Separuh jiwaku pergi dan tak akan pernah kembali
***
Samsul diam-diam mengamati anaknya di dekat gerbang sekolah. Ia ingin tahu sebenarnya Dhira dibawa ke mana oleh ibunya. Anak itu tak akan lolos dari jeratannya.
Pukul dua siang, satu persatu siswa dan siswi keluar dari gerbang. Samsul menajamkan penglihatannya. Beberapa saat kemudian Dhira muncul, dan ada sebuah mobil menghampirinya. Dhira memasukin mobil tersebut. Melihat siapa yang menyetir mobil tersebut, Samsul geram. Ia membonceng motor lantas menyuruh tukang ojeknya mengikuti mobil itu.
Mobil berhenti di sebuah rumah mewah. Samsul turun dari motornya saat Dhira juga keluar dari mobil tersebut.
"Dhira!"
Dhira tampak terkejut setelah melihat bapaknya berhasil sekarang mengetahui keberadaannya. Cowok itu ketakutan.
Samsul kemudian mencengkeram tangan Dhira. "Bapak tahu ibu kamu pasti sembunyiin kami di sini. Sekarang, ayo ikut Bapak pulang!"
Dhira menggeleng. Sekuat mungkin ia mencoba melepaskan diri dari jeratan pria itu. Ia tak mau dikurung lagi.
"Mas Samsul lepaskan tangan Dhira!" seru Sinta yang juga mulai ketakutan.
"Heh, kamu jangan ikut campur! Ini urusan aku sama Dhira."
"Ini juga jadi urusan aku. Karena Mbak Sari sudah menitipkan Dhira di sini."
Karena Samsul tak kunjung mengalah, para security mulai berdatangan setelah dipanggil oleh Sinta. Satu orang security menarik Samsul agar melepaskan cengkeramannya dari tangan Dhira.
"Bapak sebaiknya pergi dari sini sebelum saya bawa bapak ke jalur hukum karena telah membuat keributan," ujar security.
Samsul gusar. Ia kemudian pergi bersama tukang ojeknya. Sepeninggal bapaknya, perasaan Dhira mulai tidak enak. Ia memikirkan ibunya yang ada di rumah. Hatinya berkata untuk segera menyusul Samsul pulang.
Farhan, suami Sinta datang setelah mendengar insiden tersebut dari istrinya.
"Mas, Samsul sudah tahu kalau Dhira ada di sini. Kita harus gimana? Aku takut Dhira kenapa-napa." Sinta mendesak suaminya.
"Mas juga bingung."
"Eee ...." Dhira menggerakkan kedua tangannya. Sinta memperhatikannya. Setelah menangkap apa yang dikatakan Dhira melalui bahasa isyaratnya, Sinta menatap suaminya.
"Dhira benar, Mas. Mbak Sari sekarang lagi terancam! Ayo kita pergi, Mas!"
***
Samsul pulang dalam keadaan emosi yang sudah berada dipuncak. Sari sendiri juga baru saja pulang dari pasar lalu meletakkan belanjaannya di dapur, terkejut melihat Samsul.
"Sekarang aku sudah tahu kamu sembunyikan Dhira di mana. Cepat bawa anak sial itu pulang!"
"Aku nggak mau, Bang!"
"Jangan melawan kamu!"
"Aku nggak akan bawa Dhira pulang, Bang! Aku nggak akan rela Dhira dikurung lagi sama Abang. Dia anak kamu, Bang! Anak yang pernah Abang tunggu kehadirannya."
"Aku nggak pernah nunggu kehadiran anak cacat! Kamu tahu, sejak aku nikah sama kamu, hidupku jadi sial!"
"Abang pikir cuma Abang doang yang sial? Aku juga, Bang. Gara-gara nikah sama Abang, aku jadi jauh dari orang tua. Karirku turun, hidupku hancur! Sekarang Abang pengangguran, judi terus, hidup nggak jelas, bisanya cuma minta duit sama istri. Aku capek, Bang! Kalau Abang nggak bisa berubah juga, Abang nggak bisa nerima Dhira, mendingan kita cerai aja! Aku mau cerai!"
Samsul menatap tajam istrinya. Kata cerai akhirnya keluar dari mulut Sari. Namun, Samsul tidak rela diceraikan. Sumber uangnya akan hilang jika Sari menceraikannya. Samsul yang sudah dikuasai oleh setan dengan gerakan cepat tangannya mengambil cobek yang berada di dekatnya. "Berani kamu minta cerai? Istri durhaka, Rasakan ini!"
