07 - Merakit Luka

119 20 0
                                    

Tuhan, mengapa Kau tidak menurunkan malaikat pencabut nyawa untukku?

***

Hidangan makan siang berjejer rapi di meja. Aromanya menusuk hidung Dhira. Ia dijamu dengan baik oleh salah satu pelayan di rumah Nada. Sejujurnya, ia merasa tidak enak diperlakukan bak anak raja, padahal hanya sebatas tamu yang singgah sementara. Dhira sudah menolaknya, tetapi perkataan papanya Nada tak bisa dibantah.

Mendadak Dhira teringat dengan Sari. Apakah Sari sudah makan? Atau jangan-jangan masih berjibaku dengan panasnya matahari. Sudah pukul dua siang, apa ibunya sedang menunggu Dhira pulang?

"Ayo dimakan."

Suara Nada mengembalikan Dhira dari lamunannya. Segera cowok itu mengambil sendok dan garpu lalu menyantap nasi yang sudah dilumuri kuah sop. Ia harus menghabiskan makanannya agar bisa pulang.

Makan siang berakhir. Dhira pamit pulang dengan mengirim chat ke Nada. Namun, tanpa diduga Nada memanggil supir pribadinya untuk mengantarkan Dhira pulang.

Dhira menggeleng. Hendak menolak. Akan tetapi, papanya Nada mengizinkan sang supir mengantarkannya sampai rumah. Kalau sudah begini, satu-satunya cara agar bisa cepat pulang adalah menerima tawaran keluarga musisi itu.

***

Berkat bantuan Google Maps, supir pribadi Nada berhasil mengantar Dhira ke rumah.

Dhira melangkah masuk. Pemandangan pertama kali yang ia lihat adalah kedua orangtuanya sedang adu mulut. Sudah biasa, Dhira tidak kaget lagi. Definisi keluarga bahagia memang tak pantas disandangnya. Ada saja yang diributkan ayah dan ibunya, yang paling sering karena keuangan.

Ibunya pernah cerita, dulu ia adalah seorang wanita karier yang menduduki posisi tertinggi di sebuah perusahaan. Dulu hidupnya serba cukup. Mau main ke mall tak pusing memikirkan akan habis berapa. Juga sering ke salon untuk merawat kecantikannya. Namun, setelah menikah, karier Sari merosot lantaran Samsul tak henti menyuruhnya berhenti bekerja. Hingga karier Sari benar-benar sirna setelah melahirkan. Samsul bukannya membangkitkan perekonomian keluarga, malah memperparah keadaan dengan selalu ikut judi ayam. Sari baru mengetahui kebiasaan buruk suaminya itu setelah menikah. Kini, wajah cantik yang selama ini dibanggakan sudah tak berseri lagi. Waktunya habis untuk memikirkan bagaimana caranya agar bisa makan esok hari.

Dhira tidak mengerti mengapa Sari mau menerima Samsul yang bekerja sebagai pelayan restoran. Bahkan sampai Samsul dipecat dan sekarang jadi pengangguran pun Sari masih menerimanya. Jika alasan Sari bertahan karena dirinya, tentu Dhira tidak akan ikhlas. Ibunya berhak bahagia, dan menurut Dhira, Sari harus pergi dari hidup Samsul. Ayahnya itu tak pantas diperjuangkan.

Sungguh kejam dunia ini, saat mencari nafkah yang seharusnya menjadi tugas Samsul malah semua dilimpahkan ke Sari. Seharusnya Samsul menjadi tempat berlindung istri dan anaknya justru menorehkan banyak luka. Seharusnya Samsul menjadi teladan tapi justru menjadi momok yang menakutkan bagi Dhira. Tuhan seakan sudah menandainya untuk menjadi makhluk yang paling sengsara di dunia.

Dhira mengetuk pintu, hendak mencairkan suasana. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Samsul menatapnya tajam kemudian menyeret tubuh Dhira dengan bringas. Bahkan Samsul tega mendorong anaknya hingga terbentur tepi ranjang. Teriakan dari Sari tak dihiraukan.

"Kamu emang anak sial! Kenapa harus lahir ke dunia ini, hah?!"

Samsul menendang tubuh ringkih Dhira. Melampiaskan amarahnya. Sari kian histeris.

