Melihatmu terluka, aku seperti seseorang yang hilang akal.
***Dhira membuka matanya setelah beberapa jam pingsan. Ia terkejut saat tubuhnya diikat pada kursi, mulutnya tertutup lakban, dan terkurung di sebuah tempat kumuh yang penuh dengan tumpukan kain. Dhira tak bisa bergerak sama sekali kecuali kepalanya. Ia mengedarkan padangannya ke segala arah. Berteriak minta tolong pun tak mampu.
Siapa yang tega menculiknya? Motifnya apa? Kenapa harus dirinya? Pikiran Dhira terus berkecambuk. Kemudian semakin tak karuan saat Tuhan menjawab pertanyaannya dengan mendatangkan Chiko dan ... Samsul.
Dhira terbelalak. Sejak kapan Samsul kenal dengan Chiko? Apa jangan-jangan Samsul tidak bisa ditemukan polisi karena berkat bantuan Chiko?
"Anak bapak sudah bangun? Hm?" Samsul berdiri di dekat Dhira. Dhira bergidik ketakutan. Sekarang sudah tidak ada Sari yang membelanya. Dhira harus menyelamatkan dirinya dengan usaha sendiri.
"Kasian ya nggak bisa teriak. Mau minta tolong sama siapa, lo-nya aja nggak bisa ngomong." Chiko bersuara. Lalu setelahnya tawa dari kedua laki-laki beda usia itu meledak.
Dhira memejamkan kedua matanya. Dalam hati ia berdoa, berharap ada seseorang yang mengetahui keberadaannya. Atau mati saja bagi Dhira tidak masalah. Mungkin dengan dirinya pergi dari dunia ini, masalahnya akan cepat selesai.
***
Wisnu cemas anaknya belum pulang juga sampai petang. Berkali-kali menghubungi ponsel Nada, tetapi jawabannya sama saja dari operator wanita. Faisal, teman Nada sekaligus tetangganya juga ikut bingung kenapa Nada belum pulang dan tidak bisa dihubungi.
"Maaf ya Om tadi Nada nggak pulang bareng saya. Soalnya saya ada rapat."
"Nggak papa, Faisal. Om maklumi kok."
Faisal teringat ajakan Nada untuk mencari Dhira yang hilang karena diculik. "Saya curiga kalo Nada nekat cari Dhira sendirian."
Wisnu mengembuskan napas. "Saya juga mikir seperti itu. Nada ini persis seperti Almarhumah mamanya. Selalu nekat."
"Kita minta bantuan polisi aja Om biar cepat ketemu."
"Nada belum hilang 1x24 jam, polisi mana mau bantu?"
"Iya juga ya, Om."
***
Nada masih setia di tempatnya, menunggu Chiko dan Samsul pergi. Meski hawa dingin mulai menusuk sampai tulang. Beberapa kali Nada mengusap badannya. Ia menyesali tidak membawa jaket.
Ketika waktunya tiba, dirasa sudah aman, Nada menyelinap masuk. Mengendap-endap seperti tadi. Tak lupa Nada mengaktifkan ponselnya dan mengirimkan share location ke papanya. Dhira yang melihat kedatangan Nada terbelalak kaget. Dari mana Nada tahu tempat ini?
Dengan cekatan Nada mulai melepaskan ikatan pada tubuh cowok itu, juga lakban yang menutupi tubuhnya. Begitu ikatannya terlepas, Nada membantu Dhira berdiri.
"Kamu pegang tangan aku terus ya. Kita cepetan lari dari sini."
Mau tak mau Dhira mengangguk. Setidaknya Tuhan sudah menjawab doanya, meski ia jadi khawatir Nada akan terjadi apa-apa setelah ini.
Belum sempat melangkah meninggalkan tempat biadab itu, Chiko dan Samsul datang. Nada kemudian pasang badan di depan Dhira.
"Wah hebat juga lo bisa sampai sini." Chiko menyeringai. "Mau jadi pahlawan?"
Chiko maju. Nada dan Dhira melangkah mundur. Ketika Chiko hendak memegang tangannya, Nada segera memberi tendangan di bagian betis hingga Chiko terhuyung.
"Wah lu cewek tapi boleh juga." Samsul merasa tertantang lalu mengambil alih. Ia melayangkan pukulan ke arah Nada tapi segera ditangkis. Nada mengunci tangan Samsul kemudian mendorong tubuh itu ke lantai. Samsul tidak menyerah, ia bangkit dan mulai pasang kuda-kuda. Namun, lagi-lagi Nada berhasil menangkis pukulan Samsul. Terlihat napas gadis itu terengah-engah. Untuk ukuran tenaga perempuan, Nada cukup kuat. Pasti gadis itu sudah belajar bela diri sebelumnya, pikir Samsul.
