Nada adalah bunyi yang beraturan, dan memiliki frekuensi tunggal tertentu.
***
Dhira menatap bintang di langit dari teras rumah mungilnya. Malam ini begitu cerah, sehingga binar mampu bersanding dengan cahaya lampu jalan. Selain bintang, ada satu bayangan yang membuat Dhira tak mampu memejamkan mata. Bayangan itu, menari-nari indah di kepalanya.
Ini bukan kali pertama Dhira terpesona dengan makhluk bernama perempuan. Dulu sekali saat masih di SLB, ia pernah naksir dengan gadis tunanetra. Namun sayangnya gadis itu lebih memilih dengan cowok tunadaksa. Mau tidak mau Dhira harus mengubur perasaannya. Setelah itu, Dhira tidak kapok. Ada gadis tunadaksa yang menarik hatinya. Namun lagi-lagi, Dhira harus mengubur rasa itu dalam-dalam.
Tapi kali ini, perbedaannya dengan Nada sangat jauh. Nada manusia yang normal, cantik dan mampu berkomunikasi dengan baik. Nyali Dhira menciut saat itu juga. Baru bertemu beberapa jam yang lalu, masa sudah memikirkan perasaan. Dhira menggeleng kuat. Mencoba mengenyahkan pikiran itu.
***
Alunan biola yang dimainkan Dhira masih terus teringang di telinga Nada. Betapa indahnya melodi itu. Nada lalu membayangkan kalau Dhira menjadi teman duetnya, pasti panggung akan menggelora. Dunia akan mengakui bahwa manusia yang mereka anggap hina ternyata bisa membuat penonton hanyut dalam melodinya.
Nada akui Dhira memang hebat. Saat Papa menyodorkan pemain biola terbaik, Nada merasa tidak puas. Dhira masih menduduki posisi teratas. Pemain biola yang katanya terbaik itu tak bisa menandingi Dhira.
"Sepertinya anak Papa tidak menyukai pemain biola tadi."
"Dia mainnya jelek, Pa. Masih bagusan Dhira."
"Dhira? Siapa dia?"
"Siswa disabilitas yang aku ceritain itu."
"Oh." Papa mengangguk. "Papa jadi penasaran seperti apa dia saat menggesek dawai biola. Sampai kamu menolak orang pilihan Papa."
"Besok aku akan undang dia ke rumah."
***
Sari menghitung lembaran uang pecahan dua puluh ribuan. Ia bersyukur pendapatan katering dan menjahit lebih banyak dari hari kemarin. Sebagian penghasilannya Sari tabung untuk membelikan biola.
Ya. Sari akan melakukan apa saja untuk Dhira. Termasuk mengambil banyak job jahitan, sampai tak punya waktu untuk tidur. Dhira harus bahagia, bagaimanapun caranya. Jangan sampai Dhira mengubur impian besarnya.
Membayangkan Dhira berdiri di atas panggung memegang biola membuat senyum Sari merekah. Impian Dhira seakan memacu dirinya untuk bersemangat saat mencari nafkah. Berharap pada suaminya tak ada gunanya. Pria itu justru menghabiskan uang untuk judi ayam dan mabuk-mabukan.
"Kamu punya uang, kan? Sini bagi!"
"Ini mau aku tabung buat bayar sekolah Dhira."
"Halah anak itu kalau nyusahin terus mending nggak usah sekolah."
Sari tak menggubris. Ia fokus dengan jahitannya. Namun tak lama Samsul menggebrak meja mesin jahit. Sari bangkit.
"Aku nggak akan kasih uang ke Abang. Bisa habis tabungan aku kalau cuma untuk judi. Cari kerja makanya, Bang!"
"Berani ngelawan kamu!"
Satu tamparan keras mendarat di wajah Sari. Wanita itu mengerang kesakitan. Selalu seperti ini jika kemauannya tidak dituruti. Tangan bahkan kaki tak segan melayang di tubuh Sari. Sudah tidak pernah dinafkahi, mendapat kekerasan juga. Sari muak dengan semua ini.
"Mau Abang apa sebenarnya? Abang harusnya mikir, judi itu haram. Cuma ngabisin duit. Emang Abang pikir cari uang itu gampang? Abang mana pernah ngasih uang. Kerja aja nggak. Mana tanggung jawab Abang sebagai suami, sebagai kepala keluarga? Mana, Bang?"
"Berisik!"
Samsul yang gusar membanting pintu seraya melenggang pergi. Saat ayahnya sudah pergi, Dhira memberanikan diri muncul dari balik tembok, menghampiri Sari. Sedari tadi, Dhira melihat semuanya.
