11 - Terlibat Lebih Jauh

95 17 0
                                    

Saat bersamamu, ada hati yang harus ditata.

***

Sari menghela napas untuk kesekian kalinya. Rasa ragu masih menyelimuti tatkala menginjakan kaki di depan gerbang menjulang tinggi. Ditangannya kini terdapat rantang berisi makanan pesanan sang mantan yang sekarang menjadi pelanggan kateringnya.

Ketika hendak menekan tombol bel, Sari menangkap ada sosok gadis manis kira-kira seusia Dhira yang muncul di balik pintu. Sari memerhatikan wajah perempuan itu, seperti pernah melihatnya tapi lupa di mana. Sari berusaha untuk mengingatnya.

Setibanya di pintu gerbang, gadis itu mendadak menghentikan langkahnya ketika melihat Sari. "Lho Tante? Kok bisa tau alamat rumah saya?"

Sari tergagap. Ternyata gadis itu yang tak lain adalah Nada masih mengenalinya. Juga sebuah kenyataan yang baru saja ia simpulkan. "Jadi kamu anaknya Wisnu?"

"Iya, Tante."

Seorang laki-laki keluar. Kemudian wajahnya semringah melihat Sari. "Akhirnya kamu datang juga."

"Papa kenal?" tanya Nada.

"Iya, Papa kenal. Dia teman lama Papa. Emang kenapa, sayang? Kamu juga kenal?"

"Tante ini ibunya Dhira yang waktu itu pernah ke sini, Papa."

Sejurus kemudian, raut wajah Wisnu dan Sari berubah. Dunia ternyata sesempit itu. Wisnu tak menyangka anak laki-laki yang diajak ke rumah oleh Nada ternyata anak dari mantan kekasihnya. Sari juga tak mengira jika Dhira pernah datang ke sini bertemu dengan Wisnu.

Akhirnya Wisnu mempersilakan Sari masuk. Sembari menunggu Nada yang sedang memindahkan lauk pauk dari rantang ke piring, Wisnu dan Sari mengobrol di ruang tamu terkait Dhira, anak spesial yang berhasil memikat Wisnu.

"Anak kamu berbakat sekali, Sari. Kamu nggak ingin mengasah kemampuannya?"

Sari menunduk. "Itu nggak akan mungkin terjadi selama Samsul masih saja melarangnya. Aku sudah tahu kalau Dhira pengen bisa main biola."

"Aku pasti akan bantu kamu, Sari. Aku jamin Samsul nggak akan tahu."

Sari mendongak. Belum sempat ia berbicara, Nada sudah datang dengan membawa rantang kosong milik Sari. "Ini Tante, makasih."

Sari menerimanya. Lalu memerhatikan wajah gadis itu. Wajah yang nyaris mirip dengan Hana. Alis yang tidak tebal dan juga tidak tipis, mata bulat, bulu mata yang lentik, bibir semerah cherry, hidung mancung, pipi tirus dan ada lesung yang muncul jika tersenyum, serta rambut hitam legam yang terurai hingga sebahu.

Bolehkah Sari berkata jika mantan kekasihnya sekarang jauh lebih beruntung daripada dirinya? Nada sehat dan bisa hidup normal. Sementara Dhira tidak mampu bicara juga tidak bisa hidup normal. Ada getir yang menyapa ketika Sari mengakui itu. Apakah ini sebuah karma yang Tuhan berikan kepada Sari karena tega mengkhianati Wisnu? Jujur, Sari malu betatap muka dengan Wisnu sekarang ini. Teringat akan apa yang pernah ia lakukan terhadap pria itu. Sari ingin kembali ke masa lampau lalu memperbaiki semuanya, tetapi nasib baik selalu tak pernah berpihak kepadanya.

"Jadi gimana, Sari? Kamu bersedia, kan?" Wisnu bertanya setelah beberapa saat diam.

"Biar Dhira yang memutuskannya sendiri. Aku nggak bisa karena bukan aku yang menjalankan."

"Sekarang anak kamu di mana?"

"Dhira ada di rumah tantenya sekarang."

***

Akhirnya Wisnu dan Nada mengantarkan Sari ke rumah Sinta. Setibanya di sana sayup-sayup mereka mendengar suara biola sedang dimainkan oleh seseorang. Dibalik tirai pintu kaca yang sedikit terbuka, Sari bisa melihat dengan jelas kalau anaknya yang sedang betmain biola disaksikan oleh Sinta dan suaminya. Gemuruh tepuk tangan terdengar dari tangan pasangan suami istri itu ketika Dhira telah selesai memainkan biolanya.