Menggunakan cobek itu, Samsul memukul kepala Sari dengan keras. Erangan kesakitan dan minta pertolongan lolos dari bibir tipis Sari, perempuan itu tak dapat menghindari serangan suaminya. Pukulan terus datang bertubi-tubi hingga tubuh perempuan itu ambruk. Darah segar mengalir dari kepala Sari. Tubuhnya kejang-kejang.
Melihat tubuh istrinya terkulai lemas di lantai, Samsul bergetar hebat. Cobek yang terdapat bercak darah jatuh dari tangannya. Ketakutan mulai menguasai tubuh pria itu. Napasnya memburu. Saat itu juga Sinta, Farhan dan Dhira datang.
"Astagfirullah, apa yang kamu lakukan, Bang?!" seru Sinta.
Samsul yang ketakutan beringsut pergi melalui pintu belakang.
Tanpa menunggu waktu lama, Sari akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Namun, setibanya di sana nyawa Sari tidak tertolong karena banyak kehilangan darah dan benturan keras yang banyak. Sinta pingsan setelah mendengar kabar tersebut.
Dhira mendekati tubuh ibunya yang sudah dimandikan oleh petugas rumah sakit. Apa yang ditakutinya kini terjadi. Ibunya mendapatkan perlakuan kasar dari bapaknya dan tidak ada orang yang menolong. Kini Sari telah menutup mata untuk selamanya. Separuh jiwanya telah pergi.
***
Sementara Nada kebingungan Dhira tidak datang juga ke rumahnya. Padahal guru pelatih Dhira sudah datang setengah jam yang lalu.
"Papa punya nomor ponsel Tante Sari, kan? Coba ditelepon dong."
"Kan sekarang Dhira lagi nggak satu rumah sama ibunya, sayang."
"Oh iya."
Nada yang cemas terus menatap layar ponselnya. Chat untuk Dhira sejak tadi masih centang dua abu-abu. Apa mungkin ponselnya tertinggal? Apa sekarang Dhira sedang terjebak macet?
Lima belas menit kemudian, ponselnya berdering. Faisal yang meneleponnya. "Halo, Cal?"
"Nad, lo nggak buka grup sekolah apa? Ada berita duka!"
Nada mengernyit. Kenapa Faisal tiba-tiba bertanya seperti itu? Ia memang jarang membuka grup chat sekolah. Isinya tidak jauh dari gosip-gosip yang sedang hangat di sekolah. "Emang ada berita duka apaan?"
"Fix ternyata lo belum buka chatnya. Ibunya Dhira meninggal dunia gara-gara dicelakai sama bapaknya Dhira. Lo tau nggak sih beritanya lagi hangat? Dhira jadi bahan omongan di grup!"
Nada membeku di tempat. Telinganya mendadak tuli saat itu juga. Jadi ini alasannya kenapa Dhira tidak datang juga ke rumahnya?
"Nad? Nad? Lo masih denger gue kan?"
***
Satu jam kemudian Nada dan Wisnu datang ke rumah Dhira. Tenda berwarna putih terpasang dan masih ramai dikunjungi warga setempat yang melayat. Sedangkan di dalam, ada jasad Sari yang disemayamkan, di kelilingi keluarga termasuk Dhira.
Nada duduk di dekat pemuda itu. Kesedihan tampak sekali dari wajah Dhira. Tatapannya kosong. Nada tak bisa membayangkan betapa hancurnya Dhira melihat kenyataan bahwa malaikat maut datang menjemput ibunya melalui perantara suaminya sendiri.
Malam itu juga Sari dikebumikan. Yang membuat terharu Dhira turut membantu warga menurunkan jenazah ibunya ke liang lahat. Dengan cahaya temaram lampu senter keluarga dan juga warga mendoakan agar amal ibadah dan perbuatan Sari diterima oleh Allah. Lalu prosesi dilanjutkan dengan menabur bunga di atas gundukan tanah.
"Baru sebentar kita ketemu, Tante. Sekarang kita harus terpisah jauh sekali. Tante nggak usah khawatir, di sini Dhira banyak yang jaga," gumam Nada. Setelah itu menaburkan bunga. Sari sudah tenang di sana. Penderitaannya telah berakhir. Meski harus meninggalkan luka di hati anaknya.
🔷🔷🔷
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadhira [END]
Teen FictionWritten by: pesulapcinta Dhira paham, hidup menjadi penyandang disabilitas memang tidak mudah. Caci, maki, hujatan, perundungan yang dilakukan Chiko sudah menjadi makanan sehari-hari. Memiliki cita-cita yang tinggi hanya omong kosong, terutama bagi...