Nada masih gentar berdiri di depan Dhira. Namun, perasaan Dhira mulai tidak enak ketika ekor matanya menangkap Samsul sedang mengeluarkan pisau lipat dari dalam jaketnya. Pisau terbuka dan mulai berjalan mengarahkannya ke Nada. Dhira berlari cepat sebelum pisau tersebut melukai Nada dan kemudian pisau tersebut tertancap di perutnya. Tubuh cowok itu ambruk seketika.
"DHIRA!"
Tubuh Samsul bergetar hebat saat melihat pisau itu menancap di perut anaknya. Darah segar mulai mengucur. Ini kedua kalinya ia mencelakakan orang terdekatnya. Kenyataan yang menyakitkan, bukan? Belum lama ini Samsul berhasil menghilangkan nyawa istrinya, sekarang ia akan kehilangan anak semata wayangnya.
Berhentilah berkata seperti itu, Bang! Dhira anak kamu, anak kita! Dia terlahir seperti itu bukan kehendak kita, Bang! Berdamailah dengan keadaan.
Kalau Abang nggak mau nerima Dhira sebagai anak Abang, nggak papa. Aku ikhlas, Bang. Tapi jangan halangi impian dia, Bang. Dhira juga manusia biasa yang berhak hidup di dunia ini. Jangan Abang larang dia.
Samsul mendadak pusing. Ucapan Sari tiba-tiba teringang di kepalanya. Sekarang dengan tangannya sendiri, impian anak itu ia bunuh. Hingga suara sirine polisi membuat kepalanya makin berdenyut.
***
Bercak merah mulai mendominasi warna putih pada pakaian yang dikenakan Dhira. Bau anyir menguar. Bercampur dengan keringat. Nada masih setia di sampingnya. Tangisnya belum berhenti sejak ia keluar dari gudang sampai ambulans berjalan menuju rumah sakit. Pertolongan pertama sudah dilakukan, tetapi tidak cukup menyumbat cairan darah yang terus mengalir dari perut lelaki tersebut. Perawat memasang masker oksigen pada mulut lelaki itu.
Kelima jari mereka saling bertautan. Rasa bersalah kian menggerus kepala gadis itu melihat laki-laki yang berbaring di atas brankar bertarung antara hidup dan mati. Meski Samsul dan Chiko sudah dibekuk polisi, tetapi Nada masih tidak rela jika pelaku diperlakukan seperti manusia pada umumnya. Samsul dan Chiko harus dihukum seadil-adilnya.
Tiba di rumah sakit, Dhira langsung diberikan penanganan. Nada tidak bisa masuk mendampingi cowok itu. Ia menyadarkan tubuhnya ke dinding, lalu menatap kedua tangannya. Harusnya dengan tangan ini, Nada bisa menyelamatkan Dhira dari pisau itu.
Nada kian tergugu saat Wisnu dan Faisal datang. Disusul Sinta dan Farhan. Nada langsung menghamburkan tubuhnya ke pelukan Wisnu.
"Gara-gara aku Dhira jadi begini, Pa ...."
"Nggak sayang, bukan salah kamu." Wisnu mengusap rambut lurus putrinya. Mencoba menenangkan.
Pintu terbuka. Seorang suster keluar dari ruangan itu. Nada mengurai pelukannya.
"Pasien butuh donor segera karena banyak kehilangan darah. Tapi stok di rumah sakit ini sedang habis. Kami sudah menghubungi PMI dan kebetulan stok di sana juga habis."
"Golongan darah Dhira apa, Sus?" tanya Wisnu.
"A rhesus negative."
"Golongan darah Dhira memang langka, Mas," kata Sinta.
Nada kemudian menghampiri Faisal. Cowok itu menelan ludah. Ia tahu apa akan Nada katakan padanya.
"Golongan darah lo ... sama kayak punya Dhira. Lo mau kan Cal bantuin Dhira demi gue?"
Faisal mengembuskan napas. Kemudian mengangguk. Setelah itu ia ikut bersama Suster tadi untuk diambil darahnya.
🔷🔷🔷
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadhira [END]
Teen FictionWritten by: pesulapcinta Dhira paham, hidup menjadi penyandang disabilitas memang tidak mudah. Caci, maki, hujatan, perundungan yang dilakukan Chiko sudah menjadi makanan sehari-hari. Memiliki cita-cita yang tinggi hanya omong kosong, terutama bagi...