"Mbak Sari!"

Dhira membalikkan tubuhnya dan terbelalak melihat dua orang yang berada di samping ibunya.

Sinta kemudian mempersilakan duduk.

"Halo, Dhira." Nada menyapa Dhira. "Aku datang masih dengan niat yang sama. Sekarang udah ada Papa dan juga ibu kamu. Mungkin emang terdengar seperti memaksa, tapi aku beneran pengen bantu kamu."

Keduanya lalu bersitatap. Dhira tahu dari matanya, Nada tulus ingin membantunya. Tetapi sekali lagi, Dhira tak mau ada orang lain yang terlibat lebih jauh. Namun sekarang Dhira tidak tega jika menolak tawaran Nada sekali lagi. Entah mengapa Dhira tidak ingin membuat gadis manis itu kecewa.

Lalu pandangan Dhira beralih ke wajah ibunya. Sari mengangguk. Tanda bahwa Sari menyerahkan semua keputusan kepadanya. Dhira akhirnya menuliskan sesuatu pada notesnya. Lantas menyerahkan notes tersebut kepada Nada.

[Oke. Aku mau.]

Usai membaca tulisan tersebut, Nada tak henti-hentinya tersenyum riang.

"Dhira sudah setuju. Aku akan buat skenario supaya tidak ketahuan suami kamu," kata Wisnu kepada Sari. "Dhira tetap tinggal di sini. Pulang sekolah, ada supir yang akan menjemput Dhira bersama Nada dan satu bodyguard yang nanti akan mengawal mereka sampai rumah."

"Terima kasih." Hanya dua kata itu yang bisa Sari ucapkan mewakili perasaannya dan juga Dhira.

***

Upacara hari Senin berjalan dengan lancar. Para siswa mulai berhamburan menuju kelas ketika barisan dibubarkan. Dhira melangkah menuju kelasnya. Tetapi di tengah jalan, Dhira dihadang oleh Chiko dan dua temannya.

"Lo sering dianter pake mobil, ya. Pasti uang lo banyak uang sekarang."

Dhira menggeleng cepat. Sebenarnya ia memang membawa uang lebih dari yang pernah diberikan oleh Sari. Rencananya uang itu mau ia gunakan untuk iuran kelas kerena sudah dua hari tidak membayar.

Chiko menyeringai kemudian melangkah mendekat. Dhira beringsut mundur, berusaha untuk mempertahankan uangnya. Namun sepandai-pandainya Dhira menghindar, tetap saja Chiko yang menang. Cowok itu berhasil mengambil uang pecahan lima puluh ribu dari saku baju Dhira.

"Balikin duit Dhira!"

Entah dari arah mana, Nada tiba-tiba datang dan sudah berdiri di belakang Dhira.

Chiko kemudian menghampiri Nada. "Eh lu ngapain sih belain dia? Udahlah mending sama gue aja. Gue akan kasih apa yang lu mau."

"Kasih yang gue mau? Nggak usah belagu. Duit aja masih malak!" Nada mencibir. "Balikin duit Dhira sekarang, atau nggak—"

"Lo mau ngapain kalo gue nggak ngasih duit ini?"

"Gue akan laporin kelakuan lu sekarang ke bokap lo!"

Chiko tertawa keras. "Laporin aja. Gue nggak takut!"

Kedua tangan Nada mengepal kuat. Rahang gadis itu mengeras. Melihat itu, Chiko justru menyeringai dan berani melangkah mendekati Nada. Ketika Chiko hendak mencekal tangannya, Nada sudah lebih dulu menendang bawah pusar Chiko.

Cowok itu mengaduh kesakitan. Nada segera memungut uang milik Dhira yang terjatuh di lantai.

"Nih uangnya." Nada memberikan uang itu ke pemiliknya. Lalu melirik Chiko. "Lain kali kalo malakin orang pake cara yang bener. Cara lo itu beneran kampungan. Gitu doang udah lemah!"

Chiko meringis kesakitan. Sungguh ini benar-benar sakit. Nada bukan perempuan sembarangan. Dan itu membuat Chiko semakin penasaran dengan gadis itu.

🔷🔷🔷

Nadhira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang