Faisal sangat mengenali karakter Nada apabila sedang penasaran dengan sesuatu. Gadis itu akan mengorek lebih dalam atau mencari tahu lebih banyak demi memuaskan hasrat penasarannya ini. Dan itu yang sedang dilakukan Nada sekarang kepada Dhira.
Saat Nada mengatakan tidak bisa pulang bersama karena ada Dhira, Faisal sudah mencium aroma yang tidak enak. Bukan cemburu, tapi Faisal lebih mengkhawatirkan nasib Nada selanjutnya apabila tingkahnya ketahuan Chiko beserta komplotannya.
"Nad, lo yakin?"
Nada jengah. Ini sudah ketujuh belas Faisal bertanya hal yang sama. "Gue cuma bantu dia doang. Nggak usah lebay deh."
"Gue bukannya lebay, cuy. Tapi ini masalahnya udah sampai ke—"
"Anak kepala sekolah." Nada memotong ucapan Faisal. "Cal, kalo emang lo temen gue harusnya lo dukung gue dong."
Faisal mendengkus. Ia lupa kalau Nada lagi penasaran, akan jadi anak keras kepala. "Ya udah terserah lu aja dah. Gue nurut ae."
Sejurus kemudian jemari Nada mencubit gemas pipi Faisal, lengkap dengan senyum tercetak jelas di pipinya. "Nah gitu dong."
"Ya udah sana, samperin tuh si Gagu."
Nada melotot. "Dia punya nama, bege!"
"Ya maap. Maksudnya Dhira."
Nada mengeluarkan ponselnya. Segera mengirimkan pesan singkat kepada Dhira.
"Ya udah Nad, gue duluan ya. Take care!"
Nada hanya mengangguk, karena pandangannya fokus ke layar gawai di genggamannya. Faisal mengacak rambut gadis itu lalu pergi.
Walau sebenarnya Faisal merasa tidak enak setelah mendengar desas-desus tentang Nada.
***
Dhira merapikan kerah seragamnya sebelum mencangklong ransel. Entah mengapa ia ingin terlihat rapi di hadapan Nada dan juga ayah gadis itu. Sedikit tahu tentang beliau, seorang komposer yang sudah keliling dunia. Hal itu menjadikannya salah satu inspirator Dhira dalam bermain musik. Usai membaca pesan dari Nada, hati dan pikirannya mendadak tak sinkron. Jantungnya bertalu-talu seakan ingin keluar dari sarangnya. Ah ternyata begini rasanya bertemu sang idola.
Gadis penghantar mimpi kecilnya itu datang. Sontak Dhira menarik senyum di sudut bibirnya.
"Hai."
Dhira mengangguk.
"Udah ada taksi online yang nunggu kita. Ayo!"
Entah disengaja atau tidak, Nada mengamit tangan Dhira agar bisa cepat sampai di pintu gerbang sekolah. Fisik saling bersentuhan jelas membuat Dhira terbang ke awang-awang.
Sampai di sana, Nada yang menyadari dirinya telah lancang itu segera melepas tangannya. Kedua pipinya bersemu merah, entah apa penyebabnya. Nada kemudian mempersilakan Dhira masuk mobil lebih dulu.
Kedekatan Nada dan Dhira tak luput dari penglihatan Chiko. Cowok itu geram, tak terima kalau Dhira dekat dengan sang primadona sekolah.
***
Taksi berhenti tepat di depan pintu masuk rumah bergaya eropa itu. Nada dan Dhira turun.
Dhira menatap takjub saat melihat pintu gerbang tiba-tiba terbuka lebar, seakan mengetahui bahwa sang pemilik rumah ingin masuk. Apakah rumah orang kaya semuanya seperti ini?
Nada berjalan terlebih dahulu. Dhira mengikutinya di belakang seraya memainkan jemarinya. Ia gugup, sungguh. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan papanya Nada.
Sempat melewati beberapa lorong, akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan studio yang di dalamnya penuh berbagai macam alat musik gitar. Di tengah ruangan, ada piano berukuran besar berdiri kokoh di sana. Seorang pria paruh baya duduk di depan piano tersebut. Kepalanya menoleh, lalu berdiri.
"Jadi ini Dhira yang sering kamu ceritakan? Menarik."
Dhira tidak mendengarnya secara jelas. Namun, tak sengaja matanya melirik wajah Nada yang bersemu merah.
Pria yang Dhira yakini papanya Nada mendekat. Dhira menunduk dalam. Gugup mulai menyerangnya lagi. Di situasi seperti ini Dhira bersyukur dilahirkan tidak bisa bicara. Kata Sari kalau sedang gugup, manusia akan sulit mengeluarkan suara.
"Nada, bagaimana caranya Papa komunikasi sama dia?"
"Pakai notes, Papa. Atau biar aku yang jadi perantara."
"Baik." Papa melirik Dhira sebentar. "Nada, Papa pengin melihat dia main biola."
Nada segera menyalin ucapan Papa menjadi tulisan di ponselnya. Kemudian menyodorkannya ke Dhira. Melihat reaksi Dhira, Nada tersenyum. Ia mengambil biola di dekat piano, sepertinya sengaja disiapkan Papa. "Papa mau lihat kamu main biola, sebentar aja."
Dhira memperhatikan gerak bibir gadis itu. Diambilnya biola itu dengan ragu. Lalu menatap wajah Nada dan papanya bergantian.
Dhira memasang badan biola di bahu kirinya, dan mulai menggesek senarnya. Lagu 'Bunda' Melly Goeslaw yang Dhira pilih. Seketika tubuh Nada menegang. Lagu yang dipilih Dhira mengingatkannya kepada mama yang sudah pergi menghadap Sang Kholik terlebih dahulu.
"Bagus!" Papa bertepuk tangan sebentar. "Sekarang, saya mau lihat kalian berkolaborasi."
Dhira dan Nada saling pandang. Terlebih Nada, setengah tidak percaya papanya akan menyuruhnya berkolaborasi. Papa tidak pernah sembarangan mencari teman kolaborasi anaknya.
Nada duduk di depan pianonya. Dan memulai instrumen pertama lagu Bunda. Lalu disambung oleh Dhira. Papa sangat menikmati kolaborasi itu.
***
Di sisi lain, Sari pulang dengan wajah semringah. Letihnya sirna. Tadi ada seorang pelanggan kateringnya memberikan brosur guru les biola. Rencananya Sari akan mendaftarkan Dhira ke sana.
Sari yang serius membaca brosur tersebut tiba-tiba ada yang merebutnya. Sari menoleh. Mendapati suaminya yang sedang membaca sekilas brosurnya. "Kembalikan, Bang!"
Alis Samsul naik ke atas. "Kembalikan?" Bukannya dikembalikan, Samsul malah merobek kertasnya.
"Bang! Kenapa disobek?" Sari tercekat. Matanya nanar menatap serpihan kertas brosurnya yang bertebaran di lantai.
"Kamu masih nanya kenapa? Dengar Sari, anak itu nggak usah kamu manjain. Nanti dia malah ngelunjak."
"Memang salah kalau aku mau membahagiakan anak kita—"
"Anak kamu, bukan anak saya!"
"Berhentilah berkata seperti itu, Bang! Dhira anak kamu, anak kita! Dia terlahir seperti itu bukan kehendak kita, Bang! Berdamailah dengan keadaan."
"Damai? Seandainya kamu nurut sama aku, seandainya dulu kamu resign sejak awal kehamilan, mungkin anak bisu itu nggak akan lahir ke dunia ini."
"Cukup, Bang! Kenapa sih Abang selalu menghakimiku dengan masa lalu?" Sari terisak. Bahunya bergetar hebat akibat tangisnya. Memang Sari akui dulu ia tidak menuruti perintah suaminya. Sarah akui ia dulu lebih memilih berkarir daripada diam di rumah.
Bukan hanya Samsul yang berkata seperti itu. Dulu saat Dhira divonis bisu, orang tua juga mertuanya kompak menyalahkan Sari. Para tetangga mulai memandang Dhira sebelah mata. Melarang anak-anaknya bermain dengan Dhira. Dunia seolah menyudutkannya. Bahkan tidak memberikan ruang sedikit saja untuk bernapas lega.
"Kalau Abang nggak mau nerima Dhira sebagai anak Abang, nggak papa. Aku ikhlas, Bang. Tapi jangan halangi impian dia, Bang. Dhira juga manusia biasa yang berhak hidup di dunia ini. Jangan Abang larang dia."
Sari muak. Dunia harus mengakui keunggulan anaknya. Walau ada Samsul yang menghalanginya. Ia yakin, Dhira-nya mampu bersuara dengan caranya sendiri.
🔷🔷🔷
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadhira [END]
Ficção AdolescenteWritten by: pesulapcinta Dhira paham, hidup menjadi penyandang disabilitas memang tidak mudah. Caci, maki, hujatan, perundungan yang dilakukan Chiko sudah menjadi makanan sehari-hari. Memiliki cita-cita yang tinggi hanya omong kosong, terutama bagi...