17 - Keluarga Utuh

249 13 0
                                    

Mungkin sudah saatnya aku berdamai dengan keadaan.

***

Dhira bingung kenapa ia bisa ada di taman. Seingatnya, dia disekap oleh Samsul dan Chiko. Lalu datang Nada yang mencoba menyelamatkannya, hingga akhirnya ada sebuah pisau yang menancap perutnya. Seharusnya ia berada di rumah sakit. Atau jangan-jangan sekarang dirinya sudah meninggal menyusul Sari?

Harum bunga semerbak. Riuh kicau burung terus terdengar. Dari arah depan, Dhira bisa melihat sosok perempuan yang sedang berjalan menghampirinya. Awalnya wajah perempuan itu tidak jelas karena tertutup awan. Namun semakin dekat, Dhira dapat melihatnya dengan jelas jika perempuan itu adalah ibunya.

Wajah sang ibu tampak bersinar terang. Senyumnya bak bunga mawar yang baru mekar. Tubuhnya putih bersih, rambutnya hitam berkilau. Dhira sampai mengernyitkan kening saking silaunya.

Keduanya kini saling bertatap muka. Dhira dibuat terperangah ketika Sari bisa memegang tangannya. Apakah sekarang ia benar-benar menyusul ibunya? Kalau iya, berarti tempat ini taman surga.

"Dhira, kenapa kamu di sini?" Sari menatap wajah Dhira lekat-lekat. "Pulang Nak, ini bukan tempat kamu."

Dhira menggeleng. Kenapa Sari menyuruhnya pulang? Bukankah sekarang ia sudah mati?

"Maafkan Ibu karena sampai mati Ibu belum bisa membahagiakan kamu. Maafkan Ibu meninggalkan kamu sendirian. Maafkan Ibu karena nggak bisa melihat kamu berdiri di atas panggung sambil menggesek biola. Asal kamu tahu, Ibu sangat mendambakan keluarga yang utuh. Tapi sampai Ibu pergi, Ibu belum bisa mewujudkannya."

Angin berembus kencang. Sari merapikan anak rambut Dhira yang berantakan akibat tertimpa angin. "Di dunia, masih banyak orang yang sayang sama kamu. Masih banyak mengharapkan kamu hidup. Jalan kamu masih panjang. Belum saatnya kamu ikut Ibu di sini. Ibu mau berpesan, tetaplah jadi anak yang baik, anak yang selama ini Ibu kenal. Maafkan kesalahan bapak. Bimbing bapak menuju jalan yang benar. Bapak butuh kamu. Janji sama Ibu, ya?"

Dhira mengangguk. Kemudian adegan pelukan itu terjadi. Dhira tak ingin berpisah lagi dengan ibunya. Akan tetapi perlahan-lahan, tubuh Sari menghilang dari dekapannya. Ditelan oleh cahaya putih yang entah sejak kapan muncul.

***

Nada menatap wajah lelaki yang sekarang dipenuhi alat-alat rumah sakit di sekujur tubuhnya. Beberapa menit yang lalu, Dhira sempat mengalami henti jantung dan nyaris dinyatakan meninggal dunia. Tentu saja keadaan tersebut membuat semuanya panik dan histeris. Namun, Tuhan masih berlaku baik pada Dhira. Masih memberi kesempatan untuk hidup setidaknya beberapa tahun lagi.

Entah halusinasi atau kenyataan, Nada melihat jemari Dhira bergerak. Nada memperhatikannya lekat-lekat. Bukan hanya jemari saja, tetapi kelopak matanya juga bergerak dan mulai terbuka perlahan.

"Dhira!"

Nada begitu semringah saat kedua mata Dhira terbuka sempurna. "Syukurlah kamu udah sadar!"

Dhira memutar bola matanya ke segala arah. Ternyata ia masih hidup. Berarti tadi bertemu dengan ibunya hanya mimpi. Lantas sudah berapa lama ia tak sadarkan diri, dan sudah berapa lama Nada menunggunya di sini?

Kemudian Sinta dan Farhan masuk. Keduanya sangat lega akhirnya Dhira bangun setelah koma selama tujuh hari.

"Kamu nggak usah khawatir ya, Dhira. Bapak kamu sekarang udah ada di penjara. Kamu udah aman, dan kami akan selalu menjaga kamu. Sesuai amanah dari ibu kamu," kata Sinta seraya mengelus kepala Dhira.

***

Setelah berbincang sebentar dengan psikiater yang menangani  anaknya, Tama memijit pelipisnya. Kepalanya terus berdenyut tak karuan. Di hadapannya kini ada anak lelaki satu-satunya, mengenakan baju tahanan berwarna orange. Penampilannya awut-awutan. Tama memang diizinkan bertemu dengan Chiko.

