusak rambut perempuan yang sudah membuat Faisal patah hati saat SMP sampai akhirnya tidak ada yang berani mendekati Faisal lagi. Terakhir dua bulan lalu Nada pernah melawan preman yang ingin membegal motor Faisal dengan jurus Taekwondo-nya sampai preman tersebut lari tunggang-langgang.
Banyak yang mencibir jika Faisal cowok cupu yang berlindung di bawah ketiak Nada. Tetapi bagi Faisal, Nada tidak memperlakukannya seakan-akan dia adalah cowok lemah. Ada saatnya Nada membiarkan Faisal menyelesaikan masalahnya sendiri. Nada hanya terlihat garang saat membela keadilan.
***
"Nad, nanti jadi ke Gramed?"
"Nggak tau. Semoga nanti nggak ada pelajaran tambahan."
Belum juga Nada duduk menikmati baksonya, matanya menangkap segerombolan siswa yang sedang menjahili siswa bisu, menyiram kepalanya dengan minuman teh. Ini sudah kedua kalinya Nada pergi ke kantin dan melihat perundungan itu, tetapi para penghuni kantin satu pun tidak ada yang berani membela atau menghentikan aksi gerombolan itu. Seakan-akan tidak ada kejadian apa-apa di depan mata mereka.
Rahang Nada mengeras. Di mana nurani mereka? Bukankah sesama manusia harus saling membantu? Mengapa pihak sekolah tidak memberikan sanksi tegas kepada para pelaku? Bukankah perundungan ini dilakukan di lingkungan sekolah?
Gadis itu tidak tahan jika diam saja. Dia ingin menghentikan semuanya. Namun, lagi-lagi Faisal menghalangi jalannya.
"Lo pasti mau ke sana, kan? Udah gue bilang lo jangan terlibat."
"Ini nih yang bikin bullying jadi merajalela. Nggak ada yang berani melawan. Ada beginian malah pada diam aja."
"Iya Nad, gue tau. Tapi lo juga harus lihat lawan lo siapa. Dia anak kepala sekolah—"
"Kalau gue di DO cuma gara-gara belain dia, gue nggak takut, Cal. Masih banyak sekolah di Jakarta yang mau nerima gue."
"Iya gue tau lo pinter dan berbakat, tapi bukan itu masalahnya, Nad. Gini, lo itu harus punya strategi buat melawan mereka, bukan cuma kekuatan aja. Lo pasti ngerti, kan?"
Nada tertegun. Teringat ucapan ayahnya kemarin. Benar juga apa yang dikatakan Faisal. Urusannya bisa panjang bila tidak dipikir secara matang.
Gerombolan itu mulai meninggalkan siswa bisu yang sudah basah kuyup dan seragamnya sudah berubah warna. Lagi, para siswa yang berada di sekitar siswa itu acuh, bahkan tidak ada yang mendekati untuk sekadar menolongnya. Nada mencelos. Seburuk itukah empati mereka? Setakut itukah mereka dengan gerombolan perusuh tadi?
Semoga saja ayahnya benar-benar datang ke sekolah untuk menuntaskan masalah perundungan ini.
***
Dhira menatap sepedanya yang sudah rangsek di parkiran. Rantai dan roda belakangnya lepas. Bodynya terdapat pecahan telur busuk banyak sekali. Dhira sekuat tenaga menutup indera penciumannya dengan tangan sebelah kanan saat menuntun sepeda tersebut. Sepanjang jalan menuju rumahnya, ketika Dhira melintas ada yang menutup hidungnya.
Dhira tahu ini semua ulah siapa. Akan tetapi, sama saja mau Dhira diam atau berani mengadu, besoknya ia akan mendapat balasan yang lebih besar dari ini. Entah sampai kapan Chiko dan kawan-kawannya akan terus menganggunya.
Sampai rumah, Dhira sudah menebak ibunya pasti akan bertanya dari mana asal bau busuk itu dan kenapa sepedanya bisa rusak. Dhira terpaksa membawa sepedanya dalam keadaan seperti itu karena tidak ada tempat cuci motor yang mau membersihkan, juga bengkel yang mau membetulkan sepedanya.
Sang ibu kemudian mengajak Dhira duduk di teras.
"Coba kamu jujur sama Ibu, siapa yang jahilin kamu? Apa masih orang yang sama?" Sari--ibu Dhira--mencoba membujuknya. Dhira tidak menjawab.
"Dhira kamu dengar suara Ibu, kan?" tanya Sari pelan-pelan tapi memperjelas gerakan bibir dan juga tangannya. Takut jika Dhira memang tidak mendengar suaranya.
Dhira mengeluarkan notes yang biasa ia gunakan untuk berkomunikasi dengan ibunya dari ransel. Ia pun menuliskan jawaban untuk ibunya.
Setelah membaca tulisan anaknya, Sari geram. Benar ternyata masih orang yang sama. Sari mencoba untuk sabar. "Kenapa kamu nggak lawan?"
Dhira kembali menuliskan jawabannya di notes.
Dhira nggak ngelakuin kesalahan apa-apa, kenapa Dhira harus melawan? Lagi pula, Dhira nggak mau cari musuh.
Sari tersenyum lembut. Ia pun meminta notes dan pulpen yang dipegang Dhira. Lalu menuliskan sesuatu di sana karena tidak mungkin diucapkan jika kalimatnya panjang.
Saat kamu diganggu, kamu harus berani melawan. Karena kamu berhak membela tubuh kamu jika dilukai oleh seseorang. Walau kamu tidak melakukan kesalahan sekalipun. Kalau kamu diam, dia akan semakin berani menghancurkanmu. Semua itu berawal dari diri kamu sendiri, Nak.
Dhira membaca tulisan ibunya itu. Lalu menatap wajah ibunya. Sari tersenyum dan mengangguk.
"Lebih baik sekarang kamu mandi, ya. Nanti sepedanya Ibu cuci sebelum Bapak kamu pulang."
Dhira mengangguk patuh. Ia bangkit dan beranjak masuk.
Sepeninggalnya Dhira, Sari mengembuskan napas. Ternyata memasukkan Dhira ke sekolah SMA biasa bukanlah keputusan yang tepat. Padahal ia menginginkan anaknya bisa diterima dengan lapang dada dan bisa bergaul dengan orang non disabilitas karena selama ini Dhira hidup di lingkungan SLB, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sari mau Dhira hidup dengan normal seperti anak seusianya. Sejak masuk ke sekolah itu, Sari belum pernah mendengar cerita menyenangkan dari mulut anaknya, padahal Dhira bukan termasuk anak yang tertutup.
Apa mungkin jika Dhira mengundurkan diri, masalah ini akan berakhir? Bisa saja, selama ini perundungan hanya dilakukan di lingkungan sekolah, lagi pula Dhira masih kelas sepuluh, akan sangat mudah jika ingin pindah sekolah, pikir Sari. Ia seakan mendapatkan angin segar. Besok pagi Sari akan membicarakan hal ini ke pihak sekolah. Semoga pihak sekolah mau memberikan jalan keluar.
🔷🔷🔷
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadhira [END]
Teen FictionWritten by: pesulapcinta Dhira paham, hidup menjadi penyandang disabilitas memang tidak mudah. Caci, maki, hujatan, perundungan yang dilakukan Chiko sudah menjadi makanan sehari-hari. Memiliki cita-cita yang tinggi hanya omong kosong, terutama bagi...