Sari buru-buru menghapus sisa air matanya. Tangannya mulai memungut potongan bagian lengan yang berserakan akibat ulah Samsul. Berlagak seolah tidak pernah terjadi apa-apa di depan sang anak. Dan itu membuat hati Dhira perih.
"Kamu sudah rapi ternyata. Ibu belum sempat buatin kamu sarapan. Ibu ke dapur dulu—"
Dhira menggeleng. Badannya menghalangi langkah Sari yang hendak ke dapur.
"Kamu harus sarapan. Takutnya kamu masih dijahili lagi sama teman kamu," ujar Sari lembut.
"Eeeeh ...." Anak itu mulai menggerakkan tangannya. Sari langsung mengerti, ia menyunggingkan bibirnya ke atas.
"Ya sudah. Ibu percaya sama kamu. Hati-hati ya, Nak."
Dhira mengangguk.
***
Nada langsung bersemangat begitu bel tanda istirahat berbunyi. Ia segera beranjak menuju kelas Dhira. Seperti yang dikatakan kepada papanya bahwa hari ini Nada akan mengajak Dhira ke rumah.
Kebetulan sekali Dhira muncul dari kelasnya. Nada langsung memanggil nama cowok itu. Sontak suara Nada menarik perhatian siswa lain di sekitar kelas Dhira. Sayangnya Dhira tidak mendengar.
Nada mempercepat langkahnya. Mengabaikan tatapan aneh yang ditujukan padanya. "Dhira, tunggu!"
Nada berhasil menyusul Dhira, lalu menepuk punggung cowok itu. Baru Dhira menyadari kehadiran Nada.
"Hai." Nada menyapa. Dhira membalasnya dengan senyuman.
Nada mengeluarkan ponselnya. Mengetik satu kalimat untuk Dhira, kemudian dikirim ke nomor cowok itu.
Ponsel jadul milik Dhira berdering. Dhira membaca pesan dari Nada.
[Mau kemana?]
Dhira membalas pesan itu.
[Ke perpus. Ambil buku.]
Nada jadi geli sendiri. Berdekatan, tapi saling melempar chat.
[Papaku penasaran sama kamu. Beliau undang kamu ke rumah. Kamu mau datang, kan?]
Langkah Dhira berhenti setelah membaca pesan yang baru saja tiba. Ke rumah gadis itu? Apa Nada tidak salah ketik? Dhira mimpi apa semalam?
"Kenapa?" tanya Nada. "Kamu nggak mau ya?"
Dhira ingin menggeleng, tapi takut membuat Nada salah paham seperti kemarin. Mengangguk pun bukan opsi yang bagus.
"Kamu jago main biola, papa penasaran dan pengen lihat kamu main secara langsung, di hadapannya." Nada bersuara. Berusaha membujuk Dhira. "Kamu bisa jadi bintang. Nanti aku akan bantu carikan guru les biola yang handal, supaya kemampuan kamu bisa diasah lagi. Gimana? Kamu minat?"
Dhira mulai berpikir. Ia mau main biola dengan bebas, tanpa rasa takut ketahuan Samsul. Dhira ingin meringankan beban ibunya. Bila nanti jadi musisi Sari tak perlu bekerja keras lagi. Akan tetapi kalau undangan itu diterima, Dhira takut ayahnya tahu dan akan menimbulkan masalah baru. Ia tak mau melibatkan Nada maupun keluarganya.
Sementara itu Nada masih menanti jawaban cowok di sampingnya. Ia sangat berharap Dhira menerima ajakannya.
"Gimana? Mau ya?"
Dhira mengembuskan napas. Kemudian mengangguk.
"Yes!" seru Nada spontan. Lalu tersipu malu karena Dhira menatapnya.
Kebersamaan Nada dan Dhira tak luput dari pandangan Chiko. Melihat Nada yang ceria, membuat Chiko semakin menaruh kebencian pada Dhira. Gara-gara Dhira juga yang membuat Tama menyiksa istrinya sendiri. Dunia seolah berpihak pada manusia bisu itu. Entah bagaimanapun caranya, Chiko akan membuat Dhira lenyap dari muka bumi.
🔷🔷🔷
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadhira [END]
Teen FictionWritten by: pesulapcinta Dhira paham, hidup menjadi penyandang disabilitas memang tidak mudah. Caci, maki, hujatan, perundungan yang dilakukan Chiko sudah menjadi makanan sehari-hari. Memiliki cita-cita yang tinggi hanya omong kosong, terutama bagi...