Sudah tujuh hari tepatnya Chiko ditahan polisi atas tuduhan penculikan, percobaan pembunuhan, serta menyembunyikan buronan. Sudah pasti Chiko akan menjalani masa peradilan sesuai dengan usianya saat ini. Kasus ini sudah merebak ke berbagai penjuru sekolah, tentu saja Tama sangat malu. Ingin marah tapi tidak tahu pada siapa.

"Kalau Papa ke sini cuma diam mending pulang aja."

Suara Chiko membawa Tama ke kenyataan. Tama berdehem sebentar. Menetralkan degup jantungnya.

"Papa nggak bisa bantu kamu keluar dari sini—"

"Aku nggak butuh bantuan Papa," potong Chiko. Matanya menatap tajam wajah pria di hadapannya itu. "Ini kan yang Papa mau? Aku pergi dan lenyap dari muka Papa?"

Tama menelan ludah.

"Sekarang impian Papa udah terwujud. Aku benar-benar pergi dari hadapan Papa. Aku nggak akan bikin malu Papa setelah ini. Papa bisa hidup dengan damai dan ...." Chiko menunduk. Kemudian menghela napas panjang, "tolong jangan siksa Mama lagi."

Hening menyambut. Tama membuang mukanya ke arah lain. Enggan menatap wajah putranya.

"Aku memang terlahir dengan cara yang salah, dengan cara yang bukan Papa harapkan. Tapi sejak kecil aku selalu berharap punya keluarga yang utuh. Punya papa yang ngajakin main bola bareng." Chiko tersenyum getir. "Mungkin aku salah juga punya impian seperti itu."

Chiko kemudian bangkit. Tama menatapnya heran.

"Aku mau titip pesan, Pak. Tolong jaga Mama. Aku siap menjalani hukuman nanti. Papa nggak usah khawatir aku nggak akan minta keringanan apa pun dari Papa."

Setelah itu, tanpa komando Chiko berjalan menuju hotel pordeo tempat tinggalnya sekarang. Seketika Tama merasakan dadanya sesak, mengerjapkan mata berkali-kali. Teringang kembali ucapan psikiater dua jam yang lalu sebelum menemui Chiko.

"Chiko punya trauma masa kecil yang dalam, Pak. Dari pengakuannya, dia sering melihat Bapak memukul istri Bapak, mengurungnya bahkan menghardiknya dengan kasar. Pengalaman buruk itulah yang membentuk karakter Chiko saat ini. Chiko meniru apa yang Bapak lakukan terhadap istri Bapak."

Lantas, bagaimana Tama menjelaskan ini semua kepada istrinya? Selama ini Chiko selalu dekat dengan Rania. Hanya Chiko-lah yang membuat Rania tenang.

***

Sebulan berlalu setelah kasus tersebut, Samsul dijatuhi hukuman penjara selama dua puluh tahun, sedangkan Chiko hanya direhabilitasi saja. Dhira hadir saat persidangan tersebut. Ia duduk di depan didampingi Sinta dan Farhan.

Setelah keputusan hakim diucapkan, Dhira meminta izin untuk bertemu dengan Samsul sebentar. Sinta awalnya tidak setuju, akan tetapi melihat Dhira betul-betul ingin bertemu dengan bapaknya, Sinta mengizinkan. Dhira menemui Samsul didampingi dua orang polisi.

Dhira menuliskan sesuatu ke buku catatannya, lalu menunjukkan tulisan tersebut ke hadapan Samsul.

[Bapak jangan lupa salat sama ngaji. Dhira tunggu Bapak keluar dari penjara. Cuma Bapak yang Dhira punya sekarang. Kata Ibu, Dhira harus sayang sama Bapak bagaimanapun perilaku Bapak.]

Samsul membaca tulisan itu dengan perasaan campur aduk. Harusnya Dhira membencinya, harusnya Dhira tak perlu repot-repot datang menemuinya.

"Kamu masih anggap Bapak orang tua kamu?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Samsul. Dhira menjawabnya dengan menganggukan kepala.

"Bapak boleh peluk kamu?"

Dhira kembali mengangguk.

Perlahan Samsul mendekat lalu memeluk erat tubuh Dhira yang sedikit lebih tinggi darinya. Untuk pertama kali dalam lima belas tahun hidupnya, Dhira merasakan pelukan hangat dari tangan kekar bapaknya, perasaan haru menyeruak. Dunia seolah berhenti berputar saat itu juga. Luka di perutnya sudah berangsur sembuh, kini giliran luka di jiwanya ikut pulih.

Sejak Dhira memutuskan untuk berdamai dengan kenyataan bahwa ibunya sudah meninggal, Allah telah menggantinya dengan Samsul yang mulai berubah. Kini, Dhira siap menjalani hari-hari berikutnya dengan kasih sayang orang tua asuhnya, Sinta dan Farhan.

  - TAMAT-

A/N

Terima kasih banyak buat yang udah mengikuti kisah ini. Semoga ada hikmah yang bisa diambil.

Nadhira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang