Tuhan membungkam pita suara kamu agar tidak digunakan untuk berkata dusta.
***
Pukul lima pagi. Laki-laki paruh baya membawa ayam jago melangkah sedikit sempoyongan akibat pengaruh alkohol. Matanya menyipit ketika melihat pintu kamar Dhira yang sedikit terbuka.
"Sari! Sari!" teriaknya melengking memanggil Sari yang pasti sedang di dapur pagi ini.
"Sari!"
"Bang, jangan teriak. Kasihan kuping tetangga denger suara Abang." Sari datang dengan penampilan khasnya, yaitu celemek melekat pada tubuhnya, lalu rambut dicepol menggunakan jepitan.
"Di mana anak itu? Kamu sembunyikan di mana dia?!"
"Aku nggak akan kasih tau Abang."
"Berani kamu sama Abang! Di mana dia?"
"Dhira sudah berada di tempat yang aman, Bang. Aku nggak akan kasih tau."
"Brengsek!" Samsul membanting radio kecil yang terletak di dekatnya.
Sari bergidik. Ia berjalan mundur. Ingin menghindar dari amukan suaminya. Namun, terlambat. Samsul berhasil mencekal tangannya kemudian menjambak rambutnya. Sari mengerang kesakitan.
"Ini balasan buat istri yang berani melawan suaminya!"
"Sakit, Abang!"
"Di mana Dhira sekarang?"
"Aku nggak akan kasih tau."
Samsul semakin memperkuat cengkeramannya. Sampai Sari mengeluarkan air mata akibat menahan perih yang tak terkira.
"Woy bajingan! Lu apain bini lu?!"
Satu persatu tetangga dekat mulai berdatangan. Samsul kelimpungan. Aksinya kini ketahuan.
"Lu kalo mau ribut jangan di mari. Di lapangan sana! Ganggu ketenangan pagi-pagi tau nggak!" kata ibu-ibu berdaster cokelat.
"Nggak usah ikut campur urusan rumah tangga orang! Mau gue santet lu?"
"Eh gue berhak ikut campur karena lo udah ganggu ketenangan gue. Gue bawa hp sekarang, gue panggil polisi biar tau rasa lo."
Mendengar kata polisi, tentu saja Samsul ketakutan. Apalagi begitu melihat ibu-ibu itu menekan layar ponselnya. Samsul tidak mau dipenjara.
Samsul menghempaskan tubuh istrinya ke lantai. Kemudian beranjak pergi entah ke mana.
"Cemen lu. Beraninya cuma sama perempuan," hardik ibu-ibu itu.
Sari bangkit. Merapikan rambutnya yang berantakan. Kemudian mencoba tersenyum di hadapan tetangganya.
"Maafkan kami yang sudah mengganggu," ujar Sari tulus, menekan rasa malu karena pertengkarannya disaksikan oleh para tetangga untuk kesekian kalinya.
"Lu tuh mending cerai aja ama suami lu. Suami gak tanggung jawab gitu masih aja dipertahanin," sahut ibu-ibu itu.
Sari tersenyum tipis. Memilih untuk tidak menanggapi ucapan ibu-ibu tersebut. Jika cerai semudah orang mengucapkannya, Sari tidak akan berjuang sejauh ini.
***
Sementara itu di rumah Sinta, Dhira diperlakukan dengan baik. Anak-anak Sinta yang sudah merantau itu membuatnya dan suami bahagia dengan kehadiran Dhira.
Dhira pun merasa nyaman tinggal di rumah ini. Tante dan Om-nya begitu memperhatikannya. Seperti pagi ini, pasangan suami istri itu sedang meributkan siapa yang mengantarkannya ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadhira [END]
Teen FictionWritten by: pesulapcinta Dhira paham, hidup menjadi penyandang disabilitas memang tidak mudah. Caci, maki, hujatan, perundungan yang dilakukan Chiko sudah menjadi makanan sehari-hari. Memiliki cita-cita yang tinggi hanya omong kosong, terutama bagi...