"Cukup Abang! Dhira nggak salah!"

Setelah amarahnya tersalurkan, Samsul mengambil anak kunci dari lubangnya. Lalu menyeret Sari keluar dan mengunci pintu kamar Dhira dari luar.

"Kenapa Abang kunci pintunya? Nanti bagaimana kalau Dhira lapar? Dia butuh makan!"

"Aku nggak peduli. Justru kalau dia mati kamu nggak usah banting tulang cari uang!"

"Abang tega!"

Dhira menutup kedua telinganya. Tak mau mendengarkan semua itu. Tak cukup sampai di situ, kristal bening yang ditahannya mulai melesat turun. Mungkin dengan menangis setidaknya beban hidupnya akan berkurang. Sampai akhirnya ia tak ingat apa-apa lagi karena kantuk menjemputnya.

***

"Bokap lo terkesan gitu sama si Dhira?"

"Iya, Cal. Terus Papa bakal nyariin guru les biola supaya kemampuan Dhira bisa lebih baik. Lo tau sendiri kan kalo Papa udah penasaran sama orang pasti kayak gitu."

Faisal mengangguk. Ya, dia sudah cukup kenal dengan orang tua sahabatnya itu. Tidak berbeda jauh dengan anaknya.

Nada tersenyum lebar. Mengingat semalam papanya begitu antusias dengan Dhira. Papanya percaya kalau kelak Dhira bisa menjadi musisi terkenal. Tentu saja Nada sangat setuju saat papanya ingin mencarikan guru les biola agar Dhira bisa melatih kemampuannya.

" Terus soal itu lo udah ngomong sama Dhira?" tanya Faisal penasaran.

"Rencananya hari ini gue mau bilang, tapi dari tadi kok gue belum liat mukanya, ya."

"Nggak masuk kali."

"Coba deh gue telepon." Nada yang masih memegang ponsel segera menghubungi Dhira. Namun, hanya dering saja yang terdengar. Nada mencobanya sekali lagi, tetapi hasilnya sama saja. Hingga akhirnya, Nada berinisiatif mendatangi kelas Dhira. Faisal yang ditinggal mau tak mau menyusul Nada.

Kelas tampak sepi. Mungkin karena sedang istirahat. Matanya bergerak menyapu seluruh ruangan kelas, tidak ada tanda-tanda Dhira ada di dalam kelas.

"Cari siapa?"

Nada terkesiap. Suara seorang siswi mengejutkannya. "Gue cari Dhira."

"Oh. Dia alpa hari ini."

"Alpa?"

"Iya. Sayang banget hari ini dia nggak masuk, padahal lagi ulangan. Nggak dapet contekan deh."

Air muka Nada berubah seketika. Jadi di kelas, Dhira dimanfaatkan? Kenapa dulu Dhira tidak masuk di kelasnya saja? Nada geram.

"Oke, thanks infonya."

Nada mengundurkan diri. Faisal mengekor di belakangnya.

"Terus sekarang lo mau gimana?" tanya Faisal. Nada teringat supir pribadinya yang kemarin mengantarkan Dhira pulang. Semoga saja dia masih ingat jalan menuju rumah Dhira.

"Pulang sekolah gue mau ke rumah dia."

***

Dhira baru terbangun dari tidurnya ketika suara Sari terdengar samar dari luar. Lelaki itu menyipitkan mata karena silau. Jam berapa sekarang? Ponsel Dhira tertinggal di luar beserta ranselnya. Entah bagaimana nasib barang-barangnya itu. Apa diambil Sari atau Samsul.

"Kembalikan kunci kamar Dhira, Bang! Dia butuh makan!"

"Biarin aja dia kelaparan, mati sekalian jauh lebih bagus."

Samsul melenggang pergi bersama ayamnya. Benar-benar acuh dengan kondisi anaknya yang ia kurung semalaman.

Sari memandang pintu kamar anaknya yang masih tertutup. Sejak siang Dhira belum makan dan minum. Sari khawatir, tapi tak bisa berbuat apa-apa untuk anaknya. Merasa menjadi ibu yang gagal karena hanya bisa menorehkan luka di batin Dhira.

"Sabar ya, Nak. Maafkan Ibu."

🔷🔷🔷

Nadhira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang